Pagi itu Jesica diantar Ayahnya, dengan semangatnya Jesica turun dari mobil ayahnya, ia mulai melangkahkan kaki dan berlalari menyebrangi jalan untuk sampai di depan kampus tanpa melihat kanan kiri.
TIN!! TIN!! TINN!!
Bunyi klakson bertubi-tubi, namun Jesica tak menghiraukannya. Mobil itu langsung berhenti tepat di depannya, membuat Jesica kaget setengah mati dan terjatuh. Balon yang di bawanya untuk tugas ospek itu terbang berhambuaran ke langit.
BRUGHH!!
Suara pintu mobil terbanting, seorang Laki-laki tampan keluar dan berjalan menghampirinya.
"Woy mau cari mati ya lo?" tanyanya galak.
Jesica tak menjawabnya ataupun menoreh ke arahnya, dia masih memegangi lututnya yang terluka karena tergores aspal.
"Lo budek ya?" tanyanya sekali lagi.
"Heh. Lo gak liat apa? Kaki gue lagi sakit! Ini semua gara-gara lo! " teriak Jesica, tubuhnya mencoba berdiri meskipun kakinya masih terasa sakit, matanya membulat memandang tajam pada laki-laki berada tepat di hadapannya.
"Bodo! Salah siapa jalan gak pake mata!" ujarnya sinis.
"Lo tuh yang bawa mobil ga pake mata! Udah tau gue lewat, main tabrak-tabrak segala. Untung gue gak mati!" oceh Jesica galak.
"Emang jalan ini punya nenek moyang lo? Yang bisa seenaknya lo pake sendiri? Lo itu budek apa gimana sih, gue klakson tapi gak kedengeran?"
"Lo kalo ngomong tuh jangan sembarangan yah!" bentak Jesica, emosinya semakin menjadi.
"Emang nyatanya kaya gitu kan?"
Laki-laki itu langsung membalikan badannya dan kembali ke mobilnya.
"Nyebelin banget sih tu cowok. Dia udah salah masih aja gak mau ngaku!" gerutunya.
Saat itu juga Jesica baru menyadari, balon yang dibawa ternyata tidak ada dalam genggaman tangannya. Dengan tekad tinggi, Jesica memukul-mukul kaca mobil laki-laki yang menabraknya dengan kedua tangannya.
"Woy buka kacanya! Lo harus tanggung jawab!" teriaknya.
"Ada apa lagi sih?" tanya Laki-laki itu sembari membuka kaca mobilnya. Jesica yang tak henti-henti memukul kaca mobilnya, tanpa sengaja nemukul wajah Laki-laki tampan itu.
"Lo bisa sopan dikit gak sih? Main pukul muka orang!" tegasnya.
"Lo balikan balon gue! Gara-gara lo balon gue ilang!" oceh Jesica.
"Maksud lo apa sih?" tanya Laki-laki itu tidak mengerti.
"Gara-gara lo balon gue ilang! Gue gak mau dihukum gara-gara lo ya!" teriak Jesica, membuat telinga Laki-laki itu terasa berdenyut.
"Lo bisa kecilin dikit gak sih volume suara lo?" bentaknya.
"Pokoknya gue mau lo ganti rugi!" teriak Jesica.
"Bodo!!" ucap Laki-laki itu, dia langsung menancapkan gas mobilnya dan berlalu pergi meninggalkan Jesica.
"Nyebelin banget sih tu cowok!" gerutunya, matanya melirik jam yang ada di tangan kirinya dan bergegas pergi menuju aula kampus, tempat dimana mereka berkumpul sebagai murid baru.
Dengan terpaksa Jesica pergi ke aula kampus tanpa membawa balon sebagai tugas ospeknya.
Perasaan resah terus menyelimuti hatinya, terlebih Jesica hanya melihat dirinya yang tidak membawa balon.
Pembukaan Ospek pun dimulai, seorang laki-laki mulai menaiki panggung dan mengucapkan kata sambutan kepada junior-juniornya.
Sorak-sorai teman-teman perempuannya pun mulai riuh, memanggil nama laki-laki yang berada di atas panggung.
Wajahnya yang tampan, penamlilannya yang cool membuat semua mata wanita kagum dan tertuju padanya.
Beda halnya dengan Jesica, dia terlihat sangat kesal melihat laki-laki itu.
"Apa sih hebatnya dia? Cowok nyebelin." ucpnya kesal, sampai terdengar di telinga anak perempuan yang tepat berada di sebelahnya.
