Entah mengapa untuk pertama kalinya Meira merasa berat melangkahkan kaki saat harus turun dari motor Riska yang baru tiba di parkiran, bukan karena Meira mendengar cibiran orang-orang tentangnya, tapi mungkin lebih pada alasan tentang Meira yang harus menjelaskan hubungannya dengan Riska pada ketiga sahabat perempuan itu. Sejak Meira meninggalkan rumah Selly, banyak chat masuk mengusik ponselnya dari ketiga sahabat yang minta penjelasan, begitu Meira membuka ponsel tubuhnya terasa lemas dalam sekejap.
Riska melepas helm yang ia beli beberapa waktu lalu setelah helm lama ia biarkan hilang di TKP kecelakaan mobil Meira, laki-laki itu menyugar rambut seraya menatap spion, tapi saat menemukan wajah Meira seperti kebingungan dan tubuhnya duduk saja di jok motor—membuat Riska mengernyit.
"Kenapa?" tanya Riska, tapi tak disahuti sebab Meira terlalu hanyut dalam lamunannya. Tangan kanan Riska terulur ke belakang dan mencubit pinggang Meira, menyadarkan perempuan itu dari lamunannya.
"Aw! Sakit, Riska!" Ia menggerutu kesal dan turun dari motor seraya melepas pengait helm di bawah dagu, bibirnya mengerucut menatap Riska yang justru terkekeh menanggapinya.
"Iya sakit, tapi kalau enggak kayak gitu malah ngelamun sampai Arab, ada apa sih?" Riska turun dari motor, ia menerima helm yang Meira sodorkan dengan kasar di dadanya.
"Enggak apa-apa, malas aja ngampus hari ini. Bolos, yuk!" Alternatif paling gampang menghindari ketiga temannya memang membolos, tapi lihat bagaimana tanggapan Riska sekarang.
"Bolos? Siapa yang ngajarin lo bolos kuliah?" Bapak negara mulai berkutbah, alis tebalnya bertaut menatap Meira.
"Ya gue sendiri, lagian udah sering kok bolos, nggak usah dipusingin ocehan dosen kalau nilai turun, namanya juga sekolah. Nilai kan suka naik turun," sahut Meira begitu santai, ia menegaskan terbiasa melakukan hal yang jarang sekali Riska lakukan, jika memang pernah pun karena terpaksa alias urgent. Saat Meira merebut helm dari tangan Riska dan hendak memakainya, Riska lebih dulu merebut kembali benda itu dan menyembunyikannya di balik pinggang. Ia menunjuk Meira seperti guru yang siap memarahi murid bengalnya.
"Dengerin gue, nanti pas nilai lo tiba-tiba naik terus orang nuduh lo karena udah heaving sex sama dosen terkait, lo puas dengarnya?" Riska terlalu sering mendengar hujatan orang lain terhadap Meira sampai ia hafal seluk-beluk keboborkan perempuan itu di penjuru kampus, mungkin semua fakultas mengenal Meira dalam segi yang buruk.
"Ya enggak, kan lo udah tahu kalau gue—"
"Gue tahu, tapi orang lain nggak tahu," potong Riska, ia meletakan helm Meira di spion sebelum merangkum tangannya, menarik perempuan itu meninggalkan area parkir dan melangkah melewati halaman kampus hingga tiba di koridor utama tempat fakultas Meira berada.
Mereka menyusuri lorong yang panjang, entah apa yang Riska inginkan saat tangannya enggan melepaskan Meira, kedatangan mereka berdua menjadi bahan gosip baru bagi mahasiswi sekitar, selama ini Meira tak pernah dekat dengan mahasiswa di kampus, kalau pun ada mereka yang sibuk mengejar atau menggoda. Baru Riska yang berani menggandeng Meira dan melangkah di sampingnya, sengaja menekan hubungan mereka.
Meira mulai risi saat mendengar nama Riska menjadi buah bibir karena dirinya, jika hanya Meira yang disebut-sebut ia tak masalah, sudah biasa. Ini Riska turut dihubung-hubungkan seperti, 'masa sih Meira pacaran sama anak Mapala?', 'udah berapa kali mereka heaving sex sampai Riska mau sama Mey?'
Anehnya, Riska seakan tak peduli meski telinganya mendengar jelas semua cibiran itu, alhasil Meira yang sudah emosi dan ingin melabrak pemilik mulut-mulut pedas itu—menjadi mengalah saja dan meleburkan kekesalannya sesingkat mungkin. Memangnya kenapa kalau Meira punya pacar anak Mapala?
