Chereads / SANG PENGGODA CINTA / Chapter 24 - Apartement

Chapter 24 - Apartement

Bola mata Kanzia melebar. Entah ada angin apa, tiba-tiba David menawarkan ia tinggal di apartemennya. Padahal Kanzia tahu kalau tempat itu adalah tempat David dan keluarga kecilnya tinggal selama ini. Sebuah apartemen mewah yang dibelinya setelah ia menikah.

"Lalu Kak Fely dan Rafael bagaimana? Apa mereka tahu?" tanya Kanzia menanyakan pendapat dari istri david.

David mengangkat bahunya. "Belum tahu. Lagipula tidak akan ada masalah mengenai hal itu. Aku dan Fely memang berencana untuk pindah dari apartemen ke rumah yang lebih besar. Minggu lalu, aku sudah menemukan rumah yang bagus untuk kami tempati di Jakarta. Aku akan memberikan sebuah kejutan untuknya. Rumah itu kubeli sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami yang ke enam nanti."

Kanzia mengangkat kedua alisnya sembari menyunggingkan sebuah senyuman manis dari bibirnya yang tipis. "Kakak romantis sekali. Aku sangat iri."

"Suatu saat akan ada seorang pria yang melakukan hal yang sama untukmu, Zi," sahut David membalas senyuman itu dengan senyuman yang sama.

"Menjalin hubungan bukan menjadi prioritasku saat ini." Tiba-tiba Kanzia menimpalinya dengan tegas. Dia tidak suka membahas mengenai hubungan pribadi. Selama ini wanita itu terlalu fokus pada cita-citanya.

David hanya terkekeh menanggapinya. Ia lalu mengalihkan pembicaraan. "Jadi, bagaimana? Kau mau menggantikan kami menghuni apartemen itu?" David menawarkan apartemennya sekali lagi.

"Ehm .... Sebenarnya tawaran Kak David cukup menggiurkan. Aku tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk sewa rumah ini minggu depan. Nanti aku pikirkan lagi, Kak!" Kanzia mengulas senyumnya.

"Siap. Katakan saja jika kau berubah pikiran. Kakak cukup miris melihatmu tinggal di tempat ini. Rumah ini sangat sederhana. Mengingat kau adalah keturunan keluarga Berlin, kau sungguh tidak cocok tinggal di tempat ini, Zi," sahut David seraya mengedarkan pandangannya. Sebuah rumah kontrakan minimalis yang hanya bisa dihuni oleh satu orang.

Kanzia hanya menghela napas, tidak berkomentar. David sudah sering mengatakan hal itu kepadanya, tetapi ia tidak pernah peduli. Rumah itu memang sangat sederhana. Tidak luas dan tidak sempit baginya.

Bagi Kanzia rumah kontrakan yang ditempatinya saat ini adalah tempat bersejarah. Tempat istirahatnya kala mengalami suka duka kehidupan perkuliahan kedokteran yang sangat berat.

"Kau selalu saja diam jika aku menyindir tentang rumah kontrakanmu ini, padahal bisa saja kau mendapatkan yang lebih dari ini jika menggunakan kartu dari Ayah," ucap David lagi dengan bola matanya yang mengarah tajam kepada Kanzia.

Kanzia hampir melotot saat David menyinggung kartu kredit unlimited yang diberikan oleh Gathan. David menarik wajahnya melihat reaksi Kanzia. "Ja-jadi, kau benar-benar sudah menerimanya?" tebak pria itu.

Kanzia menarik setengah senyuman. Sebenarnya ia tidak ingin mengaku, tapi David yang pintar pasti tahu jika ia menyembunyikan sesuatu. "I-iya. Kartu ini hanya untuk berjaga-jaga dalam keadaan darurat," lirihnya sedikit malu. Wanita itu terdiam saat David hanya diam saja dengan tatapan tidak percaya ke arahnya. David tidak meresponnya dengan kata-kata. Seketika, Kanzia menambahkan kalimatnya, berusaha membuat David yakin. "Wa-walau aku tahu uang sangat penting, aku tidak ingin menjadi seseorang yang dapat dinilai dengan uang. "

"Oh, ya?" Cengiran David membuat Kanzia merasa dicecar.