"Dia itu ketua ospek kita, namanya Aditya."jelasnya.
"Cowok nyebelin kaya gitu, jadi Idola?" gerutu Jesica.
Jesica yang berdiri di barisan paling depan merasa sangat risih, dia merasa Laki-laki itu sedari tadi memperhatikannya.
"Jesica Stefany Aurelia, tolong naik ke atas panggung" panggilnya, membuat Jesica semakin merasa panik.
Dengan terpaksa Jesica naik ke atas panggung, dia sudah membayangkan hal ini akan terjadi, dirinya pasti akan mendapat hukuman.
Sesampainya di atas panggung Seniornya langsung mengintrogasi Jesica dengan beberapa pertanyaan mengenai dirinya yang tidak membawa balon. Namun Jesica tak menanggapi semua pertanyaan itu, dia hanya menjawab dia malas membawanya. Karena sekeras apapun ushanya menceritakan yang sebenarnya, senoirnya tidak akan percaya dengan apa yang dia katakan.
"Seorang murid baru yang tidak membawa tugas ospeknya harus dihukum" tegas Aditya, Jesica hanya pasrah menerima kenyataan itu.
"Kak, biar gue aja yang gantiin Jesica" ucap Laki-laki yang tak lain adalah Reza, dia adalah sahabat Jesica dari waktu smp hingga sekarang.
"Gak bisa! Orang yang salah dia juga yang harus menerima hukumannya!" tegas Aditya.
"Ayo ikut gue!" Aditya menarik tangan Jesica dan membawanya ke lapaangan basket.
"Lepasin tangan gue!" teriak Jesica, dia segera menepis tangan seniornya.
"Gue bukan mau main basket, gue mau ikut ospek!" bentaknya.
"Siapa yang suruh lo main basket? Gue justru mau hukum lo! Sebagai hukuman murid yang tidak taat aturan lo harus berdiri di tengah lapangan dengan satu kaki" tegas Aditya.
"Ini gak adil. Semua ini kan salah lo! Gara-gara lo tabrak gue balon gue jadi ilang" bantah Jesica.
"Itu karena kecerobohan lo sendiri. Udahlah lo terima kenyataan aja. Gue udah suruh orang buat awasin lo, jadi lo gak boleh kabur!" tegas Aditya, dia pun segera pergi meninggalkan Jesica.
Jesica pun mengangkat satu kakinya dan hanya berdiri dengan satu kaki.
Gemuruh di dadanya begitu dahsyat saat melihat punggung seniornya yang mulai menjauh dari hadapannya, rasa benci pada laki-laki terus mengerogoti hatinya.
Dua jam berlalu, sinar matahari pagi yang biasanya baik untuk kesehatan tubuh kini berbalik. Jesica yang sudah terlalu lama di bawah sinar matahari merasakan tubuhnya lemas, keringat pun mulai bercucuran membasahi tubuhnya, wajahnya pun terlihat pucat pasi.
Namun Jesica masih tetap bertahan berdiri dengan satu kaki, meskipun kepalanya sudah terasa berat.
Disaat yang bersamaan, seorang Laki-laki yang kebetulan lewat melihat Jesica yang mulai sempoyongan dan tubuhnya ambruk, dengan cepat sigap, Laki-laki itu menopang tubuh Jesica.
"Kamu gak apa?" tanyanya penuh kewibawaan.
"Aku gak papa" jawab Jesica lemah, saat itu juga Jesica tidak sadarkan diri.
Tanpa berfikir panjang laki-laki itu langsung membawa Jesica ke ruang kesehatan.
Sudah berbagai cara telah dilakukan untuk menyadarkan Jesica, namun Jesica belum sadarkan diri juga. Karena sudah kehabisan cara, laki-laki itu terpaksa memberikan nafas buatan untuk Jesica. Saat laki-laki itu menedekatkan wajahnya pada wajah Jesica, matanya tiba-tiba terbuka dan berteriak sembari mendorong tubuh laki-laki yang tepat berada di depannya.
"Mau apa lo?" bentak Jesica sembari mendorong tubuh laki-laki yang ada dihadapannya.
"Maaf aku lancang , aku gak ada maksud apa-apa, aku cuma mau kasih nafas buatan buat kamu. Tadi kamu pingsan lama banget" ucapnya.
Jesica terdiam, dia merasa sangat bersalah karena sudah berfikir macam-macam terhadap laki-laki itu.
