Sekitar pukul sebelas saat ia memutuskan pulang dari apartemen Luna, ada tiga orang di dalam yang sempat diajaknya berbicara banyak hal. Namun, tepat ketika Riska melangkahkan kakinya melewati ambang pintu diiringi kepala menoleh ke sisi kanan—tak sengaja ia melihat seseorang memasuki unit Meira, terlihat kakinya berbalutkan boots hitam.
Awalnya Riska tak ingin curiga, ia justru berpikir mungkin laki-laki itu adalah seseorang yang sengaja diundang Meira datang ke apartemennya malam ini. Namun, setelah Riska mengingat sesuatu jika Mey pernah mengatakan bahwa hanya ia laki-laki yang tahu kode masuk apartemen Meira membuatnya mulai berpikiran lain.
Riska pun menghampiri apartemen Meira, masuk ke dalam dengan hati-hati seraya mengendap-endap sampai ia menyalakan lampu di kamar Mey dan menemukan seorang laki-laki hendak menusuk perempuan yang terlelap dalam lelahnya.
***
"Mending lo besok ke rumah sakit aja, siapa tahu ini mau dijahit," ujar Meira setelah mengobati luka di lengan Riska, ada sederet kain kasa serta beberapa plester luka menempel di sana.
"Nggak perlu." Riska beranjak seraya meraih jaket yang tergeletak di permukaan ranjang. "Gue mau nginep di sini, malam ini."
Meira refleks menganga. "Hah?"
"Kalau lo mau jadi arwah pembunuhan di apartemen ini gue enggak masalah kok, gue bisa pulang sekarang." Kalimat yang menegaskan arti berbeda tentang Riska yang ingin menjaga Meira dari siapa pun penjahat di luar sana, pasalnya kode masuk apartemen Meira pasti sudah bocor, bisa saja nanti atau besok akan ada orang jahat lainnya yang masuk dengan leluasa—terlebih Meira selalu sendirian.
"Ya, ya enggak gitu juga. Gue kaget aja lo bilang kayak gitu." Mey celingukan.
Riska memutuskan keluar kamar dan duduk di sofa ruang tamu, ia sandarkan jaketnya pada bahu sofa. Terlihat Meira juga baru keluar kamar, ia menatap Riska yang sibuk dengan ponselnya, tapi Mey tak menghampiri dan menyingkir memasuki dapur.
Secangkir kopi serta beberapa potong dessert favorit Meira kini terhidang di nampan, ia membawanya keluar dari dapur dan meletakan makanan tersebut di permukaan meja ruang tamu. Mey tampak canggung saat ia berdiri di dekat meja seraya menatap Riska yang sama sekali tak berpaling dari layar ponselnya.
"Udah sana tidur, ngapain lo di situ," ucap Riska setelah meletakan ponselnya di permukaan meja dan beralih pada remote televisi yang kini ia tekan, layar plasma di tembok menyala dan memperlihatkan berita kejahatan tengah malam.
"Iya, lo butuh selimut?" tawar Meira.
"Gue mau nonton tv, bukan tidur. Udah sana tidur."
Meira mengalah dan kembali ke kamarnya, ia juga tak lupa menutup pintu sebelum bersandar di sana seraya menyentuh dada, degup jantung berpacu lebih cepat. Ia mengikuti perintah Riska untuk melanjutkan tidurnya, tapi Mey lebih dulu membersihkan bekas darah Riska yang tercecer di permukaan lantai menggunakan tisu sebelum membuang benda tersebut pada tempat sampah di dekat nakas.
Meira tak lagi mematikan lampu, tapi lampu tidur tetap ia nyalakan, kini ditariknya selimut hingga sebatas perut, ia menatap langit-langit kamar sebelum memejamkan matanya. Namun, baru beberapa menit Mey terpejam ia harus terbangun, diulanginya lagi hal serupa berharap usaha kedua bisa kembali terlelap. Setiap ia mengingat kejadian tadi, Mey selalu membuka kelopak mata, ada rasa takut menyelinap.
