Chereads / Hello, Riska / Chapter 40 - Do you love me?

Chapter 40 - Do you love me?

"Mbak Mey! Mbak, Mbak Mey!" Beberapa kali Trias menggedor pintu, menggerakan kenop, tapi tetap tak bisa membuka pintu kamar Meira yang terkunci dari dalam sejak semalam. Biasanya tak pernah seperti ini, jadi Trias agak khawatir mengingat majikannya sedang sakit pasca kecelakaan, Trias takut terjadi apa-apa di dalam sana. "Mbak, Mey! Mbak? Mbak Mey di dalam kan? Mbak Mey nggak apa-apa, kan?" Wanita itu masih setia berdiri di depan pintu, menunggu seseorang membukanya agar kegusaran lekas lenyap.

"Gue enggak apa-apa, Mbak. Lanjutin aja kerjanya!" seru Meira dari dalam kamar, Trias bisa bernapas lega sekarang, ternyata majikannya membuka suara—sedikit mengurangi kecemasan Trias, wanita itu menyingkir dan melanjutkan pekerjaannya yang lain.

Sebenarnya Meira sudah terbangun sejak setengah jam sebelum Trias datang, tapi ia bertahan di posisinya berbaring di ranjang—memunggungi seseorang, posisinya miring ke kiri, seperti terakhir kali saat ia menarik kaki yang akhirnya menekuk lutut dan ia peluk dalam tidurnya malam tadi. Bedanya, selimut menutupi keseluruhan tubuh Meira yang masih naked di bagian bawah.

Meira hanya bergeming menikmati lamunan panjangnya, entah harus bagaimana, ia sudah melepaskannya. Jika bukan Meira mungkin ia sudah bergonta-ganti room mate sebab banyak laki-laki dengan sukarela melempar dirinya ke ranjang untuk menikmati malam bersama Meira, imagenya sudah sangat buruk, mungkin terdengar konyol, tapi ia benar-benar mempertahankan miliknya seperti orang suci. Padahal tidak sama sekali.

Meira menjadikan lengan kokoh Riska sebagai bantalan kepala, telapak tangannya yang kosong Meira arahkan ke wajah dan ia sentuhkan ke pipi, terasa begitu nyaman seolah dunia takkan bisa mengintimidasinya lagi. Ia sibuk mengingat perkataan Luna kemarin malam sebelum keputusan besarnya turut mengiringi, tapi mendengar pengakuan dari Riska memang bukan hal yang mudah, paling tidak Meira bisa mempercayainya, menjadikan Riska sebagai orang yang siap menampung segala pelik hidup Meira. Ia juga membuktikan satu hal pada Riska jika argumen orang-orang tentang dirinya adalah sebuah kesalahan.

Sebuah kecupan di bahu kanannya membuat Meira menyadari jika Riska juga sudah bangun. "Pagi," sapa laki-laki itu.

Meira memutar posisinya miring ke kanan menghadap Riska yang juga memiringkan tubuh ke kiri, mereka saling menatap dalam jarak yang hanya sebatas lima centi, ini tidak asing lagi bagi Meira. Riska masih membiarkan lenganya sebagai bantalan Meira, tangan lainnya menyentuh wajah perempuan itu, telunjuknya mengacung menyusuri setiap lekuk wajah Meira dimulai keningnya, melewati ruang antara sepasang mata, turun ke hidung dan terus meluruh menyentuh bibir, lantas berakhir di dagu.

Kini Meira melihat jelas seteduh apa tatapan laki-laki itu. "Riska."

"Ya?"

"Apa ada sesuatu di dalam sana?" Meira menyentuh dada telanjang Riska, tepatnya sisi kiri. "Sesuatu buat gue?"

"Ada, semua buat lo."

"Really? Apa nggak ada yang tersisa buat Luna?" Pertanyaannya terdengar konyol, dia masih memikirkan perasaan saudaranya, Meira tak terbiasa seperti ini—memikirkan perasaan gadis lain, jika ada laki-laki mendekat padanya ia sekadar menafsirkan kalau mereka mungkin tak memiliki pasangan, jadi bebas mendekati Meira. Salah jika ia bertanya?

"Ada, rasa sayang."

Meira mengangguk, ia menjauhkan tangannya dari dada Riska, mengubah posisi berbaring menghadap langit-langit kamar. Lampu memang belum menyala, tapi sinar matahari yang masuk melewati jendela geser kamar yang dibiarkan terbuka sejak semalam memiliki cukup cahaya untuk memperjelas keberadaan mereka.