"Maafin aku yah, tadi aku asal nuduh" ucap Jesica menahan rasa malu.
"Aku juga yang salah, terlalu bertindak gegabah. Sekarang kamu minum dulu" ucap laki-laki itu penuh kewibawaan sembari menyodorkan segelas air putih dan membantu meminumkannya.
"Makasih yah, kamu udah nolongin aku" ucap Jesica, dan dibalas senyuman.
"Sekarang keadaan kamu udah baikan kan?" tanyanya.
"Udah kok, sekali lagi makasih ya" ucap Jesica tersenyum manis.
"Kamu murid baru, kenapa ada dilapangan tadi? Bukannya kamu masih dalam masa orientasi yah?"
"Aku dihukum gara-gara gak bawa balon" jawabnya datar, laki-laki itu hanya tersenyum menanggapi pernyataan Jesica.
"Nama kamu Jesica yah? Kenalin namaku Adrian" ucap Adrian sembari mengulurkan tangan kanannya, Jesica pun menjabat tangannya.
"Dari mana kamu tau namaku Jesica?" tanya Jesica heran.
"Itu identitas di baju seragam kamu" jawabnya, mendengar jawaban dari Adrian, Jesica tersipu malu.
Lagi-lagi sifat pelupanya dipelihara, Jesica tidak menyadarinya bahwa dia masih mengenakan seragam putih abu-abu.
"Kamu kuliah di sini juga?" tanya Jesica
"Aku dosen di sini" jawabnya, sembari tersenyum ke arah Jesica.
Mendengar pernyataan Adrian, Jesica semakin merasa malu untuk yang ketiga kalinya. Tapi kali ini berbeda, Jesica malu karena Adrian telah menolong dirinya, sudah salah faham dengannya dan ternyata Adrian adalah seorang dosen.
"Maafin saya pak dosen" ucap Jesica, wajahnya menunduk.
"Jangan panggil aku pak, panggil aja namaku Adrian" ucapnya .
"Tapi bapak kan dosen saya" tolak Jesica.
"Panggil aja aku Adrian, aku lebih nyaman kalo kamu panggil nama aja" ucapnya tersenyum manis, membuat Jesica semakin merasa malu.
"Sekali lagi makasih atas pertolongannya, saya pergi dulu ya pak dosen" ucap Jesica, sembari berlalu pergi.
"Jesica tunggu!!" ucap Adrian, tangannya menahan tangan Jesica, langkah Jesica pun terhenti.
"Biar aku anter yah, sekalian aku mau lihat siswa-siswa baru" ucap Adrian.
Belum sempat Jesica menjawab, Aditya masuk ke ruang kesehatan sedang membopong seorang perempuan yang tidak lain adalah saudaranya Jesica.
"Natasya?" panggil Jesica.
"Minggir gue mau lewat" bentak Aditya pada Jesica. Aditya segera membaringkan Natasya di atas kasur rawat dan mengoleskan minyak angin di hidung Natasya.
Jesica pun menghampiri Aditya dan menampar wajahnya.
"Heh cewek rese. Sakit tau ga?" bentaknya pada Jesica, tangannya terangkat dan akan menampar balik wajah Jesica. Namun Adrian menahannya dari belakang
"Adrian lo apa-apaan sih? Dia udah nampar gue, kenapa lo halangin gue hah? Udah jelas dia salah." bentaknya pada Adrian.
"Heh. Udah jelas-jelas lo yang salah. Lo udah hukum gue sampe gue pingsan, sekarang lo juga udah bikin Ade gue pingsan" seru Jesica dengan nada tinggi.
"Hah? Cewe secantik dia Ade lo? Lo gak usah ngigo deh!" ejek Aditya sembari tertawa membuat Jesica semakin kesal.
"Udah deh mending lo pergi aja dari sini!" tegas Jesica sembari mendorong tubuh Aditya.
"Gak usah disuruh juga gue mau pergi" ucanya ketus.
"Ya udah pergi sana! Muak gue liat muka lo!" seru Jesica tak mau kalah dengan Aditya.
"Dasar cewek songong! Gue juga ogah deket-deket lo!" ucap Aditya sembari berlalu pergi meninggalkan ruang kesehatan.
"Natasya beneran Ade kamu?" tanya Adrian yang sedari tadi terdiam melihat Jesica dan Adrian berdebat kini membuka mulutnya.
"Natasya itu saudara kembar saya, tapi kita berdua itu kembar tidak identik" ucapnya datar.
