Suara deras air shower dari arah kamar mandi yang terletak di sudut kamar akhirnya berhenti, seseorang keluar seraya mengusap rambut basahnya menggunakan handuk kecil, ia sudah memakai ripped jeans. Tirai abu-abu ditepikan dan jendela dibuka agar sinar matahari tak hanya mengintip lewat ventilasi kamar, manusia lain di kamar tersebut awalnya begitu nyaman mendekap guling yang bukan miliknya, bahkan tidur di ranjang orang lain. Namun, saat jendela kamar dibuka dan si pemilik kamar mempersilakan sinar matahari masuk—maka sosok di ranjang mulai terusik.
"Mbak Trias ngapain sih buka-buka jendela, tutup lagi sekarang," gerutu Meira yang belum menyadari keberadaannya, saat sinar matahari tetap saja menyorot ke arahnya ia menyerah dan membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya meski samar-samar adalah ketika seorang laki-laki berdiri membelakanginya dengan tubuh shirtless tengah membuka lemari dan menarik kaus, ia kenakan dengan santai tanpa memedulikan perempuan di belakangnya. "Hah? Apa!"
Riska memutar tubuh mendengar suara Meira, ia terlihat tak peduli ketika gadis itu melihat sekitar dan baru menyadari keberadaannya bukan di kamar apartemen. Riska tak acuh, ia melenggang begitu saja keluar kamar saat Meira menganga atas hal asing yang menyambutnya pagi ini.
"Astaga, Tuhan! Gue di mana?" Ia sudah beranjak duduk dan menyingkap selimut yang sempat menggamit tubuhnya, ia masih mengenakan white dress semalam. Meira menoleh ke kiri dan menemukan beberapa pigura menempel di dinding, ia beranjak turun dari ranjang melihat-lihat benda di sekitarnya. Kamar tersebut terlihat begitu rapi, tapi khas seorang laki-laki, di sisi kiri ranjang terdapat meja yang terbuat dari bambu dengan sebuah gitar akustik di atasnya, di sampingnya lagi ada nakas drawer hitem yang memiliki beberapa laci.
Meira menatap antusias foto-foto yang menunjukan area gunung tersebut, di setiap foto ada wajah Riska, bahkan di salah satu figura Riska terlihat mengibarkan bendera Indonesia di puncak gunung. Di ujung bagian bawah terdapat keterangan tentang tanggal dan nama gunung yang Riska singgahi.
"Jadi, ini kamarnya Riska? Really? Kenapa gue tiba-tiba ada di sini." Ia memutuskan keluar kamar seraya memanggil nama Riska, tapi laki-laki itu tak menyahut, kala Mey masuk dapur ia menemukan Riska membungkuk di depan kulkas yang terbuka dan mengeluarkan selai dari sana. "Kok gue bisa ada di sini? Di Rafflesia Residence." Sayangnya, Riska enggan menyahut dan sibuk membuat sarapannya sendiri seolah tak ada manusia lain di sana meskipun Meira berdiri di ambang pintu dapur. "Ya ampun lo emang budek apa sengaja, kenapa gue ada di rumah lo, Riska! Kalau enggak jawab mending gue telepon polisi aja!" Mey memang tak sabaran jika sudah sangat ingin tahu sesuatu, ia bergerak kembali ke kamar dan meraih tasnya yang tergeletak di permukaan nakas hitam.
"Tadi malam pilihan lo cuma ada dua, diperkosa di hotel atau tidur di kasur gue, kalau emang nggak mau ada di sini harusnya jangan pingsan dulu dan bilang maunya ngamar sama cowok itu." Rupanya Riska menyusul Mey ke kamar dan menarik lengannya saat gadis itu akan menghubungi polisi, Mey benar-benar serius. "Sekarang kalau mau lapor polisi ya silakan."
"Tadi lo bilang kalau gue pingsan?" Mey tampak kebingungan. "Tapi, kenapa gue harus pingsan?"
"Gue nggak tahu dan nggak mau tahu." Riska meninggalkan kamarnya menuju dapur lagi, ia tak mau sarapannya terbuang sia-sia, tapi Mey bergegas menyusul dan menarik tangan laki-laki itu.
