Tok-tok-tok!
"Ada apa lagi, si—" Meira pikir si sosok pengetuk pintu di luar sana adalah salah satu temannya, ia pikir mereka bertiga kembali. Sayangnya, dugaan Meira salah, rupanya Luna yang kini berdiri di depan saudaranya seraya tersenyum simpul. Refleks air muka Meira berubah, ia menatap datar gadis itu—memperlihatkan rasa tak sukanya. "Ngapain di sini? Oh, disuruh mama ya buat ngerayu gue, maaf tapi nggak bisa." Meira hendak menutup pintu, tapi tangan Luna menahannya—membuat gadis itu mengalah dan mendorong lagi. "Apa lagi sih?"
"Aku mau bilang sesuatu sama kamu, Mey. Ini bukan soal mama kok, ya tadi dia bilang kalau kamu udah pulang duluan ke sini, jadi aku juga mau ke sini sama ngejelasin sesuatu, Mey." Wajah lugu Luna harusnya bisa membuat Meira luluh.
"Terus apa? Udahlah jangan gangguin gue, sekarang mending lo balik ke tempat lo, gue mau istirahat."
"Mey, please kasih aku waktu buat bilang ini ke kamu." Luna mengatupkan telapak tangannya seraya mengiba, tapi Meira memiliki hati sekeras batu.
"Apa sih yang mau lo bahas sampai harus mohon-mohon kayak gitu ke gue, lo harusnya kasih gue ketentraman setelah lo mendapatkan apa yang lo mau, Luna!"
"Mey, makanya aku mau jelasin sesuatu ke kamu, hal yang nggak mungkin Riska bilang ke kamu, tapi ini kamu harus tahu yang sebenarnya, Mey."
"Riska?" Meira mengernyit. "Gue nggak mau dengar apa-apa lagi soal cowok itu, dia milik lo seutuhnya, pergi karena gue mau istirahat." Meira mendorong pintu lagi, tapi Luna menahannya untuk kedua kali, wajahnya memperlihatkan kesedihan.
"Please, Mey. Kamu harus tahu biar enggak ada salah paham lagi, kasih aku waktu buat jelasin semua."
Meira berdecak, ia menatap lekat Luna beberapa detik sebelum menarik gadis itu masuk ke dalam, untuk pertama kalinya Luna bisa memasuki apartemen saudaranya, bahkan seharusnya mereka tinggal satu atap.
"Siapa, Mey?" Suara Lolita terdengar dari arah dapur, manager Meira tengah sibuk memasak untuk model kesayangannya, pagi-pagi sekali Lolita datang ke rumah sakit untuk menjemput Meira setelah gadis itu mendesaknya agar ia bisa diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit, betapa terkejutnya Lolita saat tahu jika Meira baru saja mengalami kecelakaan tunggal.
"Bukan siapa-siapa!" seru Meira meninggikan suaranya, untung saja Lolita tak keluar dan melihat kehadiran Luna, pasalnya ia ingin sekali gadis itu lekas pergi dari tempatnya. Kini ditatapnya Luna yang sudah duduk di sudut sofa, sedangkan Meira memutuskan berdiri di sisi nakas dengan posisi menyandarkan punggung seraya bersidekap. "Waktu lo lima belas menit dari sekarang."
Luna tampak gelagapan, ia bingung memulainya dari mana. "Aku, aku, Riska—"
"Iya, Riska. Kenapa?"
"Riska cinta sama kamu, Mey."
Meira bergeming menatap Luna tanpa kedip, tapi beberapa detik berikutnya ia tertawa seolah baru saja mendengar sesuatu yang menggelikan, harusnya Luna berada di panggung stand up comedy sekarang.
"Mey, aku serius. Aku enggak bohong." Luna bisa membaca sesuatu yang mungkin Mey pikirkan—sebuah ragu dan tidak percaya. "Dia nggak akan ngaku ini ke kamu, Riska itu keras kepala." Sama kayak kamu, Mey. Keras kepala.