"Kenapa? Heran yah?" selidik Jesica ketika tidak ada jawaban dari Adrian.
"Engga kok. Pantesan aja waktu kamu pingsan, Natasya juga pingsan. Biasanya anak kembar itu punya ikatan batin yang kuat" ucap Adrian.
"Tasya itu baik, sopan feminime. Beda banget sama saya" ucap Jesica tersenyum sembari memandangi wajah saudara kembarnya.
"Kamu juga baik, bahkan lebih cantik" puji Adrian spontan keluar dari mulutnya, sontak membuat jantung Jesica berhenti berdetak. Keduanya saling diam suasana pun menjadi hening.
"Gue dimana?" ucap Natasya lirih, dia baru tersadar dari pingsannya mengagetkan keduanya.
"Tasya lo udah sadar?" tanya Jesica
"Jesica gue dimana? " taanyanya sekali lagi sembari melihat disekelilingnya.
"Tadi lo pingsan, makanya lo ada disini" jawab Jesica, tangannya meraih gelas yang tidak jauh darinya, dan tanpa sengaja Adrian juga mengambil gelas yang sama dengannya. Keduanya pasang mata itu bertemu dan saling pandang untuk yang kedua kalinya.
"Maaf" ucap Jesica, membuyarkan lamunan Adrian. Jesica segera mengambil gelas yang berisi air putih dan menyerahkannya pada Natasya.
"Jesica nanti pulangnya biar aku anter" ucap Adrian menawarkan diri.
"Gak usah. Kita bisa pulang sama kakak saya, dia juga kuliah disini" Jesica menolak secara halus.
"Kamu punya kakak juga?"
"Iyaa, ya udah saya sama Tasya pulang dulu" ucap Jesica, sembari menggandeng tangan adiknya.
"Kalian hati-hati ya" ucap Adrian, dan hanya di balas dengan senyuman tipis oleh Jesica.
Sesampainya di gerbang kampus, Jesica dan Natasya bertemu dengan Gebby. Gebby adalah kakak Jesica dan Natasya, hubungannya dengan Natasya sangat baik, berbeda dengan Jesica. Jesica anaknya selalu tertutup dengan segala hal, dia tidak pernah sharing tentang perasaannya dengan kedua saudaranya.
"Jesica, Tasya kenapa kok wajahnya pucet gitu?" tanya Gebby panik.
"Tadi Tasya abis pingsan" jawabnya datar.
"Ya udah ayo bawa ke mobil, kita pulang!" ucap Gebby, sembari membantu memapah Tasya yang keadaanya masih lemah.
Sesampainya di mobil, Jesica segera pergi meninggalkan kedua saudaranya, namun tangan Gebby segera menahannya.
"Jesica lo mau kemana?" tanya Gebby.
"Gue mau main basket dulu!" jawab Jesica datar.
"Lo harus pulang! Nanti ayah marah!" tegasnya.
"Kak Jesica udah gede. Gak usah di suruh pulang juga nanti pulang kok." bantah Jesica sembari berlari pergi.
"Dasar anak keras kepala!" gerutu Gebby kesal.
Diantara kedua saudaranya memanglah Jesica yang susah di atur.
Sesampainya di tempat latihan, teman-temannya sudah menunggu disana khususnya Reza, sahabat yang selalu setia menemani Jesica kemanapun dia pergi.
"Hay Jess, kok baru dateng?" sapa Reza.
"Udah lama lo disini?" tanyanya datar.
"Udah setengah jam nunggu lo disini. Lo kenapa baru dateng?"
"Sory, tadi Tasya pingsan" ucapnya datar, matanya menatap langit dengan pandangan kosong.
"Jess, lo kenapa mukanya ditekuk gitu? Apa gara-gara lo di hukum?" selidik Reza.
"Gue bingung deh, dari pagi tuh gue apes banget, gara-gara ketemu cowok songong itu" ucapnya kesal.
"Siapa cowok songong itu?" tanya Reza, ia masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan sahabatnya.
"Itu senior yang hukum gue sampai gue pingsan" jawab Jesica.
Reza pun meraih kedua bahu Jesica, ia merasa sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya.
" Jess, lo gak papa kan? Apa perlu gue bawa ke dokter?"
"Lo lebay banget sih Za? Gue cuma pingsan doang" tolak Jesica.
"Ya wajar lah Jess, gue gak mau lo kenapa-kenapa"
"Santai aja Za, tadi gue ditolongin sama dosen" ucapnya sembari tersenyum.