"Terus, kenapa gue malah dibawa ke tempat lo, lo nggak ngelakuin sesuatu, kan?" Kelopak Mey menyipit curiga, ia bersidekap.
"Visum ke rumah sakit." Riska meraih cangkir kosong serta sebungkus kopi dari kabinet atas. "Kalau lo ada bekas apa pun di dalam, potong aja leher gue. Lagian kenapa parno begitu, bukannya udah sering." Ia tersenyum miring saat melirik Meira, dialog tadi terdengar mengucilkan.
"Whatever, tapi makasih. Gue mau balik kok, tapi sebelum balik gue mau mandi dulu, pinjam kamar mandinya, ya."
Mey benar-benar masuk ke kamar mandi meskipun berada di rumah seorang laki-laki, bahkan kini ia terus berteriak memanggil nama Riska seraya meminjam pakaian ganti. Alhasil, Riska mengalah ketimbang suara Mey membuat telinganya sobek. Riska meraih salah satu kausnya serta celana jeans panjang dari lemari, ia menggantungnya pada kenop pintu sebelum keluar dari kamar.
Begitu Meira selesai dengan urusan kamar mandi, perempuan itu memakai kaus serta celana yang dipinjamkan Riska, jelas saja kausnya terlihat kedodoran. Namun, ada yang aneh dengan celana jeans itu, mengapa pas sekali di lingkar pinggang Meira? Harusnya juga kedodoran, jika dilihat-lihat tubuh Riska tak selangsing Mey.
Gadis itu keluar dari kamar dan menemui Riska yang berada di halaman rumah—tengah menghidupkan motornya, semalam kedua temannya telah mengantar motor laki-laki itu. Mobil Mey juga berada di sana.
"Makasih ya buat kausnya," ucap Meira.
"Hm."
"Tapi, kok celananya muat di badan gue? Jangan-jangan ini celana punya si Luna, ya?"
"Punya adik gue yang ketinggalan."
"Oh." Meira manggut-manggut. "Ya udah, gue mau langsung pulang sekarang." Meira membuka tas dan ia baru menyadari sejak semalam telah mematikan ponsel, kemungkinan besar banyak orang mencari—terutama Trias yang setiap pagi datang ke apartemen untuk bersih-bersih, bisa bingung melihat majikannya tak ada dan tak bisa dihubungi. "Sekali lagi makasih ya." Ia memasuki mobilnya dan duduk di balik kemudi, tapi Riska terlihat menghampiri dan mengetuk kaca sisi kanan—membuat Meira meluruhkannya.
Riska membungkuk menatap Meira. "Mending lo cari tahu siapa yang bikin lo pingsan semalam."
Mey menelan ludah, bukan karena mendengar ucapan Riska, tapi sebab tatapannya yang meneduhkan dan tak biasa baginya. Mey lantas mengalihkan pandang saat Riska tak lagi membungkuk, ia juga tak mengatakan apa-apa hingga mobil meninggalkan rumah tersebut.
Kadang gue nggak ngerti sama lo, Riska. Lo selalu mencemooh gue, tapi kenapa selalu ada perhatian kecil terselip di setiap omongan lo.
***
Mey baru saja memarkir mobilnya di basement apartemen, ia bergegas turun dan melangkah menghampiri lobi, awalnya laju kaki Meira tampak tergesa, tapi begitu memasuki lobi tiba-tiba memelan saat netranya menemukan seseorang berdiri di depan meja resepsionis dan berbicara dengan petugas di sana. Postur tubuh tersebut sangat Mey kenali, tapi ia berharap dugaannya salah.
"Nah, itu Mbak Meira-nya, Bu." Si petugas resepsionis lantas menunjuk Meira saat tak sengaja melihat gadis itu masih berada di area lobi, buru-buru Mey mempercepat langkahnya tatkala wanita yang sempat ia praduga benar-benar menjadi nyata.
