Chereads / Hello, Riska / Chapter 38 - Touch me.

Chapter 38 - Touch me.

***

Pagi ini Ashila serta Fredy datang lagi ke rumah sakit untuk melihat sang putri, bagaimana pun penolakan yang Meira berikan Ashila takkan pernah jera untuk mendekati putrinya. Namun, semangat Ashila harus lenyap saat ia memasuki ruang rawat Meira dan hanya melihat suster membereskan kamar tersebut, suster mengatakan jika Meira sudah pulang setelah mendesak pihak rumah sakit untuk mengizinkannya rawat jalan saja. Ashila menelan kecewa, sebegitu tak inginnya Meira dilihat sang ibu sampai ia terus saja menghindar.

Lantas, Ashila datang ke unit Meira, tapi sang putri sama sekali tak mau membukakan pintu dan membiarkan pedih hati Ashila semakin membengkak saja, ia mengalah dan pergi. Ketiga sahabat Meira yang datang diterima dengan senang hati, sejam lebih mereka berada di sana sampai akhirnya pulang, lantas digantikan dengan Luna—yang mungkin diperintah sang ibu untuk menjenguk saudara tirinya, perlu banyak upaya agar Luna bisa masuk, dan sebuah alasan paling krusial membuat Luna berhasil masuk meski tak sampai setengah jam ia berada di sana.

Sekarang Meira duduk melamun di ranjang seraya memikirkan setiap perkataan Luna yang seolah terus berdengung di telinga, ia memeluk lutut dengan tatapan kosong. Hari ini Lolita full time merawat Meira, toh siapa lagi yang akan merawat gadis itu? Trias hanya datang saat pagi saja, lagipula Lolita sudah sangat dipercaya oleh Meira.

Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam, dan Lolita baru saja memasuki kamar Meira seraya membawa nampan berisi sepiring nasi lengkap dengan lauknya. Meira mengakhiri lamunannya, ia menatap Lolita yang kini mendekat dan meletakan nampan tersebut di depan sang model.

"Makan, Mey. Biar cepat sembuh," tutur Lolita, "mau gue suapin nggak biar kita romantis?" Ia terkekeh setelahnya, tapi Meira datar saja.

"Nggak usah. Gue bisa makan sendiri." Meira meraih segelas air putih yang terhidang dan meneguknya sedikit. "Oh ya, sekarang udah malam. Lo kalau mau pulang ya pergi aja enggak apa-apa kok, Lol."

"Pulang? Tapi, nanti lo gimana? Kan nggak ada temannya, Mey. Apalagi lo sakitnya kayak gini, kalau cuma pilek udah gue tinggal dari kapan tahu." Lolita mengerucut mendengar permintaan Meira, ia terlalu khawatir dengan keadaan modelnya.

"Gue baik-baik aja, kalau gue udah bilang kayak gitu lo harus percaya. Lo pasti capek kan udah ngurusin gue seharian ini, mending pulang aja. Gue kan bisa jalan, kepala aja yang rasanya sakit berlebihan."

"Tapi, Mey—"

"Asep!" Meira mendelik. "Nurut dikit jadi orang, nanti kalau ada apa-apa pasti gue telepon elo kok."

"Tapi, benar ya, Mey? Gue cemas banget soalnya, gue nggak mau lo kenapa-kenapa."

"Iya gue serius, udah pulang aja. Gue bisa jaga diri kok."

Lolita mendesah, ia mengalah dan beringsut keluar dari kamar Meira sebelum menutupnya rapat-rapat. Sedangkan Meira meraih ponsel yang ia simpan di bawah bantal, dicarinya nomor seseorang meski setelah menemukannya ia menimang-nimang keputusannya.

Apa sudah benar?

Meira mengingat lagi setiap perkataan Luna, ia butuh keyakinan untuk mempercayainya, ia butuh bukti jika memang benar. Kini ditatapnya layar ponsel yang masih memperlihatkan nomor seseorang, butuh beberapa detik lagi agar Meira yakin akan keputusan besarnya sampai sepasang ibu jari mengetik sebuah chat dan mengirimkannya ke nomor tersebut.

***

"Lo butuh tas lo kan makanya nyuruh gue datang ke sini?" Suara familier tersebut membuat Meira yang berdiri menatap keadaan Jakarta dari ketinggian di balik jendela geser kamarnya—menoleh sejenak dan menemukan Riska sudah datang, Meira memberikan lagi kode masuk apartemennya yang baru secara cuma-cuma seolah ia lupa tentang segala hal yang membuat mereka renggang.

Riska berdiri di dekat ranjang dan meletakan tas Meira di sana. "Urusan gue udah selesai, gue mau pulang."

"Gue bahkan belum ngomong apa-apa," ucap Meira tanpa menatap lawan bicara, ia fokus menikmati sepoi angin alami dari luar sana meski AC kamarnya menyala, rasanya begitu berbeda. Udara AC takkan sanggup membuatnya mengantuk dengan cepat, beda dengan udara alami yang bersliweran di luar sana.

