***
"RISKA."
"Riska?" Raut keterkejutan menghiasi wajah Luna, ia tak percaya mendengarnya. "Kamu kenal Riska?"
"Ya jelaslah gue kenal, orang dia pernah pacaran sama gue." Ia tersenyum sengit.
"Tapi, tapi kenapa, Mey? Kenapa harus Riska?" Wajah Luna tampak sedih.
"Karena gue mau memiliki sesuatu yang lo sayangi, jadi kita bakalan impas, kan?" Tanpa menunggu balasan dari dialognya—Meira melenggang keluar dari tempat Luna, terserah apa yang kini Luna rasakan, terserah jika Luna menganggapnya saudara yang jahat, terserah jika Ashila akan marah dengannya—sebab setelah Meira kembali ke unitnya—beberapa kali pintu utama diketuk, tapi tak sekalipun Meira membukanya.
Ia berdiri di bawah guyuran air shower yang menguliti seluruh tubuhnya dengan hawa dingin, harusnya Mey mandi memakai air panas, tapi entahlah. Ia membiarkan seluruh tubuh telanjangnya disentuh air dingin malam ini, Meira menunduk seraya menyugar rambutnya ke belakang. Tiba-tiba saja tertawa, suara yang berbeda, bukan tawa riang atau tawa terpaksa, tapi tawa jahat yang baru keluar dari bibirnya.
Meira mendongak menikmati air shower seperti menekan setiap centi wajahnya seraya terpejam, ia menunduk lagi dengan telempap kanan terangkat di atas kepala seraya menyentuh permukaan tembok kamar mandi.
Sekitar setengah jam Meira melangsungkan aktivitas di kamar mandi, kini ia keluar dengan kimono handuk warna putih yang membelit tubuh, rambutnya tampak basah. Meira membuka lemari dan mengeluarkan salah satu piyama dari sana, ia lempar begitu saja ke permukaan ranjang.
Saat Meira akan memakainya, layar ponsel menyala di permukaan ranjang membuatnya beralih, ia bergerak meraih benda tersebut dan menemukan beberapa chat masuk yang kebanyakan dari Riska.
(Kenapa sih lo harus berulah!)
(Lo bilang apa ke Luna!)
(Jahat banget jadi cewek, Luna masuk rumah sakit karena asmanya kambuh. Semua salah lo)
(Kalau dia kenapa-kenapa gue nggak akan maafin lo)
Masih banyak chat yang masuk, dan semuanya bernada menyudutkan Meira. Apa tadi? Luna memiliki penyakit asma? Oke, Meira baru mengetahuinya sekarang. Hanya saja Riska perlu tahu kalau membaca semua chat tersebut membuat mata Meira berkaca, ia merasa sakit disudutkan bertubi-tubi, disalahkan atas sesuatu yang diinginkannya.
Meira menelan ludah, tangannya bergetar sampai ia tak mampu lagi menggenggam ponselnya hingga jatuh ke lantai. Air mata Meira jatuh juga, ia menatap ke arah lain seraya menyeka air matanya. "Salah gue." Ia tertawa seperti saat di kamar mandi. "Salah gue juga? Semua salah gue?"
Ia duduk di tepi ranjang seraya mengingat lagi apa yang Riska lakukan padanya saat berada di dalam mobil, bagi Meira hal tersebut menjadi sebuah kenang yang manis, tapi sepertinya tidak bagi Riska, belum sampai satu jam mereka berpisah—sikap laki-laki itu langsung berubah terhadapnya. Apa Riska tengah bermain saat Meira telah menyudahi permainannya beberapa waktu lalu?
"Ya ampun, Mey! Semua salah lo!" Meira lagi-lagi tertawa, tapi ia juga menangis. Apa Mey sudah cocok mengikuti casting sebagai seorang artis?
Ia bangkit dan memutar tubuh meraih apa pun yang bisa disentuh tangannya sekarang, ia lempar semua yang ada di ranjang tanpa kecuali. "Semua salah lo, Meira! Dasar cewek jahat! Dasar nggak tahu diri! Semua orang nyalahin elo, Meira!" Piyama, selimut, bantal serta beberapa boneka kini berserakan di lantai setelah dibuang sesuka hati oleh pemiliknya. Tangisan Meira lebih deras, ia menyentuh kepala dan meremas rambutnya seperti orang yang begitu frustrasi.