"Maksud lo?" tanya Reza keheranan.
Jesica menceritakan semua yang terjadi dari tadi pagi saat dia tertabrak oleh seniornya dan dihukum sampai dia pingsan dan ditolong oleh seorang dosen yang dia kira adalah seniornya. Reza pun menjadi pendengar yang baik kala sahabatnya bercerita, sesekali melihat ekspresi Jesica yang tersenyum kala dia bercerita tentang dosen yang menolongnya.
"Lo suka yah sama dosen itu?" tanya Reza spontan
"Apaan sih Za? Ya gak lah, masa iya gue suka sama dosen" jawab Jesica, dia langsung berlari merebut bola yang ada di tangan teman-temannya dan memasukannya ke dalam ring.
"Jess, lo masih aja begitu?" gumam Reza, matanya terus melihat gadis cantik yang sedang bermain basket.
"Reza ayo sini, bengong aja lo!" teriak Jesica sembari melambai-lambaikan tangannya.
Reza segera berlari menghampiri Jesica, dan bergabung dalam satu tim basket.
Tawa renyah terdengar kala Jesica memasukan bola ke dalam ring, Jesica memang tidak terkalahkan oleh teman-temannya. Dia yang selalu menjadi yang paling tangguh dan jagoan di tim basketnya.
Satu jam berlalu namun Jesica masih tetap semangat berlatih, meskipun keringat bercucuran membasahi tubuhnya. Dia orang yang paling semangat berlatih di tim basketnya, walaupun yang lain sudah kewalahan.
"Jess, lo gak mau istirahat dulu apa?" tanya Reza, nafasnya terengah-engah.
"Kalo lo mau istirahat, istirahat dulu aja" ucpnya datar.
"Jess, lo kan cewek. Gue gak mau lo kenapa-kenapa?" tegas Reza.
"Jadi lo anggep gue lemah?" tanya Jesica, ia menghentikan kakinya.
"Bukan itu maksud gue Jess. Oke deh kalo itu mau lo" ucap Reza pasrah.
"Oke gue istirahat. Tapi lo harus temenin gue ke danau" ucapnya sembari berjalan mengambil tasnya.
"Ini kan udah sore Jess, kita pulang aja" pinta Reza, namun tak digubris oleh Jesica.
"Kalo lo gak mau nemenin gue, biar gue sendiri aja" jawabnya singkat.
"Oke. Gue temenin lo ke danau" ucap Reza pasrah.
Reza selalu tidak bisa menolak permintaan sahabatnya itu. Apapun akan dia lakukan demi sahabatnya itu bahagia, bahkan sampai nyawa pun dia akan korbankan demi membuat Jesica tersenyum.
Sesampainya di danau, Jesica segera berlari ke tepi danau dan duduk direrumputan. Sementara Reza yang berada agak jauh di belakang Jesica mengambil kameranya dan mengambil gambar Jesica yang sedang menatap langit lurus.
"Reza ayo sini" panggil Jesica.
"Iya Jess tunggu!" jawab Reza renyah, dia langsung berlari dan mengambil tempat duduk tak jauh di samping Jesica.
"Jess, lo kenapa sih betah banget disini?" entah untuk keberapa kalinya Reza menanyakan hal yang sama di danau itu.
"Gue harus bilang berapa kali Za? Gue betah sama udara segar disini" ucapnya tersenyum, jari jemarinya menetik ilalang cantik yang ada di depannya.
Beberapa kali Reza mendapat kesempatan untuk mengambil gambar perempuan cantik yang ada di depannya saat dia sedang lengah.
"Cantik banget yah" ucap Reza lirih, namun terdengar di telinga Jesica.
"Apanya yang cantik?" tanya Jesica menorehkan wajahnya ke hadapan Reza.
"Bunga ilalangnya yang cantik" jawab Reza mencari-cari alasan.
"Ilalang ini memang cantik" ucap Jesica, ia menggelitikan ilalangnya pada leher Reza membuatnya merasa geli dan tertawa.
Kedua sahabat itu tertawa renyah disana sembari menikmati semilir angin menyejukan.
Sudah hampir senja Jesica baru tiba di rumahnya, sementara kedua orang tua dan kedua saudaranya sudah menunggu di ruang keluarga.
"Asaalamualaikum" Jesica mengucapkan salamnya
"Wa'alaikum salam" jawab semuanya.