"Iya dong, Kak. Aku tidak akan suka. Apalagi jika orang itu tidak benar-benar mengenalku dan malah menilai dengan seenak jidat saja," timpal Kanzia yang kedua tangannya tiba-tiba mengepal kuat teringat akan seseorang yang sudah meremehkannya kemarin. Pria yang menganggap ia tidak bisa mengganti kerusakan mobil sedan putih mewahnya. Padahal dalam kenyataannya memang Kanzia tidak berada dalam kondisi mampu. Namun, ia terus menyangkalnya. Kanzia tidak suka diremehkan.

David yang mendengar jawaban Kanzia lantas tertawa sangat geli. Dia memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi sakit. Dahi Kanzia sontak mengerut melihat tawa David yang begitu lepas.

"Ada apa?" tanya Kanzia bingung.

"Aaah .... Aku tahu masalah ini." David hampir menganga mengatakannya. Tangannya menunjuk Kanzia beberapa kali hingga wanita itu merasa menjadi seorang yang buruk di hadapan kakaknya sendiri.

"Haish! Masalah apa?" tanya Kanzia lagi. Ia makin penasaran apalagi David terus saja tertawa kecil di hadapannya. Kanzia mengulurkan tangannya. Sebuah cubitan kecil mampir di punggung tangan David hingga membuat pria itu mengaduh.

"Aduh!" Pekikan David terdengar sangat kencang membuat ruangan itu sedikit hidup.

Kedua ekor mata Kanzia meruncing melihat penuh selidik. "Jangan-jangan Kak Gathan menceritakan kejadian kemarin?" tebaknya.

"Ya. Kau menabrak mobil mewah seorang direktur perusahaan besar." David menganggukkan kepala, mengingat obrolannya dengan Gathan yang terjadi tidak sengaja saat mereka bertemu di sebuah hotel milik keluarga Berlin secara tidak sengaja.

Kedua alis polos yang terukir di wajah Kanzia hampir bersatu. Ia sangat terkejut. "Kak Gathan memang ember!" gerutunya yang membuat David tidak juga selesai dengan tawanya. David terus tergelak seperti pria polos yang tidak tahu apa-apa. Melihat hal itu Kanzia mengulurkan tangan. Sontak menjepit dagu David di antara jari jemarinya. "Dasar Kak David kurang kerjaan! Sudah menikah tetap saja .... Haish!"

Ya, Kanzia sangat kesal dengan tingkah kakak kedua dan kakak ke empatnya itu.

***

Reynand membuka matanya tiba-tiba. Sinar lampu kamarnya begitu terang terlihat di depan mata. Pria itu seketika berkelebat menoleh kanan dan kirinya, lalu menyadari kalau ia sedang berada di kamar apartemennya. Masih mengenakan kemeja kerja berwarna coklat dan celana dengan warna senada. Ia baru ingat dirinya yang langsung merebahkan diri di atas tempat tidur begitu tiba di apartemennya jam setengah tujuh malam.

Sedetik kemudian, Reynand menghela napas panjang. Dengan cepat, menegakkan tubuh atletisnya pada dipan tempat tidur. Ia termangu sebentar, menatap lurus ke tembok yang berada di depannya. Sebuah jam dinding yang berdetak dengan teratur menunjukkan pukul delapan waktu setempat.

Reynand turun dari tempat tidurnya. Ia membuka gorden kamar. Tanpa sadar tersenyum kecil melihat pemandangan malam kota Jakarta yang dihiasi banyak lampu terang berwarna-warni. Pria itu menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya pelan. Ia menoleh ke belakang lalu mengambil sebatang rokok dan Sebuah pemantik dari atas nakas. Saat ingin menyalakan rokok, pandangannya tiba-tiba mengarah pada ponsel yang berada di atas nakas yang sama.

Keningnya mengernyit saat melihat notifikasi panggilan tidak terjawab sebanyak dua kali. Satu dari sang Mama dan satu lagi dari nomor yang tidak ia kenal. Namun ia langsung menyadari kalau itu adalah nomor ponsel yang sama dengan nomor yang menghubunginya tadi siang.

"Siapa, sih?" gerutu Reynand yang tidak suka pada nomor asing yang tidak jelas. Namun, ia tetap mendengarkan sebuah pesan suara yang ditinggalkan oleh nomor asing itu. Suara seorang wanita terdengar jelas.

"Saya adalah wanita yang tempo hari menabrak mobil Anda. Jadi, berapa total biaya reparasinya? Saya akan mengganti seluruh biaya reparasinya. Mohon untuk balas menghubungi saya, Bapak Reynand Alex Pradipta."

"Oh, wanita yang kemarin," ucapnya menyeringai miring, lalu terdiam sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, "wanita aneh. Keras kepala juga ternyata."