Chereads / Hello, Riska / Chapter 14 - Tulip.

Chapter 14 - Tulip.

"Makasih banyak udah mau temenin gue makan siang, hati-hati di jalan." Untuk terakhir kalinya Meira tersenyum seraya melambai tangan pada Riska yang bertengger di motor dan siap melaju, ia hanya mengangguk menanggapi perkataan Meira sebelum benar-benar pergi dari tempat itu—parkiran studio pemotretan tempat Meira meninggalkan mobilnya.

Baru saja Meira menghampiri mobilnya seraya mengeluarkan kunci dari tas, seseorang keluar dari studio terburu-buru menghampiri Meira yang kini membuka pintu mobil sisi kanan, tapi Juna lebih cepat menahan agar Meira tak lekas masuk.

"Mey."

Meira menoleh, alisnya refleks bertaut melihat wajah Juna, Mey tentu belum melupakan perbuatan kurang ajar Juna sejam lalu. "Ngapain lo nyamperin gue, sumpah ya mending lo ke laut aja sana apa gantung diri, gue udah malas ngeladenin manusia kayak lo." Ia memberengut kesal, tangannya tetap menarik pintu mobil, tapi lagi-lagi Juna mendorongnya hingga tertutup rapat.

"Please, Mey kasih gue kesempatan kedua, gue benar-benar menyesal dan minta maaf, tadi gue refleks karena kecewa berat." Benar, wajah penuh dosa terlihat dari Juna, ia bahkan berlutut di hadapan Meira seraya mengatupkan tangan meminta ampun. "Please, Mey. Maafin gue."

"Juna lo apaan sih! Berdiri cepat!" Meira semakin risi menanggapi sikap Juna yang berlebihan. "Kalau lo nggak mau berdiri sekarang, jangan harap dapat maaf dari gue!"

Juna refleks berdiri seraya memasang wajah sumringahnya. "Makasih banyak ya, Mey. Gue janji nggak akan kurang ajar sama lo lagi."

"Nggak cuma itu, jangan deketin gue lagi karena gue udah punya Riska yang siap jagain gue kapan pun." Terakhir kalinya Meira membuka pintu tanpa dicegah Juna lagi, gadis itu masuk dan duduk di balik kemudi sebelum memarkir mundur mobilnya agar bisa keluar dari parkiran, dari beranda terlihat Alexa ternyata memperhatikan interaksi antara Juna dan Mey tadi, entah sejak kapan gadis itu berada di sana.

***

Sepotong tres leches cake baru saja keluar dari kulkas dan beralih tempat ke permukaan meja makan, segelas air putih turut serta menemani, yang jelas gadis itu sendiri. Duduk di balik meja makan seraya meletakan ponselnya di permukaan meja, Meira ingin menikmati kudapan malam harinya.

Saat garpu membawa sedikit demi sedikit potongan kue tersebut menjumpai bibir Meira dan berakhir dalam kunyahan, pikirannya terpatri pada dialog yang Riska ucapkan siang tadi, Mey berusaha mengerti makna di dalamnya, sebab itu dia hanya diam setelah Riska berbicara.

"Kalau lo nggak bahagia sama pekerjaan lo, tinggalin aja dan cari yang lebih baik biar lo bisa makan nasi sepuasnya," tutur Riska membuat Mey refleks menatapnya tanpa kedip.

Mey tersenyum tipis. "Kayaknya dia paham banget sama tekanan pekerjaan gue." Ia membuka ponsel dan mencari sesuatu yang disimpannya menggunakan sidik jari, hanya sebuah video berdurasi beberapa detik, tapi video itu cukup penting sebab membuat Riska selalu mengikuti keinginannya. Saat video diputar tiada lagi senyum di wajah Meira, lesap tanpa asap. "Kenapa harus lo, Riska."

Terdengar suara bel dari luar pintu utama, Mey meninggalkan ponselnya dan beranjak keluar dari ruang makan, ia bergegas menghampiri ruang tamu dan membuka pintu, terlihat seorang kurir memegang sebuket tulip putih seraya tersenyum menatap Mey.