"Jesica sekarang juga kamu mandi, habis itu kita sholat maghrib berjama'ah" ucap sang Ayah.
"Baik, Ayah" jawab Jesica tanpa penolakan.
Dia segera masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, setelah itu langsung bergabung dengan keluarganya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim.
Seusai sholat, seperti biasa mereka kembali ke ruang keluarga.
"Jesica dari mana saja kamu? Udah hampir maghrib baru pulang?" tanya sang Ayah, namun Jesica hanya terdiam tak menjawab pertanyaan sang Ayah.
"Jesica jawab" tegas sang Ayah
"Habis latihan baaket, Ayah" ucapnya, wajahnya terus menuduk.
"Jesica harus berapa kali ayah bilang sama kamu? Kamu itu anak perempuan, gak seharusnya kamu bermain basket. Apalagi sampai sore begini belum pulang" jelas sang Ayah
"Tapi Ayah, aku gak mungkin mundur dari tim basket. Jesica gak mau kecewain teman-teman yang selama ini udah berjuang bersama, Ayah." jelas Jesica pelan
"Terserah kamu Jesica, yang Ayah mau kamu keluar dari tim basket itu." tegas sang Ayah.
Tanpa kata-kata Jesica berlari ke kamarnya dan diikuti oleh Bundanya.
Jesica merebahkan tubuhnya di atas tempat tudurnya, air mata pun tak terbendungkan lagi dan mulai membasahi pipinya.
"Sayang, benar apa kata Ayah kamu. Kamu itu anak perempuan, gak baik kalo kamu terus bermain basket, apalagi pulang sampe malem" ucap sang Bunda, jari-jemarinya membelai lembut rambut anaknya yang berantakan.
"Bunda, basket itu mimpi Jesica. Jesica sudah berjuang waktu dulu masih SMP. Masa Jess mau nyerah gitu aja? Kasian teman-teman Jess yang udah berjuang bersama-sama" ucapnya pelan, kepalanya bersandar di dada Bundanya.
Jesica terus menceritakan perjuangannya bersama teman-temannya, bagaimana dia berjuang untuk menjadi kapten tim basket, bagaimana dia selalu meraih kemenangan di seokalahnya. Selama ini dia banyak berjuang untuk melawan rivalnya yang tak kalah tangguh dengan tim basketnya.
"Sayang harapan Ayah cuma kamu, untuk melanjutkan usaha Ayah"
"Bunda, kan ada kak Agnes. Dia yang lebih tua dari Jesica"
"Kamu tau sendiri kan sayang? Kakak kamu itu sudah berapa lama kuliah, harusnya dia sudah menyelesaikan kuliahnya. Dan harapan Ayah itu cuma kamu sayang." ucap sang Bunda, namun Jesica hanya terdiam.
"Ini semua jugu buat kebaikan dan masa depan kamu. Jadi kamu pikirkan baik-baik yah sayang." ucap Sang Bunda sekali lagi.
"Mama mau siapin makan malam dulu, nanti kamu turun yah sayang" ucap sang Bunda sembari mencium kening Jesica.
"Baik Bunda" jawab Jesica.
Setelah makan malam seslesai Ayah dan kedua saudara Jesica kembali kekamar masing-masing, berbeda dengan Jesica yang masih berdiam diri didapur menemani sang Bunda.
"Bunda, biar Jesica saja yang cuci piring. Bunda kan sibuk seharian bikin kue, pasti Bunda cape." tegur Jesica ketika melihat banyak alat-alat dapur yang kotor.
"Tidak sayang, kamu kembali kekamar saja belajar." jawab sang Bunda.
"Bunda kan punya anak perempuan, jadi sekali-kali anaknya membantu orangtuanya. Bunda kekamar saja yah, istirahat." ucap Jesica.
"Baiklah, kalau itu mau kamu. Bunda tinggal dulu yah sayang" ucap sang Bunda.
"Selamat istirahat Bunda" ucap Jesica sembari mencium pipi Bundanya.
Setelah selesai mencuci perabot dapur yang kotor Jesica segera kembali kekamarnya, namun saat Jesica melewati kamar orangtuanya terdengar Ayah dan Bundanya sedang bercengkrama tentang masalah keuangan. Perusahaan Ayahnya mengalami kerugian besar karena ditipu oleh rekan bisnisnya dan hampir bangkrut, tentunya mendengar semua itu membuat Jesica begitu terpukul dan bingung harus berbuat apa untuk membantu menyelamatkan perusahaan Ayahnya.