Berbagai macam pose dengan ekspresi menggoda andalannya serta kostum ketat nan seksi yang membalut tubuh mempertontonkan setiap lekuk Meira berhasil dibidik kamera milik Axel, berulang kali fotografer tersebut memuji setiap pose yang Mey peragakan, dari semua model di agency itu bagi Axel tetap Meira yang masih melebihi target. Pasalnya Mey juga selalu totalitas di setiap kondisi, di mana pun tempat serta kostum yang harus Mey pakai tak pernah ia tolak selama uang mengalir lancar ke rekeningnya.
"Nice." Untuk kesekian kali Axel tersenyum puas usai melihat hasil jepretannya, ia selalu mengagumi kesempurnaan yang melekat dalam diri Meira.
Tanpa Mey tahu seseorang yang ia harapkan kehadirannya sejak datang ke studio rupanya sudah tiba, Riska terlihat duduk di sudut ruangan tersebut seraya memasang tampang datarnya pada orang-orang di sana, ada Alexa serta Cherry yang baru memasuki studio dan siap melakoni gilirannya berpose di depan kamera setelah sesi photoshoot Meira selesai.
Alexa begitu intens memperhatikan gerak-gerik Mey setelah ia duduk di sofa bersama Cherry menunggu giliran, sepasang alisnya bertaut menunjukan kebencian yang semakin tumbuh subur meski rivalnya selalu tidak peduli, toh Meira terbiasa dengan orang-orang yang tak menyukainya.
"Kelar, Mey. Lo bisa ganti baju sekarang." Akhirnya Axel mengakhiri sesi untuk Meira, gadis itu tersenyum sumringah saat menemukan Riska berada di ruangan, tapi bola mata Riska tak tertuju pada Mey—melainkan pada beberapa orang yang memperhatikan Mey, Juna salah satunya, seringkali Juna datang jika Axel memberitahu tentang Meira yang melakoni pemotretan dengannya. Juna sebisa mungkin memanfaatkan waktu untuk lebih dekat dengan model seksi tersebut setelah ia memutuskan mengejarnya meski tiada waktu mereka melakukan blind date lagi setelah seringkali Mey menolak dengan alasan kesibukannya.
Kini Alexa mengikuti arah pandang Mey yang masih tertuju pada Riska, Alexa merasa familier dengan rupa laki-laki itu, ia memutuskan beranjak dari sofa dan menghampiri Riska sebelum Meira menghampirinya lebih dulu.
"Hai, kayaknya gue familier sama muka lo deh, di kampus kalau enggak salah," sapa Alexa yang kini berdiri di depan Riska, laki-laki itu pun beranjak seraya berdeham.
"Mungkin."
"Lo di sini nungguin siapa emang? Kayaknya baru pertama ya datang ke studio ini." Sikap Alexa begitu manis. "Nungguin Cherry? Lo cowoknya Cherry?"
"Cowok gue," sergah Mey yang baru menghampiri Riska, ia menarik tangan Riska begitu saja—membawanya keluar dari sana tanpa membiarkan Alexa berlama-lama bercengkrama dengan Riska.
"Cowok dia?" Alexa berpikir sejenak, setelahnya senyum miring menghiasi wajahnya saat menatap ke arah pintu.
"Tadi siapa?" Rupanya Juna juga memperhatikan interaksi antara Mey, Riska dan Alexa. Kini ia berdiri di dekat Alexa. "Kok sama Mey?"
"Cowoknya Meira. Lo kalah start dong ya." Alexa menepuk pundak Juna beberapa kali. "Kalau gue sih nggak mau kalah ya, apalagi kalau berjuangnya udah lama, jadi kelihatan nggak ada harga dirinya." Ia mulai menyulut api dalam diri Juna.
"Alexa, sekarang giliran lo." Axel baru saja memanggil gadis itu, kini Alexa menyingkir dari hadapan Juna seraya tersenyum sinis, ia berharap api lekas berkobar lebih besar—sebab membuat Mey berada dalam masalah menjadi favoritnya.
Meira baru saja berganti pakaian di ruang wardrobe, kini ia duduk di depan meja riasnya saat Metta sibuk membersihkan polesan di wajah model cantik itu. "Agak cepat ya, gue lagi ditungguin nih," ucap Mey seraya menatap pantulan wajah di cermin.
"Siapa? Sama Juna ya, kalian mau kencan lagi?" terka Metta, micellar water pada kapas baru saja menghilangkan lipstik dari bibir Meira, kini lip gloss yang menggantikannya.
"Bukanlah, cowok gue."
"Wow, jadi lo udah punya pacar? Siapa?"
"Di luar." Mey beranjak saat riasannya berganti make up tipis, ia merapikan pakaiannya sebelum meraih tas guci miliknya dari meja rias. "Gue pergi dulu ya, mau jalan."