"Ada apa, ya, Mas?" tanya Meira.

"Ada kiriman bunga buat, Mbak." Si kurir bertopi memberikan buket tulip tersebut pada Meira.

"Buat gue? Dari siapa?"

"Saya kurang tahu, Mbak. Tanda tangan dulu, ya." Kurir memberikan sebuah note kecil yang kini ditanda tangani Mey sebagai bukti kalau barang tersebut sudah sampai ke tempat tujuan. "Permisi, Mbak." Kurir pun melenggang pergi, ia membiarkan Meira sibuk dengan tanda tanya sendiri.

Mey menutup pintu, ia membawa buket tersebut masuk dan meletakannya di permukaan meja ruang tamu seraya duduk di sofa, tak ada kartu ucapan atau tanda apa pun dari si pemesan bunga. Lantas ponselnya di ruang makan berdering, ia beralih ke ruang makan sekadar meraih ponselnya.

Baru melihat layar ponsel sudah cukup membuat Meira menelan ludah, perlahan senyumnya terbit, kini ia tahu siapa pengirim tulip tersebut. "Hallo, Ris—"

"Gue kasih lo tulip biar lo nggak berharap tulip punya orang lain, clear kan." Panggilan langsung berakhir, Riska menelepon hanya untuk menyampaikan hal sesingkat itu? Sayangnya, Meira tetap senang meski terdengar ketus, setidaknya ia merasa laki-laki itu memiliki rasa perhatian untuknya.

"Serius dia beliin gue tulip." Senyumnya merekah seperti mentari di pagi hari, Mey bergerak cepat keluar dari ruang makan menuju ruang tamu, ia meraih buket tulip putih tersebut dan mendekapnya riang gembira. "Karena dia baik banget, harus gue bales sih ini. Kira-kira gue kasih Riska apa, ya." Meira duduk di sofa dan meletakan buket tersebut di pangkuannya. "Gue nggak tahu Riska sukanya apaan, harus tanya siapa dong kalau kayak gini." Semangat yang berujung kebingungan akhirnya mendera, serumit itu.

Malam ini bantal kamar benar-benar senyaman punggung Riska saat Meira bersandar di sana, apalagi hari ini banyak kesan menyenangkan yang Mey dapatkan dari Riska. Mungkin perkataannya memang ketus, tapi terselip sedikit perhatian di setiap ocehan Riska, sejak awal niat Meira tak benar-benar ingin mendapatkan, tapi memanfaatkan. Apa mungkin sekarang jadi terbalik?

Buket bunga tulip yang didapatkannya Mey letakan di permukaan bantal sisi kiri, sedangkan kepala Mey berada di bantal sisi kanan, jadi anggap saja tulip tersebut menemani tidur Meira malam ini.

***

"Mbak, gue mau keluar sebentar, mau ke farmers market di bawah. Bikinin gue nasi goreng seafood ya buat sarapan," ucap Mey saat Trias memasuki kamarnya seraya membawa vacum cleaner.

"Siap," sahut Trias menyanggupi, terlihat saat majikannya telah keluar kamar tatapan Trias beralih pada buket tulip di permukaan ranjang, masih utuh di sana. "Mbak Mey dapat bunga dari siapa, ya? Kayaknya spesial banget sampai ada di kamar, biasanya kalau dia dapat bunga sebelum ini kalau enggak dibuang ke tempat sampah ya saya suruh bawa pulang," gumam Trias.

Meski hanya mengenakan setelan piyama pendek abu-abu, tapi Mey tetap percaya diri saat ia keluar dari unitnya menuju lantai utama, ia takkan membawa mobilnya di basement pergi ke mana-mana sebab farmers market masih berada di lingkungan apartemen tersebut.