"Apa buktinya? Dia bilang kalau gue nggak mungkin mendapatkan Riska, mulut dia sendiri yang bilang ke gue, kalau waktu itu gue rekam pasti gue kasih buktinya ke elo." Siapa yang tidak ragu jika si pelaku utama sudah mengatakan penolakannya sejak lama, siapa yang tidak ragu jika sikap Riska terhadap Meira memperlihatkan sesuatu yang bertolak belakang. Salah jika Meira meragu?
"Dia cinta sama kamu, ya dia emang nggak pernah bilang secara langsung ke aku, tapi sikapnya ke kamu itu bisa terbaca, dia peduli sama kamu. Dia takut kamu kenapa-kenapa, malah waktu aku sama mama papa datang ke rumah sakit kemarin—kelihatan banget mata Riska merah, mungkin dia habis nangis."
Meira diam, matanya menatap sudut lain, ia tak mengingat apa pun setelah keningnya membentur kemudi, semuanya langsung gelap dan bangun saat sudah terbaring di ranjang rumah sakit. Manusia yang pertama dilihatnya pun Riska, Meira tak berpikiran macam-macam saat itu—sebab mungkin saja Riska memang datang untuk Luna. Jika Meira memang ingin mendengar sebuah fakta, ia harus bertanya langsung pada narasumbernya; Riska Prakasa.
"Mey, aku sakit hati mau bilang ini." Luna menunduk. "Tapi, aku harus mengakui kalau Riska memang nggak pernah mencintai aku, atau mungkin enggak bisa."
Meira makin dibuat tercengang mendengar pengakuan Luna. "Lo sinting?" Ia menghampiri gadis itu dan duduk di sebelahnya. "Mana mungkin kalian pacaran tanpa cinta, apalagi kayaknya udah lama, semua teman Riska juga kenal elo, kan. Gue lihat sendiri interaksi kalian semua." Ya, Meira mengingat jelas saat Luna menjemput Riska di basecamp setelah pendakian di Merbabu.
Luna mengangkat wajah, tadi ia tampak semangat sebelum pengakuan yang menyakitinya mengubah ekspresi gadis itu menjadi abu-abu. Luna menggeleng seolah menolak pernyataan Meira. "Enggak, Mey. Riska nggak pernah mencintai aku, dia cuma ...." Luna memasok udara agar masuk dalam rongga dada yang terasa sesak. "Dia cuma kasihan, dia pacaran sama aku karena balas budi."
"Balas budi?" Ekspresi Meira juga berubah sayu seolah miris mendengar kisah cinta Luna dan Riska.
Luna mengangguk. "Iya, balas budi. Setahun yang lalu, sebelum aku pindah ke apartemen ini—aku sempat tolongin Riska yang habis kecelakaan, parah. Pihak rumah sakit bilang kalau dia membutuhkan donor darah, dan kebetulan golongan darah kita sama, aku donorin darah buat dia meskipun kita belum saling kenal, setelah itu semua cerita jadi lebih panjang. Riska nembak aku buat jadi pacarnya, tapi—" Rasanya semakin sesak saja untuk melanjutkan. "Ak-aku pernah dengar dia bilang ke teman-temannya kalau dia cuma balas budi, dia nggak ada rasa. Setelah aku konfirmasi langsung, semua itu benar, Mey. Riska nggak cinta sama aku."
Meira masih merasa aneh mendengar kisah tersebut, jika tidak cinta—mengapa mereka sampai melakukan sesuatu yang cukup jauh—meski Meira tak melihatnya langsung, ia hanya menduga-duga saja setelah melihat kissing scene mereka saat itu. Jika tidak cinta, untuk apa berciuman?
Terkadang Meira bisa sepolos itu.
Luna menyentuh tangan Meira, dan saudaranya diam saja tanpa menepis. "Mey, aku pernah janji sesuatu sama kamu, kan? Terus, yang kamu minta adalah Riska. Silakan, Mey. Aku enggak apa-apa, aku iklas, aku enggak mau memenjarakan dia lebih lama, Riska juga berhak bahagia—karena selama ini dia udah membuat aku cukup bahagia meskipun dia enggak cinta."