"Lo ragu?" Tangannya menepikan surai di dekat telinga Meira, menatapnya dari tepi.

"Nggak tahu. Ini ... aneh."

"Aneh? Ini bukan aneh, tapi keterbukaan."

"Kalau Luna tahu soal ini gimana?" Nada bicara Meira terdengar seperti anak kecil yang mengkhawatirkan ibunya jika tahu nilai ulangannya jelek.

"Kenapa sama Luna? Kalau dia sampai mengakui tentang gue atau tentang kami sama lo, berarti dia udah siap melepaskan. Nggak ada akibat tanpa sebab, gue pindah tangan."

"Kalau Luna sakit hati?" Wajahnya tampak lugu, ia terus menatap langit-langit kamar seraya membayangkan segala hal buruk yang mungkin terjadi, tiba-tiba saja perempuan itu mengkhawatirkan perasaan orang lain.

"Dia udah sakit hati saat siap mengatakan apa pun sama lo, sampai di sini paham?"

Meira beranjak duduk, selimutnya hanya menutupi sebatas perut, ia masih memakai atasan piyama meski dua kancing atasnya tetap terbuka. "Terus, nanti Luna sama siapa? Bukannya lo yang selama ini selalu jagain dia."

"Mau lo sebenarnya apa?" Riska turut duduk di samping Meira. "Gue cuma satu, badan sama nyawa gue juga satu. Apa perlu dibagi dua biar sama rata? Lo siap berbagi? Luna nggak mau berbagi, jadi dia melepaskan."

Meira menatapnya, ia menggeleng. "Gue juga enggak mau berbagi, sama sekali nggak mau."

"Kalau gitu mulai sekarang belajar menghapus bayangan Luna dari gue, bisa?" Anggukan Meira membuat senyum tipis Riska muncul. "Nanti lo akan terbiasa, sekarang gue mau pulang, mau ke kantor polisi juga." Riska turun dari ranjang dan memungut kaus serta jaketnya yang tergeletak di lantai, celana Meira juga masih tercecer di sana.

"Kantor polisi? Ngapain?"

"Cari tahu sesuatu. Jangan ke mana-mana, ya. Kalau mau pergi langsung hubungi gue." Riska mengedipkan salah satu matanya sebelum memutar kunci dan lenyap dari hadapan Meira, saat sosoknya tak lagi terlihat Meira kembali membaringkan tubuh seraya mendesah.

***

"Eh tunggu, Mas! Tunggu!" Trias buru-buru menghampiri Riska yang baru keluar dari kamar majikannya. "Mas ini siapa? Orang jahat ya, kok baru keluar dari kamar Mbak Mey?" Ia mengacungkan sapu di depan wajah Riska. "Jangan macam-macam ya, Mas. Saya bisa lapor polisi lho sekarang." Gagang sapu diapitnya pada ketiak kiri saat tangan lain sibuk merogoh ponsel dari saku apron.

"Meira mau laporin pacarnya ke polisi?" Riska sudah mengangkat tangannya ke udara, ia tampak lugu seperti kedapatan mencuri oleh pemilik rumah. "Serius?"

"Pacar?" Trias mengernyit, ia menatap Riska dari ujung kaki hingga kepala. "Beneran pacar? Mbak Mey belum pernah lho masukin laki-laki ke tempat ini, kecuali orang jahat yang waktu itu mau celakain Mbak Mey. Nama Mas siapa?"

"Riska."

Trias merasa familier dengan nama tersebut, ia mengingatnya sejenak, kaset dalam kepala wanita itu diputar pada hari di mana ia menemukan Meira duduk bersandar di sofa seraya memejamkan mata dalam pelukan selimut, seorang diri. Lantas saat Trias membangunkannya—Meira refleks menanyakan keberadaan Riska yang sama sekali tak Trias ketahui siapa pemilik nama tersebut.

"Mas Riska yang pernah temenin Mbak Mey tidur di ruang tamu karena lembur nonton tv ya?" Asumsi Trias masih sama, lagipula ia tak pernah mempertanyakan langsung pada Meira mengapa sampai terlelap di sofa.

Riska meluruhkan tangan seraya menerawang sebelum berakhir mengangguk. "Ya, itu."