Ia menjumpai cukup banyak orang di lobi, sebab kebanyakan penghuni apartemen adalah pekerja kantoran serta public figure seperti Meira, lobi cukup ramai oleh mereka yang hendak berangkat ke kantor pagi ini. Mey tak acuh, ia ingin segera menemui apel dan teman-temannya di farmers market setelah melihat persediaan buah-buahan di kulkasnya menipis.

Tak terlalu lama Meira berbelanja sebelum ia kembali ke lantai apartemennya, melangkah di koridor sendiri sampai langkahnya refleks terhenti saat ia melihat dari jarak tiga meter di depannya sepasang manusia tampak begitu mesra. Si perempuan memeluk pinggang laki-lakinya seraya menempelkan kepala di lengan kiri, tangan kiri si laki-laki turut merangkul bahu perempuannya.

Jika pasangan tersebut adalah orang lain yang tak Meira kenal—mungkin gadis itu takkan merasa kesal, tapi mereka adalah Luna serta Riska yang berhasil menghancurkan pagi cerah Meira. Kemarin Mey merasa begitu senang sebab Riska berkali-kali membuatnya melambung, tapi pagi ini dijatuhkan serendah-rendahnya.

Genggaman Mey pada masing-masing kantung berisi buah di tangannya mengerat, ia memantapkan hati untuk melangkah lebih cepat menghampiri sepasang manusia yang hampir tiba di unit Luna.

"Aduh! Jatuh semua!" pekik Meira setelah ia sengaja menjatuhkan kantung buahnya di selasar dan membuat beberapa isinya menggelinding keluar, berserakan. Refleks Luna dan Riska menoleh ke belakang dan menemukan seseorang berjongkok seraya mengumpulkan buah-buahan.

"Ya ampun kok jatuh." Luna menghampiri Mey dan ikut berjongkok memunguti buah-buahan tersebut sebelum memasukannya pada kantung belanja, Riska sendiri hanya diam memperhatikan dari posisinya, ia seakan tak peduli.

"Makasih, ya, Luna." Meira mendesak senyumnya agar muncul setelah Luna membantunya, mereka pun berdiri. "So sweet banget pagi-pagi pacar lo udah ngapel," sindirnya. Mey menatap lurus ke arah Riska yang juga menatapnya.

Luna tersipu malu. "Enggak gitu juga kok, Riska memang ada janji sama aku buat jemput orangtuaku di bandara pagi ini."

"Wow! Jalan bareng dong kalian, romantis banget ya."

"Mey juga pasti punya pacar, kan? Mey cantik banget soalnya." Sepolos itu Luna memuji sosok yang sudah menusuknya dari belakang bersama Riska.

"Luna, lo juga cantik kok, blasteran lagi. Makanya Riska suka banget sama lo, very gorgeous. Tapi, buat gue cowok bukan apa pun, karena membuat hidup gue bahagia adalah hal paling penting daripada mikirin cowok yang bisanya sok-sokan romantis, tapi cuma buat omong kosong aja." Ia menekan setiap kalimatnya seraya melirik Riska yang terlihat biasa saja. "Have fun, ya, Lun. Gue masih banyak urusan." Meira menyingkir dari hadapan Luna, ia bergerak santai seraya menatap intens sosok Riska yang jaraknya semakin dekat, tepat saat mereka bersinggungan sesuatu terlontar lirih dari bibir Mey. "Fake."

Meira menghilang di balik pintu unitnya, sesaat setelah ia masuk Mey melempar begitu saja kantung buahnya ke sofa, ia kesal setengah mati menghadapi kejadian tadi. Mey masuk ke kamarnya, meraih buket tulip di ranjang dan melemparnya ke selasar, ia menginjaknya berkali-kali seraya mengoceh. "Riska sialan! Riska sialan! Riska sialan! Dasar Riska sialan!" Atmosfer terasa panas baginya meski AC di kamar menyala. "Awas aja, gue bakal minta yang aneh-aneh sama lo biar kapok bikin gue kayak gini, Riska!"

***