Chereads / SANG PENGGODA CINTA / Chapter 25 - Berlin

Chapter 25 - Berlin

Sejurus kemudian, terdengar bunyi bel pintu utama apartemen. Reynand meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Mengabaikan voicemail yang baru saja ia dengarkan.

"Siapa yang datang malam-malam begini?" gumamnya.

Tanpa mengganti pakaiannya, ia beringsut menuju pintu utama apartemen, menarik gagang pintunya. Kayla berdiri di depan pintu apartemen. Menenteng sebuah bungkusan berisi makanan.

"Kejutan!" teriaknya.

Reynand menghela napas malas. Malam ini ia hanya ingin sendiri tanpa seorang pun yang mengganggu, tapi Kayla datang tanpa pemberitahuan terlebih dulu.

"Hei, kelihatannya kau tidak suka aku datang?" Kening aktris cantik itu mengerut melihat reaksi Reynand yang terlihat tidak bersemangat.

"Terserah kau saja!" timpal pria itu membalik badannya, kembali masuk ke dalam apartemen.

Kayla menyunggingkan senyumnya. Ia mengikuti langkah Reynand dengan riang. "Apa kau sudah makan? Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba teringat tentangmu lalu membelikan sesuatu untukmu makan."

"Mungkin maksudmu makanan untuk kita?" Reynand sontak menembak pernyataan Kayla. Seketika, Kayla hanya meringis menunjukkan senyum kecut. Niatnya dapat mudah terbaca oleh pria dingin itu.

Kayla kemudian menghentikan langkahnya. Memandang punggung tegap pria yang ia cintai. "Ya, bisa dibilang seperti itu, Rey. Aku yakin sekali kalau kau belum makan malam."

Mendengar ucapan Kayla, Reynand memutar tubuhnya. Memandang wanita cantik di hadapannya dengan tatapan sinis. "Kau tahu, Kay ... semakin hari, dirimu semakin terlihat seperti dukun!"

Kayla terdiam, tidak mampu membalas. Ucapan Reynand yang pedas sudah sering ia terima. Wanita itu mengulas senyum kecil. Menahan harga dirinya yang terasa makin terkoyak akibat mengejar cinta yang tak pasti dari Reynand. "Biarlah seperti dukun, asal kau tidak menjauh dariku, Rey," lirihnya.

"Jangan mulai lagi, Kay." Reynand menggelengkan kepalanya.

"Mengapa tidak? Bukankah kau sudah menyerah dengan Sheryl? Kau bilang kau ingin berdamai, bukan?"

Bukannya menyahut pertanyaan yang datang bertubi-tubi, Reynand malah mengalihkan pembicaraan. Seharian ini rasanya tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai Sheryl. Begitu spesialnya sampai ia merasa sedikit muak dengan dirinya sendiri. "Aku mau mandi dulu. Pakai saja dapurku untuk menghangatkan makanan yang kau bawa."

"Ya! Aku tunggu di meja makan," sahutnya masih mengukir senyumnya untuk Reynand lalu terdiam. Ia menghela napas panjangnya dan berkata sesuatu sejak tadi mengganjal dalam dadanya, "Aku sudah memutuskan untuk mengejarmu lagi, Rey."

Reynand terdiam tidak menjawab. Ia hanya mendengus, kemudian bergegas pergi dari hadapan Kayla yang terlihat kecewa dengan reaksinya.

Sekitar setengah jam kemudian, dua mangkuk berisi sup susu daging dan dua porsi nasi sudah terhidang di meja makan. Reynand keluar dari kamar dengan pakaian kasualnya. Ia beringsut ke meja makan dan mendapati Kayla tengah duduk menantinya. Reynand tidak banyak berkata-kata. Ia langsung mengempaskan tubuhnya di atas kursi makan.

"Makanlah. Aku tidak tahu kau suka atau tidak, tapi aku membelinya secara tidak sengaja di pinggir jalan. Tempat itu hanya warung tenda yang terlihat sepi. Pemiliknya duduk melamun menunggu pembeli. Karena kasihan, aku turun dari mobil dan membelinya untuk kita makan sekarang," tutur Kayla becerita.

Reynand tidak langsung menanggapi cerita yang meluncur dari mulut Kayla. Pria itu meraih sendoknya dan mulai menyeruput kuah sup yang bercampur dengan susu itu. "Not bad," komentarnya seraya manggut-manggut, lalu meneruskan kalimatnya, "Kau tidak membelikan kedua orang tuamu?"

"Beli. Aku tinggal di mobil. Entah mereka akan suka atau tidak. Setidaknya, aku sudah berusaha menolong orang yang sedang berusaha menjemput rezekinya."

"Kau semakin dewasa, Kay."