Meira bergerak cepat menghampiri lift, sayangnya keadaan terlihat antre hingga ia memutuskan menyingkir dari sana dan mencari ruang tangga darurat, wanita tadi mengejar Meira seraya menyebutkan namanya.
"Mey! Meira! Kamu mau ke mana, Nak!" Wanita itu pontang-panting mengejar Meira yang terus berlari menapaki tangga seraya sesekali menoleh, kentara sekali ketakutan Mey seperti dikejar-kejar sesuatu yang mengerikan, tapi saat seorang petugas kebersihan berpapasan dengannya seraya membawa tempat pel lantai—mereka berserobok hingga akhirnya Mey tersungkur ke lantai, untung saja bukan di posisi saat Mey menaiki tangga, jadi ia tak terluka parah atau luka dalam. "Mey! Are you okay, Dear?" Wanita itu berhasil menyentuhnya.
"Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja," ucap petugas kebersihan tadi, ia kembali melenggang meninggalkan dua perempuan di sana.
Meira menarik tangannya yang tersentuh tadi, ia beranjak dan merasakan sakit di bagian pantatnya akibat terbentur lantai. "Nggak usah sentuh-sentuh! Nggak perlu lagi." Mey benar-benar menghindar. "Mama ngapain di sini, harusnya Mama di Jerman kan, ngapain pulang ke Jakarta."
"Mama kangen sama kamu, Nak. Mama cari-cari kamu dari pagi ke unit kamu, tapi kata housekeeper di sana kamu nggak ada. Kamu ke mana aja?" Ashila, dia Ashila.
"Bukan urusan Mama, Mama nggak perlu tahu urusan aku, kita sepakat buat urus kehidupan masing-masing kan."
"Mey, Mama nggak pernah bilang seperti itu."
"Udah, Ma. Aku capek." Meira menyingkir menuruni anak tangga dan keluar dari ruangan tempat tangga darurat berada, tapi Ashila tetap mengekor di belakang putrinya meski penolakan jelas di depan mata.
"Mey, dengerin Mama sebentar. Mama—"
"Aku nggak mau dengar apa-apa, Ma. Please, mohon pengertiannya." Meira menekankan dialognya. "Kalau Mama nggak mau pergi dari sini, biar aku yang pergi."
"Mey ...." Ashila mengalah, ia membiarkan Meira memasuki lift hingga pintu tertutup tanpa mengajak dirinya. Kentara kesedihan memenuhi wajah, bahkan seluruh jiwa raga saat menanggapi penolakan Meira yang tetap keukeuh dengan pendiriannya, sejak Ashila meminta izin untuk menikah lagi adalah hari di mana sikap Mey berubah terhadapnya. Sang putri menjadi pribadi yang berbeda, sangat dingin dan tak pernah mendengarkan penjelasan ibunya.
Ya, bagaimana pun semua butuh proses yang panjang, tentang sebuah kesadaran untuk saling mengerti satu sama lain, Meira hanya belum mengerti, ia masih tenggelam dengan kekecewaan serta luka di masa lalu yang entah kapan menyingkirnya.
Meira telah tiba di lantai 25 dan bergerak menyusuri koridor dengan tergesa seraya sesekali menoleh ke belakang takut-takut Ashila mengikutinya, begitu masuk ke dalam unitnya ia baru bisa bernapas lega dan memutuskan duduk di sofa. Dari arah dapur terlihat Trias keluar menghampiri sang majikan.
"Mbak, tadi mamanya Mbak Mey nyariin, udah ketemu di bawah?" tanya Trias memastikan.
Meira berusaha menetralkan amarah yang sempat meradang, ia tak ingin menjadikan Trias sebagai korbannya pagi ini. Beberapa kali Mey menarik napas panjang guna melunturkan kekhawatirannya akan Ashila, ia pun beranjak. "Mbak, kalau dia ke sini lagi jangan diizinin masuk ya, biarin aja, bilang kalau aku lagi sibuk atau pemotretan di mana terserah." Setelah berkata demikian Mey menyingkir masuk ke dalam kamarnya.
"Tapi, Mbak. Kok begini ya," gumam Trias tak mengerti.
***