"Siapa yang mau celakain gue, ya," gumam Meira, ia beranjak dari ranjang dan melangkah menghampiri jendela geser di kamarnya, jendela tersebut menjurus ke arah balkon. Meira menepikan tirai dan membuka pengait jendela sebelum ia menggesernya ke kiri hingga desau angin malam masuk dengan leluasa.
Mey melompati jendela, kini ia berdiri di balik railing balkon, posisinya begitu tinggi, dari sana ia bisa melihat pencakar langit lain serta suasana malam Jakarta yang tetap gemerlap. Meira menunduk menatap bagian bawah yang jaraknya lebih dari sepuluh meter, tak ada rasa takut menyelinap.
Kini ditatapnya lagi langit yang pekat. "Banyak yang nggak suka sama gue, tapi siapa yang mau sampai bunuh gue?"
Mey tak terlalu lama berada di balkon, hanya sekitar lima belas menit sekadar mengharapkan kantuk lekas datang, setelah ia menguap beberapa kali Mey kembali ke kamar tanpa lupa menutup jendela. Ia membaringkan lagi tubuhnya di ranjang seraya menarik selimut.
Ia kembali menutup kelopak mata, mencoba tertidur setelah kantuk menyergap, tapi baru setengah jam ia kembali terbangun sebab bayangan mengerikan hadir dalam mimpi singkatnya. Meira menelan ludah, ia mengganti posisi tidur menghadap ke kanan seraya memeluk guling dan terpejam, tapi lagi-lagi tak sampai satu jam tidurnya terganggu, apa pun posisi tidurnya tetap saja salah. Meira merasa gelisah, meski ia mengulang untuk tidur berkali-kali pun akan gagal hingga jarum pendek jam wekernya menemui angka dua.
"Gue bisa stres kalau kayak gini." Mey beranjak duduk, ia menatap sekitar sebelum menyingkap selimut dan turun dari ranjang, ia memutuskan keluar kamar untuk mengecek keadaan Riska. Rupanya laki-laki itu masih menonton televisi, cangkir kopi sudah kosong, satu dari tiga potong kue yang dibaginya pun sudah lenyap.
Riska menoleh saat Meira memperhatikannya dalam jarak dua meter. "Ngapain lo di situ, kan gue udah suruh lo tidur, kenapa masih melek."
"Gue nggak bisa tidur, gue udah usaha berkali-kali, tapi kebangun lagi. Rasanya setiap gue merem selalu ada bayangan orang jahat," jelas Meira sebelum menghampiri Riska dan duduk di sampingnya dalam jarak sejengkal. "Kok lo bisa tahu ada yang masuk ke apartemen gue? Lo dari tempat Luna?"
"Ya."
"Semalam itu? Ngapain?" Ia menyipit curiga.
"Di dalam ada orangtuanya, lo mikirin apa?" Riska menunjukan alibinya. "Malah gue pikir lo yang bakal ngelakuin sesuatu sama makhluk tadi."
Mey tertawa kecil. "Kan gue pernah bilang cuma lo cowok yang tahu kode masuk apartemen gue, lagian baru lo aja cowok yang gue persilakan masuk—bahkan nginep di sini, kebanyakan teman kencan cuma gue izinin antar sampai depan pintu atau lobi, nggak ada yang sampai masuk kamar kayak lo. Selain orang jahat tadi."
Riska menoleh, menatap Meira cukup lama setelah mendengarkan pengakuan perempuan itu, dan Mey menjadi bingung saat Riska seakan tengah membaca pikirannya.
"Ada apa? Lo nggak percaya?" Lagi-lagi Mey tertawa kecil. "Ya nggak masalah juga, mungkin image gue sebagai model majalah dewasa udah sangat bobrok di mata orang-orang, termasuk lo." Meira meraih sepotong kue dan memakannya tanpa peduli Riska yang masih bertahan menatap, entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. "Gue terbiasa diragukan, omongan gue dianggap kebohongan, itu udah lagu lama. Kalau nggak ada yang percaya sama gue itu nggak masalah." Meira menoleh. "Masih ada gue yang percaya sama diri sendiri."