Walau sebuah kalimat pujian meluncur dari mulut Reynand, Kayla tidak peduli. Bibirnya mengerucut sedikit kesal. "Tapi kau tidak pernah menyukaiku."

Reynand hanya mendengus lalu terkekeh. "Sudah kukatakan berkali-kali, jangan berharap lagi kepadaku. Carilah pria yang benar-benar mencintaimu, Kay."

"Mungkin nanti jika kau sudah menemukan kebahagiaanmu, aku berjanji akan meraih kebahagiaanku juga. Atau jika nanti kau tidak menemukan kebahagiaanmu, aku yang harus menjemput kebahagiaan itu untukmu."

"Oh, ayolah jangan seperti itu. Jangan bergantung kepadaku. Bahkan kedua orang tua kita sudah membebaskan kita untuk memilih. Bahkan Mamaku yang sangat keras itu. Dia tidak pernah merepotkanmu lagi, 'kan?"

"Aku tidak merasa direpotkan jika menyangkut dirimu, Rey." Kayla menggeleng pelan.

Reynand menghela napas panjangnya lagi. Topik pembicaraan itu tidak akan ada habisnya. Kayla sangat sulit diberi pengertian. Dia tidak juga mundur walau sudah ditolak secara halus dan kasar. Tampaknya ia tidak peduli sama sekali.

***

Keesokan harinya ....

Apa yang kau harapkan lagi, Zia? Kanzia bertanya-tanya dalam hatinya saat ia melihat layar ponselnya yang sepi tanpa notifikasi sama sekali. Pria yang ia harapkan balik menghubunginya, tidak merespon sama sekali. Padahal ia melihat kontak WA-nya yang online sejak semalam sampai pagi ini.

"Bos sombong itu benar-benar meremehkanku!" kesalnya lalu membanting ponselnya ke atas kasur. Embusan napas Kanzia terdengar tidak beraturan. Ia menahan gejolak emosi yang menghampirinya pagi ini. Dengan penuh semangat mengetikkan sebuah pesan untuk Reynand.

[Bapak Reynand yang terhormat, saya adalah wanita yang membuat mobil Anda rusak. Saya harap kita bisa bertemu untuk membicarakan masalah kita. Saya juga berniat baik untuk mengganti rugi semuanya.]

Sesaat kemudian, Kanzia memasukkan ponselnya ke dalam tas, bersiap untuk pergi bekerja. Namun saat ia bersiap untuk bangkit, ponselnya tiba-tiba berdering. Buru-buru wanita itu merogoh ke dalam tasnya dan mengambil ponsel. Air mukanya terlihat sedikit kecewa saat melihat nama sang penelepon. Ayah.

"Halo, Zia." Suara berat sang Ayah terdengar menggetarkan dada wanita itu. Sesungguhnya ia amat merindukan suara itu, tapi saat mengingat bagaimana dirinya diusir dahulu karena tidak menuruti kemauan sang Ayah, ia pun mencoba mengatur emosinya agar tidak menangis.

"Ya, Ayah," sahutnya dengan nada suara datar.

"Bagaimana kabarmu, Nak?"

"Aku baik-baik saja. Ayah bagaimana?"

"Ayah merindukanmu. Sudah tujuh tahun kau tidak juga pulang ke rumah. Apa kau masih marah kepada Ayahmu ini?" Suara berat itu merendah seakan meminta pengampunan.

"Maaf, Ayah. Aku sangat sibuk. Lagipula, bukankah Ayah sudah menemuiku beberapa bulan lalu di Jakarta?" Kanzia mengingat bagaimana akhirnya sang Ayah membuang egonya untuk datang dan bertemu dengannya di Jakarta. Padahal selama dirinya mengenyam S1 kedokteran, sang Ayah tidak pernah datang berkunjung karena merasa kecewa.

"Zia, maafkan Ayah. Sungguh! Ayah sudah menerima pilihanmu menjadi dokter seperti Marvin, walaupun pada kenyataannya Marvin tetap melanjutkan studinya dalam bidang bisnis dan menuruti semua kata Ayah."

"Ayah sedang membandingkan kami?" Nada suara Kanzia terdengar kesal karena merasa dibanding-bandingkan dengan Kakak ke tiganya.

"Tidak, Nak. Tapi sebagai keturunan Berlin, sebaiknya kau mencontoh kakakmu."

"Ayah harus terima kalau aku sudah berhasil lulus dan menjadi dokter, tapi aku berbeda dengan Kak Marvin. Aku sama sekali tidak tertarik dengan perusahaan dan bisnis Ayah."

"Iya-iya, Nak. Terserah kau sajalah. Nanti malam, Ayah akan datang menemuimu di rumah kontrakan kecilmu itu."

"Ayah akan ke sini bersama siapa?" tanya Kanzia begitu terkejut.

"Jimmy."