Apa setelah ini akan ada judul novel DOSA BESAR MEIRA?
"Ka, ini lo mau tarik gue ke mana? Kelas gue pagi ini udah kelewat," tutur Meira saat Riska enggan mengatakan apa-apa dan terus merangkum tangan Meira seperti truk gandeng yang tak mau dipisahkan.
Truk aja gandengan, yakali kita enggak!
"Muterin fakultas lo," tutur Riska.
"Hah? Buat apa?"
"Ngukur aja sama lihat-lihat area sini, jadi kalau lo hilang tanpa sebab, gue bakal cari ke semua penjuru, kalau nggak ketemu berarti lo terbukti bolos kuliah."
Meira menganga tak percaya, serius sampai seperti itu cara Riska mengawasinya?
"Kelas lo mana tadi?"
"Balik lagi, di sini kejauhan."
Alhasil Riska mengajak Meira kembali menyusuri lorong yang sama menuju kelas perempuan itu, ternyata deretan mahasiswi yang sempat menggosipkan Meira masih bertahan di posisinya, dan lagi-lagi suara mencibir mereka terdengar seolah di mana Meira berada, di situ hujatan mengudara. Ini bukan lagi ada gula ada semut ya, cibiran mereka tak semanis rasa gula.
"Kelas ini?" tunjuk Riska setelah mereka berhenti di depan kelas yang Meira maksud, pintu sudah terbuka lebar sejak mereka melewatinya pertama kali.
"Iya." Meira menggigit bibir seraya mengangguk, rasanya selalu takut jika Riska kesal dengannya seperti kemarin malam.
Riska menarik Meira masuk ke dalam, ternyata di dalam sana sudah ada beberapa orang duduk di kursi masing-masing termasuk ketiga teman Meira yang tumben sekali tak berada di kantin, seketika jantung Meira berdegup kencang menemukan ketiganya membalas tatapan disertai banyak tanda tanya.
"Duduk, tempat duduk lo di mana?" tanya Riska, ia menatap ketiga teman Meira bergantian.
"Di sebelah Selly." Meira menunjuk kursi kosong di sisi kanan Selly, lantas Riska kembali menariknya hingga perempuan itu duduk di tempat yang sesuai, Meira kikuk menanggapi sikap Riska yang otoriter serta tatapan ingin tahu dari ketiga temannya—menghunus seperti pisau tajam yang terus ditusukan oleh pelaku kejahatan pada si korban yang sudah tak berdaya.
Riska membungkuk menyejajarkan wajahnya di depan mata Meira, ia menepikan surai di dekat telinga perempuan itu seraya tersenyum, nyaris mati jika jantungnya melompat dari dada saat ditatap seintens itu. Riska ini lagi apa-apaan sih! Menghipnotis?
"Jangan ke mana-mana, jangan bolos. Gue nggak bohong sama omongan gue tadi, kalau kelas udah selesai langsung chat gue. Nurut, kan?"
Meira mengangguk mengerti, Riska beranjak dan keluar meninggalkan Meira bersama teman-temannya yang semakin ingin tahu tentang sebab akibat dari hubungan tersebut. Untuk pertama kalinya Meira merasa lemas menghadapi tiga perempuan itu, ia seperti baru saja dilempar ke kandang yang berisi tiga macam betina dan siap melahapnya kapan saja.
Dalam hati Meira ingin menjerit sekencang-kencangnya.
***
"Jajan, yuk!" Yang pertama keluar dari ruang kelas adalah Tama, ia mendelik menemukan Meira sudah duduk pada kursi panjang di depan kelasnya siang ini, sejak kapan Meira di sana?
"Lho, ada Meira," celetuk Angga yang melangkah di belakang Tama, "nungguin Riska, ya?"
Meira yang sempat fokus pada ponselnya kini beralih, ia beranjak menatap teman-teman Riska. "Iya, Riska mana?"
"Paling belakang," tutur Tirta yang baru saja muncul, mereka seperti barisan bebek, berurutan begitu teratur.
"Lagi sama cewek, ya?" Meira bersidekap, ia ingat pertama kali menemui Riska di kelasnya laki-laki itu tengah berbicara dengan mahasiswi yang akhirnya berdebat dengan Meira. Saat ia hendak masuk, beberapa penghuni kelas yang lain mulai berhamburan keluar disusul Riska paling belakang.
"Nyonya udah tungguin nih, Ka," celetuk Saka seraya menepuk bahu Riska.
"Lo ngapain di sini?" tanya Riska tampak heran.
"Nungguin, nggak boleh?"