Riska mengurungkan niat untuk pergi. "Terus apa?"

"Tadi Luna ke sini, dia bilang semuanya."

"Bilang apa?"

"Gue rasa lo tahu apa yang dia kasih tahu ke gue, sesuatu yang katanya nggak mau lo ucapkan. Yang jadi pertanyaan, apa semua itu benar? Karena, gue masih ingat waktu lo bilang kalau gue nggak akan mendapatkan apa yang gue inginkan." Meira menelan ludah, ia bersidekap tanpa ingin menoleh pada laki-laki yang masih bertahan di posisinya, Riska bergeming tanpa suara, entah apa yang dipikirkannya sekarang. "Pertanyaannya sederhana kok, apa itu benar? Karena gue enggak yakin. Gue nggak mengenal lo dengan baik, Riska. Mungkin Luna iya, tapi lagi-lagi pertanyaannya sama, apa semua itu benar?"

Hening, cukup lama. Jika saja Meira dapat mendengar suara hati Riska, ia tak perlu bertanya, ia tak perlu menunggu.

"Pertanyaan gue susah banget, ya?" Meira mulai mengikis kesabarannya. "Ya udah kalau lo emang nggak bisa jawab, nggak ada bukti juga kan? Sekarang lo bisa pulang, tapi satu hal." Ia terpejam sejenak merangkai kalimat yang ingin dilontarkannya sebelum kelopak kembali terbuka menatap langit pekat di luar sana. "Apa pun yang terjadi sama gue, lo nggak perlu ikut campur, Riska. Mau gue mati atau apa pun itu lo nggak perlu repot-repot ngurusin, karena gue benar-benar nggak bisa mengikis rasa kecewa gue saat perempuan ini menempatkan perasaannya untuk seseorang, tapi orang itu merusaknya dengan sengaja. Gue enggak bisa, jangan kayak mama gue."

Hening, lagi.

Riska sama sekali tak bergerak dari posisinya, Meira juga melakukan hal yang sama, entah sadar atau tidaknya jika Riska masih berada di dekat ranjang seraya mengepalkan satu tangannya. Apa yang mereka pikirkan tak bisa terdeteksi, tak bisa diterka, yang jelas Meira sudah mengatakan semuanya.

"Apa yang harus gue lakukan biar lo percaya?" Akhirnya Riska angkat bicara, ia sulit mengungkap segala sesuatu yang Luna katakan secara gamblang, Riska memang senang bermain siapa yang lebih pandai menyembunyikan—maka ia yang menang, tapi tempat persembunyian Riska baru saja terkuak. Rupanya ia lebih suka melakukan ketimbang mengungkapkan.

"Touch me."

Suara Meira seperti sayup-sayup lullaby yang membuat orang mulai tak sadar, Riska pun sama, ia yakin indra pendengarannya salah mendengar. "Kalau lo nggak mau minta bukti apa-apa ya udah, gue mau balik."

Meira berdecih. "Bahkan sikap lo masih kayak gini, Riska. Gimana gue mau percaya? Apa jangan-jangan lo sama Luna lagi sekongkol membaret hati gue untuk yang kedua kalinya? Senang ya?"

"Enggak."

"Terus apa?"

"Lo minta bukti apa?"

"Touch me." Meira mengulang permintaan yang sama, ia memutar tubuh menghampiri Riska yang lagi-lagi bergeming usai mendengar permintaan Meira, baginya terdengar cukup aneh. "Sekali lagi gue tekankan, kalau lo nggak bisa, pergi selamanya dari kehidupan gue."

"Kenapa." Kini mereka tepat berhadapan, ditatapnya sayu perempuan dengan kening tertempel kain kasa serta plester luka tersebut. "Kenapa gue harus pergi dari kehidupan lo?" Nada bicaranya seolah menegaskan jika ia tak rela, memprotesnya terang-terangan.

"Karena lo nggak mau membuktikan apa yang Luna bilang ke gue, Riska. Padahal itu mudah, banyak orang meragukan gue, lo juga. Sekarang lo bisa buktikan keraguan lo atas gue, dan sebaliknya. Kita sama-sama membuktikan biar tahu kejelasannya, biar nggak ada lagi keraguan yang keluar dari mulut lo itu."

"Kenapa harus begini?"

"Karena ini satu-satunya jalan, gue manusia normal yang punya perasaan, lo juga kan? Bukan robot kan?"

"Lo lagi sakit."

"Gue baik-baik aja."

"Nggak harus kayak gini." Riska masih enggan melakukannya.

"Terus apa? Lo jijik sama gue? Lo percaya kan sama semua omongan orang-orang di luar sana? Bahkan mereka menganggap gue sering make out sama dosen biar nilai gue naik." Meira menunduk seraya menyentuh keningnya dan tertawa hambar, tapi itu menyedihkan—mengingat begitu banyak orang selalu kontra dengannya. Bahkan tanpa ingin mendengar Meira menjelaskan, mereka sudah menganggapnya sekadar omong kosong.