***
"Just be mine, right?" Suara Riska begitu berat dan mengintimidasi, sebab apa pun yang terjadi Meira-lah yang menekannya untuk melakukan. Ia melepaskannya, menyingkir dari belakang Meira dan berganti duduk di tepi ranjang, ditariknya tangan Meira hingga terduduk di pangkuan Riska meski mereka tetap tak bisa saling menatap dan hanya bertukar desah napas yang membuat kulit keduanya semakin terasa panas, seperti demam yang merambat, tapi hanya berlangsung sesaat. Ia berbisik di dekat telinga gadis itu, "Lo bisa bilang stop sekarang sebelum kita semakin jauh."
"Enggak."
Meira terus saja mendorongnya dengan tutur kata, padahal selama prosesnya Riska terus berpikir bahwa sikap liarnya harus lekas berakhir.
"Lakukan, Riska. Lakukan itu." Posisi duduk Meira berada di paha kiri Riska, miring dan membuatnya bisa berhadapan dengan laki-laki itu saat lututnya bersentuhan dengan paha kanan Riska. Tanpa terlihat sepasang tangan Meira terangkat menyentuh wajah Riska, menangkupnya. "Please, jangan bikin gue takut."
"Gue yang takut."
"Kenapa harus takut kalau lo udah melakukannya sama Luna?"
Riska membuang napas kasar. "Apa itu juga jadi bagian cerita Luna?"
"Enggak, dia nggak bilang apa-apa, kalau kalian udah ciuman dan lo sering ke sana—berarti ada sesuatu yang lebih jauh, kan?"
"Gue nggak pernah melakukannya, untuk siapa pun." Ia tak ingin lagi mendengar opini Meira tentangnya dan Luna, jadi lebih baik Riska membungkam Meira saat ia menarik tengkuk perempuan itu menghampiri wajahnya, bersinggungan bibir dan mengawali gerakan pelan yang harusnya membuat Meira sedikit mabuk. "Buka."
Meira melakukannya, ia membuka mulut membiarkan Riska masuk, menautkan lidah mereka hingga terdengar kecapan serta deru napas menggebu. Riska terlalu frontal dan liar, tangan kirinya sibuk menekan tengkuk Meira saat tangan lain memeluk pinggangnya agar posisi mereka lebih rapat.
Namun, saat ciuman mereka berlangsung melenakan—justru scene tentang Luna serta Riska saat melakukan hal yang sama hari itu kembali terpatri dalam rekam pikiran Meira, lagi-lagi ia refleks mendorong dada Riska agar melepasnya paksa dan tiba-tiba.
Mereka tak bisa melihat ekspresi masing-masing, yang jelas jantung Meira berdetak lebih kencang, rasa takut dan terkejut berbaur menjadi satu. Apa yang dipikirkan Riska lagi saat ini? Mengingat Meira juga pernah melakukannya seperti saat mereka di mobil.
"Kenapa?" Riska bertanya, tangan kanannya menyentuh pipi Meira, mengusapnya. Jika saja lampu menyala—pasti Meira bisa melihat betapa teduhnya tatapan Riska.
"Gue, gue kebanyang." Meira menelan ludah. "Kebayang lo sama Luna." Ia beranjak pun dengan Riska yang menahan tangannya.
"Mau ke mana? Jangan memperlakukan gue kayak gini, lo yang minta." Ia merasa seperti dicampakkan.
"Gue nggak bisa, Luna—"
"Siapa yang minta pembuktian? Kenapa sekarang mundur?"
"Jangan cium gue lagi, jangan."