Riska mengalihkan tatapan pada layar televisi, kini bukan lagi berita kasus kriminal tengah malam, tapi film horor luar negeri.
"Gue enggak mau capek-capek ngasih pengertian ke orang kalau apa yang gue bilang itu kenyataan, karena image buruk yang mereka sematkan ke gue nggak akan mengubah keadaan. Jadi, ngapainlah gue mikirin orang nggak penting, mending gue kerja keras buat bikin hidup gue bahagia, apa pun yang gue lakukan cukup gue yang menerima konsekuensi termasuk pekerjaan gue sebagai model vulgar."
"Lo nggak bahagia, lo cuma mau menunjukan sama orang lain kalau lo mampu. Gue benar, kan." Perkataan Riska membuat Mey bungkam, perempuan itu menghabiskan kuenya dan menyandarkan kepala pada bahu sofa, ia meraih bantal sofa yang kini tergeletak di pangkuan dengan netra mengarah ke televisi. Riska juga melakukan hal yang sama, menyandarkan kepala di bahu sofa.
Ekor mata Meira melirik laki-laki itu. Gue nggak tahu apa yang ada di pikiran elo, Riska. Kasih tahu gue semuanya biar gue paham sampai sejauh mana lo mengulik kehidupan gue yang nggak baik-baik aja ini.
Mereka terpenjara dalam kebisuan tanpa tahu jalan keluar, hanya suara dari televisi yang terdengar. Lambat laun Meira menguap sampai sorot matanya pun meredup, ia terpejam dengan sendirinya. Kini Meira terlelap nyaman tanpa gelisah seperti saat berada di kamar.
Riska juga mulai menguap saat jarum pendek menemui angka tiga pagi, lambat laun kelopak mata meluruh hingga tertutup sempurna, tanpa ia menyadari kepalanya bergeser ke kiri dan bersentuhan dengan kepala Meira, televisi tetap menyala.
***
Trias membuka pintu utama, dia mengerutkan kening saat menemukan majikannya tengah terlelap di sofa dengan posisi duduk berbalutan selimut, terlihat sangat nyenyak, ketika Trias semakin masuk ia melihat televisi masih menyala. "Tumben banget Mbak Mey lembur nonton televisi sampai ketiduran di sofa." Ia melihat cangkir kosong serta piring berisi sepotong kue.
Trias menghampiri majikannya, menepuk pundak Meira agar terbangun. "Mbak Mey, ini udah pagi. Kalau mau lanjut tidur pindah ke kamar aja, nanti di sini terus malah badannya sakit semua, Mbak."
Meira yang mendengar suara Trias merasa terusik dan berakhir membuka kelopak mata, ia mengerjap beberapa kali sampai benar-benar melihat wajah Trias yang membungkuk di sis kirinya.
"Eh, elo, Mbak." Meira menoleh ke kanan. "Riska mana?"
"Riska siapa, Mbak? Mbak Mey bawa teman ke sini? Lembur nonton apa sih?"
Meira tak lagi menyandarkan punggung serta kepala, ia menunduk merasa aneh dengan selimut yang sempat mendekapnya. "Mbak Trias yang selimutin gue?"
Trias mengernyit. "Ya enggak, saya aja baru datang ini. Malah saya aneh kok ada televisi nonton orang."
"Serius bukan Mbak Trias? Soalnya semalam gue ke sini nggak bawa selimut."
"Saya nggak berani bohong sama Mbak Mey, saya baru banget datang lho, Mbak."
"Ah, ya udah. Beresin yang di meja, gue mau ke kamar." Meira beranjak membawa serta selimutnya, tepat setelah Mey menutup pintu kamar ia tersenyum dan berlari naik ke ranjang sebelum melompat-lompat seperti anak kecil yang mendapat hadiah, Mey riang gembira. "Ya ampun! Ya ampun! Riska!"
***