Ia tumbuh dewasa dengan baik meski harus mengandalkan dirinya sendiri, sejak lama dunia tak pernah ramah terhadapnya, dan hal tersebut masih berlaku sampai sekarang, ia mulai terbiasa menikmati presepsi buruk orang lain tentangnya, bersikap diam dan membiarkan mereka semua menganggap opininya benar.

Sebuah kepercayaan adalah suatu hal besar yang bisa Meira berikan untuk seseorang, dan belum tentu bisa berlaku berkali-kali jika ia mendapat kebohongan atau pengkhianatan yang besar.

Untuk Riska, sejak awal Meira yang salah, ia yang membawanya masuk dalam lingkup kehidupan Meira nan memiliki banyak tanda tanya, tapi bukan kehendak Meira juga jika ia bersalah sudah mencintai kekasih saudaranya sendiri. Meira tak tahu apa-apa, ia tak bisa menebak konspirasi alam semesta. Jika saja Luna bukan saudaranya, mungkin semua bisa dipermudah tanpa perlu Meira memikirkan kecanggungan dan rasa malunya.

Kali ini, Meira berbaik hati memberikan privilage untuk Riska, tinggal bagaimana laki-laki itu menggunakannya dengan baik. Tak semua orang bisa mendapatkannya, bahkan mungkin baru Riska saja.

Meira mendesah menyadari jika Riska terus saja diam, dan ia menganggapnya sebagai jawaban. "Keluar dari sini, pintunya di sana." Telunjuknya mengarah ke pintu yang terbuka lebar.

Riska tetap bergeming, tapi sepasang kakinya membawa laki-laki itu mengarah ke pintu. Meira sudah sangat lelah menghadapinya, sekarang ia menganggap jika pengakuan Luna adalah kebohongan besar.

Namun, Riska bukan melangkah keluar kamar, ia justru menutup pintu dan menekan tombol lampu hingga cahaya di kamar Meira redup, gelap dan hanya mengizinkan sedikit cahaya bulan yang masuk lewat jendela geser terbuka di sana.

Meira tak lagi bisa melihat apa yang laki-laki itu lakukan, yang jelas terdengar suara kunci kamar bergerak dan berakhir dengan derap langkah mendekat.

Entah di mana laki-laki itu berada saat derap langkahnya tak lagi Meira dengar, tapi sebuah sapuan udara di sisi wajahnya membuat Meira kini menyadari, bola matanya bergerak menatap ke arah di mana sapuan udara tersebut berlangsung. Jika udaranya dingin Meira bisa menafsirkan dari luar jendela, tapi udara yang menyapunya tadi terasa hangat, mungkin saja desah napas Riska.

Meira menelan ludah, ia tak bisa melihat wajah laki-laki itu, tapi sapuan hangat yang menyentuh telinga kirinya membuat Meira semakin menyadari di mana keberadaan Riska, belum lagi desah napasnya yang terdengar lirih.

"Riska," panggil Meira.

"Lo serius?" Suara seraknya yang khas terdengar di belakang Meira, begitu berat dan lirih, antara telunjuk serta ibu jarinya menyusuri pelan lengan Meira dari atas ke bawah, menelusupkan gelenyar asing yang semakin membuat gadis itu merinding.

"Ya."

"Lo yakin?"

"Iya."

"Tapi, gue takut." Sepasang tangan menggamit Meira dari belakang, menariknya hingga punggung gadis itu menyentuh dada laki-laki di belakangnya yang kini menyandarkan dagu di bahu kiri Meira. "Gue takut lo nggak percaya sama gue."

"Kalau lo pengin gue percaya, buktikan semuanya sekarang." Meira mati-matian menahan diri, tangannya meremas ujung piyama yang ia pakai.

"Gue tanya sekali lagi, lo serius?"

"Iya, gue serius."

Tak ada lagi suara Riska yang terdengar, hanya desah napas yang menyentuh kulit leher Meira saat laki-laki itu memiringkan kepala dan menyembunyikan wajahnya di caruk leher Meira. Mengapa atmosfer jadi terasa panas sekali, padahal AC serta udara dari luar jendela sudah memenuhi kamar tersebut.

Tangan kanan Riska merambat menghampiri dua kancing bagian atas piyama dan membukanya, kepala laki-laki itu sedikit terangkat saat tangannya menarik ke bawah piyama yang menutupi bahu hingga sebatas lengan setelah dua kancing yang terlepas mengendurkannya. Bibir Riska mulai mengecup pelan bahu kiri Meira, begitu lembut diselingi sapuan napas yang membuat Meira terpejam dan semakin mencengkram ujung piyamanya.

"Just be mine, right?"

***