Dihampirinya lagi lemari, ia membuka pintu sisi kiri dan melihat ruang kosong di bagian bawah, Meira masuk ke sana dan duduk seraya menekuk lutut, ia melanjutkan tangisan, kini ia memiliki tempat baru untuk menangis sesuka hati selain di bawah meja ruang makan.
Langit sudah tidak menangis malam ini, tapi ternyata mereka meminta Meira yang menggantikannya dengan menghadirkan segelintir luka sebagai sarana agar air mata bisa keluar, dan mereka berhasil membuat Meira melakukannya malam ini.
***
Trias terkejut saat memasuki kamar Meira dan menemukan begitu banyak benda berserakan di lantai, tapi di mana majikannya? Trias menjelajah sekitar sampai ia menyadari di balik pintu lemari yang sudah terbuka sejak ia datang rupanya menyembunyikan Meira di dalam sana, gadis itu terlelap dengan kimono handuk yang masih membelit tubuhnya.
"Ya ampun, Mbak Mey." Trias berlutut dan mengguncang tubuh majikannya, ia berhasil sebab Meira langsung membuka kelopak mata. "Mbak Mey ngapain di sini? Ayo keluar."
Meira keluar dari sana dibantu Trias, ia menatap sekitar dan baru menyadari jika semalam menangis di dalam lemari hingga lelah dan tertidur.
"Mbak Mey nggak apa-apa, kan?" Suara Trias membuyarkan lamunan Meira, ia membungkuk meraih ponselnya yang masih tergeletak di lantai, rupanya ada sebuah chat dari Riska.
(Tengokin Luna sekarang, minta maaf ke dia dan cabut omongan lo, dia ada di RS Sejahtera)
Ini masih pagi, apa Riska tidak mengerti? Chat tersebut membuat sakit hati Meira semakin meradang, ia meremas ponselnya dan hendak melempar benda tersebut ke tembok, tapi diurungkannya saat dering ponsel menggagalkan.
Meira menatap nomor Ashila menghubunginya, ia mengangkat panggilan tersebut. "Hallo, Mey. Mama di rumah sakit, kamu bisa ke sini, kan? Luna cariin kamu, katanya dia mau bilang sesuatu sama kamu." Meira lantas mengakhirinya meski Ashila tengah lanjut berbicara atau tidak, sepertinya ia tak hidup di hari kemarin, tapi hari ini. Padahal, hujan kemarin malam terasa menyenangkan sebelum Meira tiba di apartemennya, tapi setelah ia kembali semua berubah dalam sekejap.
Meira merasa menjadi tersangka untuk sesuatu yang ia anggap sudah sepantasnya. Luna yang memancingnya lebih dulu, saat kail yang diberi umpan sudah mendapatkan tarikan—mengapa Luna harus menolaknya dan membuang ikan tersebut?
***
Apa yang Riska dan Ashila inginkan dituruti oleh Meira, setelah ia pulang dari kampus Meira bergerak menuju Rumah Sakti Sejahtera tempat Luna dirawat, tentu saja kekecewaan menggelepar dalam diri perempuan itu—merasakan jika ia yang paling dan selalu salah untuk segala hal.
Meira menyusuri lorong dengan langkah cepat, ekspresi datarnya menyembunyikan rasa sedih yang mendalam, untung saja ia tak berada di depan kamera milik Axel, bisa jadi Meira mendapat teguran berkali-kali jika memamerkan ekspresi seperti itu.
Meira sudah menanyakan pada petugas resepsionis mengenai ruang rawat Luna, berada di lantai empat ruang VVIP nomor lima. Kini Mey memasuki lift, ia tak ingin gentar menghadapi apa pun yang nantinya terjadi, semua orang yang ada di sana adalah hakim yang akan menyalahkan Meira dan memberi vonis—entah apa.
Meira siap untuk segala hal, sebelum hari ini ia terbiasa dikucilkan orang-orang, jadi kenapa harus takut? Lagipula Luna yang pertama memulai masalah mereka.
Ia baru keluar dari lift dan melangkah menyusuri lorong yang terlihat sepi tersebut, ditatapnya beberapa pintu ruang VVIP yang ia lewati hingga tiba di depan pintu nomor lima.