"Terus, kenapa ada di kamar Mbak Mey tadi?" Rupanya Trias belum lelah mengintrogasi mengingat kondisi majikannya sedang tidak baik-baik saja, belum lagi tragedi penyerangan sebelum mengganti kode masuk, ia hanya waspada saja.

"Temenin Mey tidur, dia lagi sakit dan enggak ada yang temenin kan? Kalau dia butuh sesuatu gimana?"

"Iya sih, tapi benar ya Mas Riska ini enggak macam-macam ke Mbak Mey. Awas kalau bohong!" Trias tak segan mengacungkan lagi sapu di depan Riska yang hanya tersenyum tipis.

"Iya, saya pulang ya. Jagain Meira, permisi." Ia melenggang melewati Trias yang terus memperhatikan Riska hingga raganya lenyap di balik pintu utama. "Kayaknya saya harus cek langsung keadaan Mbak Mey di kamar, memastikan aja."

Trias mengetuk pintu kamar Meira, tapi tak ada jawban sampai ia menunggu beberapa menit. Trias terlalu gemas untuk tak lekas membukanya setelah pemilik kamar tak kunjung membukakan pintu, alhasil tangan yang sudah terasa gatal sejak tadi akhirnya terangkat menyentuh kenop pintu—membukanya dengan mudah, kini isi kamar Meira tertangkap penglihatan Trias.

"Mbak Mey, saya masuk ya ...." Ia melangkahkan kakinya menapak selasar kamar Meira, terdengar suara kran air dari arah kamar mandi, mungkin Mey sedang mandi. Trias mengernyit saat melihat ranjang Meira berantakan, bahkan celana dalam serta bawahan piyama tercecer di lantai. "Masa sih Mbak Mey buka celananya di sini? Kamar mandi kan dekat," guman Trias.

Hal pertama yang ingin dilakukannya adalah membereskan ranjang Meira, selimut serta seprainya tampak lusuh acak-acakan. Baru saja tangan Trias menarik sisi selimut, ia mendelik begitu melihat beberapa jejak noktah darah di permukaan seprai, jika Trias tak menarik selimutnya—belum tentu ia menemukan noktah tersebut.

"Mbak Mey tanggal merah sampai bocor di seprai mungkin ya." Rupanya ia kurang peka untuk menyadari sesuatu, tapi saat dipungutnya celana dalam Meira dan tak terlihat bekas darah menstruasi di sana—Trias menganga seraya menggeleng. Ia mulai menghubungkan benang yang satu dan lainnya, dimulai dari kamar Meira yang terkunci, sosok laki-laki bernama Riska keluar dari kamar, lantas noktah darah yang bukan berasal dari menstruasi, jadi ini adalah?

"Mbak Mey, anu, anu, anu—" Ia mendengkus. "Hah, terserah lah bukan urusan saya, yang penting dia baik-baik aja." Tanpa ingin memusingkan urusan majikannya ia memilih melanjutkan berbenah kamar Meira termasuk melepaskan seprai kotor tersebut.

***

"Kami masih terus menyelidiki kasus sabotase mobil saudara Meira ini, kalau ada kabar terbaru pasti tim kami akan menghubungi Anda." Seorang polisi bertubuh tinggi besar dengan name tag seragam bertulisan Razi Atmaja baru saja bersalaman dengan Riska yang berdiri di depannya, tadi mereka sempat membahas sesuatu tentang fakta baru dari mobil Meira, beruntungnya memang tak sampai meledak meski asap keluar dari kap mobilnya hari itu. Pihak polisi menderek mobil dari TKP dan memulai penyelidikan, yang paling krusial adalah mobil Meira disabotase hingga remnya tak berfungsi.

"Baik, Pak. Saya permisi pulang, terima kasih atas waktunya." Riska tersenyum dan menyingkir dari dalam kantor polisi tersebut, pikirannya mulai menerka ke mana-mana, kenapa masih saja ada orang yang ingin mencelakai Meira?

Riska duduk di jok motor yang terparkir di halaman, ia tak langsung melajukan motornya dan sibuk memikirkan sesuatu. "Banyak yang bisa dituduh, tapi nggak bisa asal tuduh, nanti nama Meira yang malah kebawa-bawa. Tugas gue cuma ... menjaga, tapi ini cukup menguras pikiran dan tenaga, kasusnya harus selesai sebelum nanti gue benar-benar meninggalkan Jakarta."

***