Chereads / SANG PENGGODA CINTA / Chapter 22 - Makan Siang Bersama (2)

Chapter 22 - Makan Siang Bersama (2)

Reynand tampak gelisah duduk di meja kerjanya. Dia terus berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan uang ratusan miliar dalam waktu singkat sebelum seluruh aset Wisnu disita dan pria itu tidak memiliki apapun. Bukan hanya karena Reynand merasa berhutang budi, tapi sebagai sahabat, Reynand juga sangat ingin membantunya.

"Aku harus bisa mendapatkan pinjaman dari nenek," gumamnya kepada diri sendiri.

Reynand meraih ponselnya hendak menghubungi sang Nenek. Namun, gerakannya mendadak terhenti. Pria itu sedikit ragu.

"Apa tidak aneh tiba-tiba menghubungi beliau hanya untuk membicarakan pinjaman?" gumamnya lagi.

Reynand menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. Tidak lama, segala pikiran negatif tentang respon sang nenek pun dihilangkannya.

Pria tampan itu mulai menggulirkan jemarinya. Mencari nama sakral yang jarang sekali ia sentuh di kontak ponselnya, kecuali untuk urusan pekerjaan. "Nenek Erika" adalah satu-satunya kontak ia hindari pada menu kontaknya.

Reynand jarang bertemu dan berkomunikasi dengan Erika. Dan hanya pada momen-momen tertentu Erika datang ke Indonesia. Jarang bertemu bukan berarti Erika tidak tahu kabar terbaru cucu kandungnya. Wanita itu tahu segala tindak tanduk Reynand. Bahkan Erika tidak ketinggalan berita seperti kabar media yang membicarakan hubungan Reynand dengan Kayla di acara penghargaan saat itu.

Reynand mencoba menghubungi Erika. Nada sambung itu terdengar beberapa kali, hingga akhirnya suara parau seorang wanita terdengar pada telinganya.

"Halo, Rey?"

"Ha-halo, Nek," sahut pria itu terbata. Ia sedikit gugup.

"Rey, apa kabarmu, Nak? Tumben sekali menelepon, padahal sudah lama sekali kau tidak menghubungi Nenek."

"Aku baik, Nek. Nenek jangan berkata seperti itu. Aku jadi benar-benar tidak enak. Nenek, apa kabar?" Reynand menggaruk kepalanya yang tidak gatal, terlihat sekali kalau ia bingung untuk memulai pembicaraan walau pembicaraan itu terjadi via telepon.

"Nenek sangat baik. Apa Mamamu sudah menyampaikan pesan Nenek?" Suara Erika sontak membuat Reynand tertegun.

"Pesan?" Kening pria itu pun seketika berkerut.

"Iya. Tajuk utama berita kemarin. Kau dan aktris wanita itu, Nenek benar-benar tidak suka kau masuk berita gosip dan dibicarakan banyak orang. Itu akan membuat jelek image-mu sebagai keturunan keluarga Pradipta. Apa kau tidak ingat berita enam bulan lalu? Nenek hampir terkena serangan jantung mendengar kau telah meniduri tunangan saudara tirimu sendiri."

Ah, itu lagi .... Reynand menggerutu dalam hatinya. Satu kesalahan yang selalu diingat dan diungkit oleh banyak orang di sekitarnya. Padahal ia ingin sekali melupakan peristiwa itu.

"Nek, aku benar-benar minta maaf jika sikapku membuat Nenek malu dan jatuh sakit. Mengenai Kayla, Nenek tidak usah khawatir. Hubungan kami hanya sebatas teman."

"Tapi berita itu tidak berkata demikian, Rey. Mereka mengatakan kalau kau dan Kayla adalah pasangan kekasih. Bahkan akan segera menikah!" Suara parau sang Nenek mulai meninggi.

Reynand menghela napas panjang. Para pewarta berita itu menulis seenak jidat mereka. Padahal tidak pernah ada kalimat rencana pernikahan di antara mereka. Ia bingung bagaimana lagi cara meyakinkan keluarganya yang tinggal nun jauh di sana kalau saat ini baginya pilihan melajang adalah pilihan terbaik.

"Nenek harus percaya kepadaku."

Desahan napas Erika terdengar kecewa. Ia terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata kembali. "Besok lusa Nenek, Tante, dan Mishel akan pergi ke Jakarta."

Seketika bola mata pria itu melebar mendengar perkataan sang Nenek yang tiba-tiba mengejutkannya. "A-ada acara apa kalian datang ke sini?"