Meira mengetuk pintu, saat itu Riska yang membukanya, Meira berpikir ia sempat ingin menyungging senyum meski terpaksa, tapi melihat raut amarah di wajah Riska membuatnya urung. Belum sempat Meira masuk ke dalam untuk mengecek keadaan Luna, Riska menariknya menjauh dari sana—menuju sudut lorong yang sepi.
"Apa?" tanya Meira usai Riska meloloskan cekalannya.
"Apa? Lo bisa tanya tentang apa? Lo sebenarnya mikir enggak sih, hah?" Riska benar-benar marah. "Gara-gara omongan lo, Luna sampai masuk rumah sakit lagi."
"Gue?" Meira menunjuk wajahnya. "Dia duluan yang pancing gue, dia yang memberi segala keputusan ke gue, terus saat gue udah meminta sesuatu yang gue mau ke dia—malah jadi kayak gini? Siapa yang mancing duluan!" Jangankan Riska, Meira juga bisa marah, terlebih ia sudah sangat menahannya sejak semalam.
"Harusnya lo nggak minta sesuatu yang nggak akan lo dapatkan dari Luna." Riska memperjelasnya.
Meira bergeming sesaat, ia menatap nanar laki-laki itu, perkataannya membuat sesuatu menusuknya dari belakang. "Nggak akan mendapatkan, ya?" Ia mengalihkan tatapan dan tertawa.
"Dia saudara lo sekarang, dia sayang sama lo, tapi kenapa—"
"Kenapa apanya!" Raut Mey kembali berubah. "Gue sekarang mau tanya sama lo, Riska. Beberapa hari yang lalu gue udah memutuskan mundur, tapi lo datang dan meminta gue bertahan tanpa gue tahu alasan yang pasti dari semuanya. Terus sekarang, lo bilang kalau gue nggak akan mendapatkan apa yang gue minta ke Luna?" Ia mengangguk berusaha memahami semua yang terjadi. "Lo, jangan kasih harapan lagi ke gue. Mulai detik ini juga, kita enggak ada urusan apa-apa lagi," tandas Meira sebelum melenggang meninggalkan Riska, laki-laki itu membeku di tempatnya.
Riska memutuskan kembali ke ruang rawat Luna, wajah-wajah di sana menyambutnya dengan tanda tanya termasuk Luna yang terbaring di brankar dengan jarum infus menancap di punggung tangan kanannya.
"Tadi siapa yang ketuk pintu, Ka?" tanya Luna.
"Bukan siapa-siapa." Ia berbohong, jika Riska mengatakan Meira yang datang pasti Luna bertanya-tanya lebih jauh.
"Kok Mey belum datang, ya?" Ashila juga bertanya-tanya, ia berdiri di dekat brankar Luna seraya mengupas apel, sedangkan Fredy duduk di sofa yang berada di sudut ruangan, pria itu tampak berbicara dengan seseorang lewat telepon. "Mama keluar sebentar ya, Lun. Mau ke kantin dulu, kamu sama Riska dan papamu dulu, ya," izin Ashila seraya mengusap puncak kepala Luna.
"Iya, Ma." Luna membiarkan Ashila keluar dari sana, kini giliran Riska yang berdiri di sampingnya.
"Kok muka kamu kayak sedih gitu, Ka? Ada masalah?" tanya Luna yang menyadari pergantian ekspresi Riska.
Laki-laki itu menggeleng, ia menarik kursi dan duduk di sana. "Nggak apa-apa, sedih aja kamu masuk rumah sakit lagi."
"Ini cuma syok kok, tapi semua juga bukan sepenuhnya salah Meira, karena aku yang memang sempat menjanjikan sesuatu sama dia. Nggak nyangka aja dia ternyata minta kamu, Ka. Jadi, benar kamu pernah pacaran sama Meira?"
Riska bingung harus bagaimana menjelaskannya, ia tak bisa memberi alasan yang tepat secepat itu. "Luna, aku—"
"Nggak apa-apa, Ka. Aku udah pernah janji juga ke kamu kan? Aku akan melepaskan kamu untuk orang lain, karena semakin hari aku selalu sadar kalau kamu memang nggak bisa mencintai aku."
***