Ada yang aneh pagi ini, pemandangan tak biasa yang mustahil terjadi rupanya akan berlangsung juga, benar kata orang kalau siapa pun tak berhak mendahului kehendak Tuhan. Cukup lama, bahkan sejak pertama Meira berstatus sebagai mahasiswi Universitas Malaka ia tak pernah menonton orang-orang bermain basket di lapangan kampus, baginya tak ada yang menarik—apalagi sorak-sorai dari pendukung nan terdengar menyakitkan di telinga. Bagi Meira sikap seperti itu terlalu berlebihan.
Aneh, tapi nyata. Begitu keadaannya saat Meira berdiri di antara banyaknya mahasiswi di tepi lapangan basket, mereka tengah menonton sparing mahasiswa di sana, mungkin alasan Meira berada di sana adalah laki-laki berjaket hitam yang kini mendrible bola melewati lawan-lawannya sebelum melakukan shoot ke ring dan mencetak angka untuk timnya.
Harusnya, begitu tiba di kampus Meira datang ke kantin menemui teman-temannya yang sudah berkumpul di sana, tapi pagi ini ia lebih tertarik melihat basket dan membuat beberapa orang di sekitarnya merasa aneh. Tanpa memedulikan mereka Mey beradaptasi dengan keadaan, ia tak acuh dan terus menonton sparing tersebut tanpa mengidahkan pikiran orang lain.
"Riska! Riska! Riska!"
Meira memutar bola mata seraya bersidekap saat ia mendengar mahasiswi lain berteriak sesuka hati menyebut nama Riska di depannya, Mey yang sempat berdiri di belakang orang lain kini menyalip dan berganti posisi paling depan.
Senyum Meira terukir alami saat melihat setiap pergerakan Riska, terutama jika laki-laki itu berhasil mencetak skor, selebrasinya tampak menarik di mata Meira. Ekspresi yang Riska perlihatkan begitu natural tanpa paksaan, tanpa harus diredam. Setiap kali Riska mencetak skor, Meira dengan senang hati bertepuk tangan.
"Riska! Riska! Riska!" Lagi-lagi sorai tersebut terdengar memekakan telinga Meira, ia menoleh menatap sinis pada mahasiswi yang sibuk berteriak menyemangati.
"Sumpah ya lebay banget, nggak putus itu kerongkongan," cibir Meira meninggikan suara, dan usahanya berhasil saat mahasiswi di sisi kirinya tak lagi berteriak, melainkan menoleh dan mendorong lengan kiri Meira.
"Ayam kampus nggak usah banyak komen, urusin aja urusan lo sendiri," cibir mahasiswi tersebut, beberapa mahasiswi lain juga menghentikan seruan mereka dan beralih pada keributan yang mulai tercipta. "Woy, tumben banget ayam kampus mampir di sini, gue kira doyannya cuma di hotel aja apa klub malam, jangan-jangan lagi ngincer cowok yang ada di sini, ya." Kali ini perkataannya lebih sarkas.
Meira refleks mendorongnya sebagai balasan untuk lengannya tadi. "Heh! Tadi lo bilang jangan ikut campur urusan orang, sekarang lo sendiri yang malah sok ngulik kehidupan gue, sotoy banget jadi cewek."
"Kok lo dorong-dorong dia, sih!" Kali ini mahasiswi lain tak terima melihat temannya didorong, ia balas mendorong Meira lebih keras hingga perempuan itu tersungkur di selasar dan membuat pakaiannya kotor terkena debu, sayangnya tak ada satu pun orang yang menolong Meira. Ia sendirian harus menghadapi lebih dari lima orang yang memelototinya di sana.
"Lo sinting! Baju gue kotor!" teriak Meira benar-benar marah, ia masih terduduk dan berusaha bangkit sendiri, tapi belum sempat berdiri mahasiswi lain justru menekan bahunya hingga ia tersungkur lagi, mereka semua pun menertawai nasib Meira. Perempuan itu tengah dibully banyak orang.