"Be carefull, Meira."
Saat Meira keluar dari ruang wardrobe ia menemukan Juna berada di dekat pintu, tanpa aba-aba Juna meraih tangan Mey dan menariknya begitu saja ke tempat lain. "Lo mau bawa gue ke mana, Jun? Gue mau pulang."
Rupanya Juna membawa Meira ke ruangan lain, ruang kerja Axel yang sepi saat pemiliknya sibuk melakukan pemotretan. Juna lantas mendorong Mey ke tembok setelah menutup pintu, ia mengungkung gadis itu seraya memperlihatkan kekesalan di wajah.
"Kenapa, Mey."
"Kenapa apanya? Lo ngapain bawa-bawa gue ke ruangan Axel, gue mau pulang, Jun." Mey mendorong Juna agar menyingkir, meskipun ada pergerakan yang mencipta ruang, tapi Juna kembali mengungkung Meira, ia ingin segala pertanyaannya terjawab segera.
"Kenapa lo udah punya pacar, Mey? Gue pikir selama ini lo cuma anggap cowok-cowok itu teman kencan aja, kenapa sekarang jadi ada pacar?"
"Emang kenapa kalau gue punya pacar, itu hak gue kan? Kenapa lo harus marah."
"Karena gue cinta sama lo, kenapa bukan gue yang jadi cowok lo, gue tulus, Meira." Juna mengiba, wajahnya sendu, ia adalah satu dari sekian banyak laki-laki yang berharap lebih setelah mengenal Meira dalam satu pertemuan saja, padahal Mey menganggap mereka hanya teman biasa atau hiburan saat ia memiliki jam kosong.
"Gue nggak cinta sama lo, cukup memuaskan belum jawaban gue, Jun? Jangan terjebak dalam circle gue, karena nggak ada satu pun laki-laki yang gue suka dari semua yang pernah blind date sama gue, just have fun okey?"
"Gue nggak mau, Mey. Gue cinta sama lo." Ia merasa begitu sakit hati mendengar pengakuan Mey, apa mereka semua hanya mainan di mata Meira? Saat Mey mendorong Juna lagi dan bersiap pergi, tangan Juna lebih gesit menghalau Meira, kembali mendorongnya ke tembok dan menangkup wajah—berusaha menciumnya.
"Juna!" Sekuat tenaga Mey berusaha menghindar, otaknya masih bisa berfungsi saat tangan kiri Mey terulur ke samping dan memukul pintu kaca di dekatnya berkali-kali, ia butuh pertolongan. Seseorang dengan cepat membuka pintu dan menarik Juna agar menjauh dari Meira yang terlihat berantakan dan syok. Sebuah kepalan menghantam pelipis Juna disertai tendangan pada pinggang sebelum mengakhiri kekonyolan Juna yang kini terkapar di lantai. Riska menatap datar Juna sesaat, ia beralih pada Meira dan menariknya keluar dari ruangan Axel.
Kaki Meira berbalutkan heels tergopoh-gopoh mengimbangi langkah lebar Riska yang tampak tergesa, cengkramannya pada pergelangan tangan Mey bahkan mengerat, sepasang alis yang bertaut disertai kebungkaman membuat siapa pun mengerti jika laki-laki itu mungkin saja tengah kesal.
Mey hanya diam, ia masih syok atas paksaan Juna tadi, tapi begitu keluar dari studio dan berhenti di beranda Riska melepaskan tangan Mey, ia menatapnya dengan ekspresi yang masih sama. "Lo pasti tahu konsekuensi atas pekerjaan lo itu kan, tadi salah satunya. Atau mungkin udah banyak yang kayak dia, berapa?"
Meira menelan ludah mendengar perkataan Riska yang bisa disebut mengintimidasi tersebut, jika diputar ke belakang memang cukup banyak laki-laki model Axel, yang hampir memperkosanya pun ada. Meira menunduk tak berani menatap tajamnya tatapan Riska. "Gue tahu kok, tapi gue bisa jaga diri." Penuh percaya diri ia menatap Riska lagi, bahkan menampilkan senyumnya.
"Nggak mungkin." Riska menggeleng sebelum berdecih, senyum sinisnya muncul. "Gue mau pulang."
"Jangan!" Meira meraih tangan Riska. "Sorry, tapi gue janji nggak akan ada kayak tadi lagi, gue bisa jaga diri sendiri kok, buktinya selama ini gue masih ...." Ia mengatupkan bibir tak lagi melanjutkan dialognya.
"Masih apa?"
"Bukan apa-apa, nggak usah diterusin, gue pengin makan siang sama lo. Nggak akan nolak ajakan gue, kan?" Kini senyum licik Meira muncul.