Riska tak ingin mendengar apa pun lagi dari bibir Meira, ia membenci drama. Ditariknya gadis itu hingga terbaring di ranjang. "Jangan ke mana-mana." Permintaan Riska mengintimidasi, menekannya agar tetap diam, laki-laki itu sibuk meloloskan jaket serta kaus yang kini tak lagi membalut tubuhnya, ia mengungkung Meira di ranjang, menciumnya lagi seperti tadi tanpa peduli apa yang Meira takutkan. Bahkan saat tangan Meira lagi-lagi mendorongnya agar mundur tatkala ciuman panjang itu berlangsung—Riska tak goyah, ia yang memimpin saat ini. Kuku-kuku Meira seolah merobek kulitnya saat gadis itu mencengkram kedua lengan Riska, sepasang kaki Meira yang bebas juga terus bergerak mengaskan jika ia sangat tidak nyaman melakukan kiss scene, ingatan tersebut semakin membuatnya frustrasi.
Sayangnya, Riska tak ingin mengerti. Ia telanjur membuat Meira merasakan apa pun darinya malam ini, ia tak ingin semudah itu membebaskan Meira yang telanjur membangunkan sisi liar Riska ke permukaan. Tak peduli seperih apa lengannya sekarang, Riska terus saja mencercap seperti seseorang yang haus akan sentuhan.
Tangan Meira meluruh menyentuh seprai dan meremasnya kuat, laki-laki itu menjauhkan wajahnya dan memasok udara yang sempat ia hentikan sejenak.
"Riska ...." Suara Meira bergetar. "Jangan—"
"Jangan berhenti." Riska mengusap kening Meira dan mengecupnya begitu lama, apa ini tanda cinta?
"Jangan cium gue lagi, gue mohon." Suaranya masih saja bergetar, sebenarnya Meira sedang menangis atau begitu ketakutan?
"Ya, sorry." Ia memundurkan posisinya yang masih mengungkung Meira, ditariknya ke atas piyama yang masih membalut separuh tubuh Meira, Riska menunduk mengecupi pelan perut gadis itu seraya perlahan menarik ke bawah celana pendek sekaligus celana dalam yang Meira pakai, ia berdiri dengan lutut dan meloloskan celana tersebut sebelum melemparnya ke lantai, kini tubuh Meira naked di bagian bawah. Namun, tetap tak terlihat.
"Riska ...."
"Gue di sini." Ia melepaskan kancing celana dan menurunkan resleting sebelum memosisikan dirinya dengan benar saat tak ada cahaya yang membantunya.
"Eng—" Tangan Meira lagi-lagi mencengkram seprai saat sentuhan di bawah sana mendesaknya berkenalan, memaksa masuk dan menyakitinya. "Riska—" Suaranya nyaris tak terdengar saat dadanya refleks tertarik diiringi tarikan napas pendek sebab menahan rasa sakit yang menyengat tubuhnya untuk pertama kali. "Sakit ...." Rupanya Meira menangis, ia sesenggukan saat Riska bergerak pelan, laki-laki itu melepaskannya, Riska menyadari benar apa yang baru saja terjadi. Jika saja Meira dapat melihat ekspresinya sekarang.
Begitu Riska kembali berdiri dengan lutut dan membenarkan sesuatu, Meira menarik sepasang kakinya seraya menekuk lutut dan memiringkan tubuh, ia meringis menahan sakit.
Riska tak mengatakan apa-apa, ia memosisikan dirinya berbaring di samping Meira meski gadis itu membelakanginya karena sibuk menikmati perih di bawah sana, perih yang teramat sampai air matanya tak kunjung berhenti.
Riska menarik selimut untuk menutupi tubuh Meira yang masih telanjang di bagian bawah, ia memiringkan tubuh mendekap perempuan itu dan menempelkan wajahnya di bagian belakang kepala Meira. Tangan yang sempat mendekap Meira kini merambat mengusapi kepalanya.
"Sakit ...." Meira masih menangis.
"Maaf, gue yang salah." Riska mendekapnya lagi seraya memejamkan mata saat hidungnya membaui aroma rambut Meira, sekarang Riska sadar akan sesuatu, sepertinya cara Meira untuk membuktikan tentangnya sudah benar. Hanya saja, mereka begini? Benarkah?
***