Mendengar keributan di tepi lapangan membuat pemain basket mengakhiri urusan mereka dan bergerak cepat menghampiri mahasiswi yang mengerumuni Meira, ibaratkan mereka tengah melihat seonggok sampah yang dibiarkan begitu saja, Meira adalah noda di mata kebanyakan orang yang tak menyukainya.
Mahasiswa tersebut menerobos kerumunan mahasiswi di sana, saat mereka menemukan jika Meira-lah yang terduduk di selasar membuat banyak laki-laki refleks mengulurkan tangan di depannya dengan senang hati, tapi Meira hanya diam tanpa meraih salah satunya hingga Riska masuk ke kerumunan dan berjongkok di sisi Meira seraya memegang kedua lengannya, ia membantu perempuan itu berdiri.
Ya, tentu saja para kaum adam kecewa, dan kaum hawa pendukung Riska garis keras tentu cemburu melihat pemandangan itu.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Riska terdengar begitu lembut. Tangannya masih menyentuh lengan Meira.
"Nggak apa-apa, tapi kayaknya rok gue kotor deh. Mana putih warnanya." Ia menunduk seraya menoleh menatap rok belakangnya yang kotor. "Gue tutupin ajalah pake cardigan." Meira melepas cardigannya begitu saja dan mengikatnya mengitari pinggang di depan banyak orang tanpa peduli puluhan pasang mata buaya darat berbinar melihat bagian atas tubuh Meira hanya berbalutkan tank top saja, Riska yang menyadari hal itu refleks melepaskan jaket hitamnya dan menutupi bagian depan tubuh Meira.
"Jangan mancing di sini," bisik Riska sebelum menarik Meira menjauh dari banyak orang menuju koridor. "Lo ngapain di sana," ucap Riska setibanya mereka di koridor, langkahnya yang terhenti membuat Mey ikut berhenti.
"Ya nonton orang lagi main basket, masa lompat indah sih, kan nggak ada kolam renang di sana," tutur Meira, "lagian gue nggak suka itu cewek-cewek pada teriakin nama lo, bikin sakit telinga aja."
"Udah, mending lo balik ke teman-teman lo dan jangan ke sana lagi. Mau kena bullying lagi kayak tadi?" Riska tampak cemas, Meira menggigit bibir seraya menggeleng. "Ya udah sekarang pergi."
"Tapi, nggak masalah sih kalau gue kena bullying, kan ada lo yang tolongin," aku Meira.
"Gue nggak bisa selalu ada buat lo."
***
Mobil yang dikemudikannya melaju kencang membelah jalanan ibukota mumpung tak terjebak macet, ia sempat melakukan photoshoot di studio sebentar. Awalnya Meira berniat ingin pulang, tapi saat perjalanan ia melihat distro dan memutuskan mampir sejenak sebab sesuatu membuat lampu seolah keluar dari kepala dan bersinar. Akhirnya, Meira mengubah haluan untuk tak langsung pulang ke rumah, ia ingin menemui tujuannya segera.
Dua buah totebag berada di jok sisi kirinya, sesekali perempuan itu tersenyum membayangkan sebuah perhatian sederhana yang terlewati beberapa jam lalu.
Mey membuka ponsel seraya memelankan laju kendaraannya, ia menghubungi seseorang. "Lo lagi di mana?"
"Rumah."
"Sendiri, kan?"
"Iya."
"Oke, gue lagi perjalanan ke situ sekarang. Bye." Panggilan berakhir sepihak, Meira kembali mempercepat laju mobilnya saat rasa semangat kian meninggi begitu praduganya benar-benae sesuai ekspektasi, orang yang ingin ia temui di rumah sendirian.
Mobil Meira memasuki Rafflesia Residence, untuk ketiga kalinya ia datang ke sana. Sore terlihat begitu cerah baginya, mungkin mengalahkan siang hari di jam dua belas tepat. Maklum saja hatinya tengah berbunga-bunga sebab hari yang cukup menyenangkan.