"Nenek dan Tantemu sudah memutuskan untuk menyekolahkan Mishel di Jakarta. Kau tahu sendiri kalau ia baru saja lulus sekolah. Nenek ingin ia meneruskan kuliahnya di Jakarta."

Reynand menelan ludah. Ia tidak pernah mengharapkan kedatangan keluarganya ke Jakarta. Sudah terbayang di kepalanya kalau kehadiran mereka akan membuat hidupnya sedikit sulit. Apalagi mengingat betapa kerasnya sang Nenek melebihi ibu kandungnya sendiri.

Perkataan Erika itu membuat Reynand terdiam seketika lalu mendengus pelan. Napasnya seakan tersekat dan tak mampu keluar seluruhnya. Tujuan untuk meminjam uang perusahaan langsung hilang tertelan ludahnya sendiri.

"Rey?" Erika memanggil nama sang cucu yang tidak menanggapi perkataannya.

"I-iya, Nek." Reynand yang mendengar suara itu menjadi gelagapan.

"Mengapa kau diam?"

"A-aku turut senang kalian semua datang ke sini," sahut Reynand masih terbata.

"Ya. Tinggal dekat dengan keluarga adalah pilihan terbaik. Kau tidak usah khawatir mengenai jalannya bisnis Pradipta Corp di sini. Nenek dan Tantemu masih memantau dari jauh. Kami bisa datang kapan saja untuk mengawasinya," tutur Erika meyakinkan Reynand. Padahal dalam hati, Reynand tidak sampai berpikiran ke arah sana. Ia hanya takut kehidupan pribadinya terganggu. Pembicaraan itu menjadi hening untuk beberapa saat sampai akhirnya Erika bertanya, "Jadi, apa tujuanmu menelepon Nenek? Nenek tahu kalau kau bukan pria yang suka menghubungi tanpa alasan penting."

"Hanya kangen. Maaf, kalau aku sudah mengganggu waktu Nenek." Reynand mengurungkan niatnya.

"Haish! Nenek kira ada apa," sahutnya diikuti oleh suara kekehannya untuk beberapa saat. "Dua hari lagi kita bertemu, Rey," pungkasnya kemudian menjadi akhir topik pembicaraan mereka di telepon. Erika memutuskan panggilannya.

Reynand meletakkan ponselnya di atas meja. Ia termenung sendirian di ruangannya. Matanya melirik waktu yang tertera di layar benda pipih itu. Ia masih punya kesempatan untuk mendapatkan makan siangnya karena satu jam lagi Reynand akan meeting bersama salah seorang klien.

Layar ponselnya tiba-tiba menyala diikuti oleh dering dan getaran ponsel. Reynand meraih ponselnya. Nomor asing yang tidak ia kenal tampak memanggil pada layar. Pria itu hanya menatap dan tidak tertarik untuk menjawab. Ia membiarkan dering itu terdengar sampai habis dan tidak balas menghubunginya lagi.

Reynand bangkit dari duduknya saat tiba-tiba saja ia melihat seorang pria menerobos masuk ke ruangannya. Sedangkan Julian sedikit tergopoh mengikuti langkahnya dari belakang.

"Baruna?" katanya tidak percaya. Adik tirinya itu datang tanpa menghubungi ia terlebih dahulu.

"Rey, apa kau sudah makan siang?" tanyanya sesaat menghentikan langkahnya di depan Reynand yang masih berdiri di belakang meja kerjanya.

"Belum." Reynand menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu, ayo makan siang bersama!" ajaknya dengan air muka berseri.

"Boleh."

Reynand menyunggingkan senyum kecilnya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan Baruna di kantornya yang memakan waktu sekitar lima belas menit dari gedung kantor Asyraf Corp. Pria itu beringsut mendekat ke arah sang adik. Dengan cepat merangkul Baruna, mengajaknya keluar dari ruangan.

Keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu makan siangnya di sebuah restoran Padang yang tidak jauh dari kantor.

"Bar, ngomong-ngomong kok aku tidak tahu kalau kau sudah mulai masuk berkerja hari ini?" ucap Reynand membuka pembicaraannya.

"Ehm, ya. Tadinya aku masih ingin memperpanjang masa cuti karena Sheryl juga masih cuti, tapi mengingat Ayah yang harus bekerja sendiri saja di kantor, aku sungguh tidak tega lama-lama meninggalkannya. Sementara, aku tidak bisa terus mengandalkanmu untuk menggantikanku, Rey. Pasti sangat sulit harus membagi waktu dan konsentrasi di antara dua perusahaan seperti Asyraf dan Pradipta," sahut Baruna lalu mengambil sendok dan menyuapnya ke dalam mulut.