"Enggak, lain kali nggak usah nungguin. Biar gue aja yang samperin lo, jangan ke sini lagi," ujar Riska tak suka dengan sikap Meira.
Angga menepuk bahu Tama. "Bisa tebak nggak siapa yang lebih bucin dari mereka?"
"Kalau tebakan gue bener, lo mau kasih gue apa? Harta benda lo? Rumah lo? Cewek lo?" tantang Tama menyanggupi.
"Sebentar, lo kan tahu kalau gue miskin, di Jakarta cuma kost, cewek aja nggak punya. Apa yang mau lo ambil dari gue, Tam? Seluruh napas ini?" Angga begitu ekspresif saat mengatakannya.
"Nyawa lo aja nggak apa-apa, kalau gue punya dua kan jadi double, kalau yang satu udah mati, masih ada yang satu, jadi malaikat di neraka nggak jadi tanyain amal perbuatan gue. Iya nggak?"
"Sinting!" Angga menoyor Tama. "Tadi katanya mau jajan, di mana? Jarang lo ngajak jajan, biasanya ngajak ngintip orang lagi gejrot-gejrotan di kasur."
"Lo kali yang ngintip kakak lo lagi ganti beha di kamar." Rupanya mereka suka sekali saling mengolok sampai tak memedulikan sekitar.
"Woy, udah." Tirta meraup kedua wajah temannya. "Tadi gue buka instagram, foodtruck yang itu lagi ada menu baru hari ini. Corn dog, mau nggak?"
"Siapa yang bayar?" tanya Saka menatap teman-temannya.
"RISKA!!!" sahut Tama, Angga dan Tirta bersamaan.
"Oh iya, pajak jadian ya kan," ucap Saka menyetujui, ia menyentuh bahu Riska. "Lo anak baik kan, Ka? Kuy lah, ya kali nggak kuy." Setelahnya mereka berempat lebih dulu melenggang meninggalkan Riska serta Meira, tak ada penolakan sama sekali setelah vonis traktiran harus diterima Riska, sudah biasa.
"Lo mau ikut apa mau pulang aja?" tanya Riska.
"Mau ikut dong, mau juga kumpul sama teman-teman lo, kayaknya seru juga anak-anaknya," sahut Meira seraya menatap kepergian teman-teman Riska yang semakin menjauh saja.
"Awas ketularan."
"Ketularan apa?"
"Sinting."
***
Apa yang dikatakan Tirta benar adanya, foodtruck di depan kampus tetangga alias Universitas Darmawangsa rupanya menyediakan menu corn dog hari ini, tak disangka bocah-bocah itu mengikuti instagram promosi pemilik foodtruck yang begitu cantik. Jika dilihat-lihat usianya sekitar 25 tahunan, sikapnya juga begitu ramah tanpa menanggalkan senyum dari wajah saat melayani pelanggan.
Entah bagaimana Tirta serta Tama memiliki foto selfie dengan wanita muda tersebut, mereka bahkan memamerkannya pada Meira yang terkejut menanggapi hal tersebut. Usut punya usut saking ramahnya si penjual makanan foodtruck tersebut sampai bersedia diajak selfie oleh pelanggan yang datang, baik laki-laki maupun perempuan, bonusnya para pelanggan mulai mempromosikan makanan dari foodtruck tersebut di sosial media mereka tanpa bayaran ala endorse, sebab ikhlas melakukannya.
"Itu pacarnya bukan?" tanya Meira yang duduk semeja dengan Saka dan Riska, tiga lainnya duduk di meja berbeda. Meira menunjuk pada laki-laki berkemeja abu-abu yang baru turun dari motor, menghampiri si penjual dan mengecup keningnya meski banyak orang di sana.
"Bukan," sahut Saka, "itu suaminya." Sepertinya Saka tahu seluk-beluk tempat itu sampai urusan kehidupan si penjual.
"Cocok sih, ganteng ya."
Riska yang mendengar perkataan Meira mendadak terbatuk karena tersedak, buru-buru ia seruput milk shake miliknya.
Saka terkekeh menanggapi sikap Riska. "Lo kenapa, Ka? Cemburu dengar Mey nyebut mas yang itu ganteng? Ngerasa kalah lo?"
"Enggak, corn dog rasanya jadi tiba-tiba aneh aja," elak Riska seraya melirik ke arah suami penjual food truck yang terlihat membantu istrinya, wajah Meira tampak blushing melihat sikap Riska, ia tersenyum simpul menanggapinya.
Apa begini rasanya punya pacar yang selalu ada buat lo? Di kelilingi temannya yang ramah, pasti Luna juga dulu kayak gini kan?
***