Mobil akhirnya berhenti di depan gerbang kediaman Riska setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, Mey bergegas turun tanpa melupakan tote bag di mobilnya. Mungkin Riska baru saja mencuci motor, terlihat dari selang air tergeletak di selasar dengan basah di mana-mana, beberapa sabun pencuci motor serta kuda besi yang terlihat kinclong, tapi si pemilik entah berada di mana.
"Riska, lo di rumah kan," seru Meira seraya melangkah masuk sebab pintu terbuka lebar, tak mungkin kalau Riska tak berada di rumah. Ia menatap sekitar dan menemukan Riska berada di dapur—tengah meminum segelas air dingin, laki-laki itu hanya memakai celana pendek serta kaus oblong saja.
"Mau ngapain?" tanya Riska to the point, "habis ini gue mau pergi."
"Ke mana?" Meira mendekat ke meja makan.
"Basecamp, besok mau hiking."
"Ke mana?"
"Merbabu."
"Jauh dong."
"Selama bukan Himalaya."
Meira tersenyum, ia meletakan tote bagnya di permukaan meja. "Pas banget, tadi gue beli sesuatu buat lo, dan ini cocok buat dipakai hiking nanti."
"Apa." Dahi Riska mengerut.
Meira mengeluarkan dua benda yang dibelinya. "Sini nunduk." Lucunya, Riska mengikuti perintah Mey untuk sedikit menunduk, jadi Meira leluasa memakaikan beanie hitam di kepala Riska. "Jangan lupa sama jaketnya, pas banget kan buat dipakai hiking, biar lo nggak kedinginan." Ia tak memakaikan jaket merah tersebut pada Riska dan hanya memberikannya.
"Kenapa beliin ini." Tanggapan Riska datar.
"Karena gue ingin." Sederet alis Meira terangkat. "Lo lucu kalau pakai beanie."
Riska menghela napas, ia menarik beanie hitam lolos dari kepalanya. "Dress lo ada di kamar, kemarin sengaja lo tinggal di kamar mandi?"
"Iya, biar jadi alesan kenapa gue harus mampir ke sini lagi," aku Meira terang-terangan.
Riska berdecih. "Apa yang menarik di sini sampai lo mau datang berkali-kali, di sini nggak semewah tempat lo."
"Lo yang menarik."
Sungguh, kejujuran Mey membuat Riska mati gaya dan bungkam, ia memutuskan menyingkir menuju kamarnya seraya membawa beanie serta jaket pemberian Mey tadi dan meletakannya di permukaan ranjang.
Meira mengekor di belakangnya, Riska membuka lemari dan mengeluarkan dress di gantungan pakaian, ia memberikannya pada Meira. "Lain kali jangan suka tinggalin yang kayak gini lagi, gue nggak mau ada salah paham."
"Salah paham sama siapa? Luna?" Sorot mata Meira meredup. "Apa sih yang bikin lo suka sama dia, pasti hal klasik yang gue tebak juga kan."
"Bukan urusan lo, mending sekarang pulang aja. Udah selesai kan urusannya."
"Belum."
"Apa lagi?"
Meira menatap lekat tanpa berkedip, sekali ini saja ia ingin mengikuti kehendak hatinya tanpa harus melawan arus dengan perintah tubuh saat tangannya yang kosong terulur menyentuh sisi wajah Riska bersama kaki yang berjinjit diiringi gerakan pelan sentuhan bibirnya di bibir Riska, hanya beberapa detik sebelum kecupan itu berakhir.
Mereka saling tatap tanpa kata, Riska terlihat menelan ludah menanggapi perbuatan Meira tadi, perempuan itu memutuskan pergi diiringi resah yang tak berkesudahan. Mungkin tadi adalah ciuman selamat tinggal untuk Riska, karena si pelaku utama juga baru merasakan detak jantungnya yang menggebu saat ia melangkah keluar dari rumah.
Ini serius tadi gue tiba-tiba cium Riska! Sadar dong Mey sadar! Goblok banget sih gue. Meira bergegas keluar melewati gerbang dan memasuki mobil, sesampainya di sana ia merasakan sekujur tubuh gemetar hebat, turbulensi datang tiba-tiba.
***