Riska mengalah, ia mengikuti saja perintah Meira yang jelas menyita waktu serta menguras pikirannya, pergi atau kencan dengan seseorang yang tak disukai memang merepotkan, siapa pun merasa tak nyaman melakukannya. Namun, ada perbedaan antara Riska dan Meira, jika Riska risi melakoni kencan dengan perempuan yang tak ia suka, maka Mey tampak biasa saja menjalankan kencan dengan semua laki-laki.
Riska pikir Meira membawa mobilnya, jadi ia hanya perlu mengikuti gadis itu di belakang mobil seraya menunggangi motor, rupanya Mey sengaja meninggalkan mobilnya di parkiran studio dan memutuskan membonceng motor Riska yang baru dinaikinya pertama kali. Awalnya Mey hanya diam dan terlihat biasa saja, tapi saat ia melihat motor lain melaju melewati mereka di jalan dengan pemandangan yang menginspirasi—saat seorang perempuan mendekap laki-lakinya dari belakang seraya menyandarkan kepala di punggung, alhasil Meira turut serta melakukannya.
Aneh, Riska hanya diam saat Mey melakukan hal yang seharusnya membuat Riska risi, laki-laki itu tetap fokus mengemudikan motor tanpa memusingkan perbuatan Meira.
Jadi begini rasanya peluk laki-laki dari belakang terus sandarin kepala di punggungnya, senyaman ini, Tuhan. Nggak ada bedanya kayak bantal di kamar, benar-benar senyaman ini.
Lengkungan menghiasi wajah Meira, ia bahkan memejamkan mata menikmati embusan angin yang menerpa di sepanjang jalan, sesekali Mey terpejam meresapi waktu yang diharapkannya takkan cepat berakhir, bersandar di punggung Riska terasa begitu menghanyutkan.
Sayangnya, kesenangan Meira dipaksa berakhir saat motor berhenti di parkiran tempat restoran yang mereka tuju. Refleks Mey mengangkat kepala, ia tak lagi mendekap Riska dan turun dari motor, Mey merapikan rambutnya yang tergerai tanpa helm saat Riska baru turun seraya melepas pelindung kepalanya.
Tanpa mengatakan apa-apa Riska lantas masuk, ia juga tak mengajak Meira, gadis itu mengekor cepat agar bisa menyamai langkahnya dengan Riska. Rice bowl adalah makanan yang ingin Meira santap siang ini.
Awalnya Mey sibuk memperhatikan Riska yang duduk di seberangnya, laki-laki itu sibuk dengan urusan ponsel, tapi saat Mey beralih ke sisi kanan—ia tersenyum menemukan sesuatu yang membuatnya benar-benar sumringah. "Gue jadi pengin punya yang kayak gitu juga, mau gue bawa ke apartemen," gumamnya.
Riska pun mengalihkan fokus kepada Meira usai mendengar ucapannya, ia mengikuti arah pandang Mey dan menemukan seorang laki-laki duduk sendirian di sudut restoran. "Gue mau pulang." Tiba-tiba Riska beranjak seraya menyimpan ponselnya ke saku celana, ia tampak kesal.
"Lho, kok pulang? Makan aja belum, malahan belum datang." Meira kebingungan, ia ikut berdiri.
"Lo kalau mau duduk sama cowok lain ya pindah aja, jangan ajak gue ke sini."
"Cowok lain? Siapa?" Mey semakin kebingungan.
"Itu kan, lo mau sama dia." Riska menunjuk sosok laki-laki tadi, Mey sempat berpikir sejenak sebelum ia terbahak dan membuat pengunjung lain memperhatikannya. "Apa yang lucu."
"Elo." Meira kembali duduk, ia menarik Riska agar duduk juga. "Apa urusan gue sama orang itu, hey. Gue dari tadi ngelihatin sesuatu yang ada di meja, buket bunga tulip, nggak kelihatan emang?" Meira masih tertawa, ternyata Riska bisa selucu itu. "Gue selalu suka sama bunga tulip, makanya gue pengin ke Belanda biar bisa main di kebun tulip."
Riska tak lagi berbicara hingga pesanan mereka datang, dua porsi rice bowl kini terhidang di meja. Mey begitu bersemangat saat akan menyantapnya, ia makan dengan lahap tanpa memedulikan jika ada Riska di depannya, kalau orang lain mungkin berusaha makan dengan anggun di depan laki-laki, tapi tidak untuk Meira. Selahap itu seperti tak pernah makan.
"Kalau lo nggak bahagia sama pekerjaan lo, tinggalin aja dan cari yang lebih baik biar lo bisa makan nasi sepuasnya," tutur Riska membuat Mey refleks menatapnya tanpa kedip.
***