Chereads / Hello, Riska / Chapter 47 - Heartstrings.

Chapter 47 - Heartstrings.

Di area kolam renang mewah sebuah hotel Meira serta tim pemotretan berada, tumben sekali hanya ada dua model yang melangsungkan pemotretan hari ini, Meira dan Alexa saja, sepertinya model baru tersebut mulai naik daun, katanya sih wajah Alexa mulai menempel di cover majalah—menggantikan para seniornya terdahulu—termasuk Meira, kalau untuk urusan yang satu ini Meira enggan memusingkan, faktanya sebentar lagi dia akan pergi dari agency tersebut.

Dalam balutan swimsuit yang begitu menggoda Meira berpose seraya duduk di tepi kolam renang, terkadang ia juga masuk ke dalam air dan membasahi rambutnya, hal tersebut makin membuat Meira tampil sensual. Terkadang, nilai plus seperti ini yang membuat pihak agency berat melepaskan, tapi kontrak memang berjalan seperti seharusnya, dan mereka tak bisa menahan Meira jika ingin memilih agency baru setelah kontrak habis.

Meira berdiri di tengah kolam renang dengan balutan swimsuit hitam, punggungnya topless, kamera sengaja mengambil gambar dari samping saat perempuan itu berpose seraya sedikit mengangkat kepala dan terpejam.

Gambar berikutnya masih berada di tempat yang sama, pose yang Meira perlihatkan adalah saat tangan kanannya terangkat disertai tangan kiri tertekuk di belakang tengkuk, kepalanya sedikit miring ke kanan serta terpejam. Meira seribu kali lebih menggoda saat kelopaknya terpejam disetai gesture bibir yang sedikit terbuka.

"Oke, Mey. Thank's, ya," tutur Axel mengakhiri sesi Meira untuk hari ini, Meira hanya mengangkat ibu jarinya seraya naik ke tepi kolam renang saat Lolita berlari menyerahkan kimono handuk yang kini digunakan untuk membelit tubuh sang model. "Alexa bisa mulai, ya."

Alexa yang sedari tadi hanya memperhatikan Meira dari sisi kolam kini melepaskan kimono handuk, tak disangka perempuan itu memiliki tatto di bagian pinggang kiri yang terlihat jelas saat mengenakan swimsuit.

Alexa tersenyum menyepelekan saat berpapasan dengan Meira yang hendak berganti pakaian. "Cih, selamat tinggal ya, sebentar lagi kontrak lo habis."

Meira tak menanggapi apa-apa, ia hanya tersenyum kecil dan berlalu bersama Lolita yang terus mengekorinya menuju ruang ganti.

"Riska telepon gue enggak?" tanya Meira saat tangannya melepaskan tali yang melingkari kimono.

Lolita menerawang. "Enggak tuh, dari tadi hape lo sepi-sepi aja, mungkin efek lo ganti nomor baru, ya. Jadi, cowok-cowok enggak ada yang bisa gangguin lo atau ngajak blind date lagi." Diam-diam Lolita juga memperhatikan lingkup kehidupan Meira yang mulai berbeda sejak bertemu Riska, tak lagi ada kencan-kencan buta yang sering dilakoni modelnya itu.

"Baguslah, gue juga udah malas. Satu aja cukup, mana cinta sama gue." Meira terkekeh saat mengatakannya, membayangkan bagaimana menggemaskannya Riska yang terkadang otoriter dan pencemburu membuat mood Meira membaik.

"Iya iya, orang jatuh cinta mah semuanya bagus, Mey. Oh ya, sebentar lagi lo ulang tahun ya? Mau dikasih surprise apa?" Lolita mengulurkan totte bag berisi dress Meira, mereka berdiri di depan wastafel.

"Surprise?" Meira mengernyit, terakhir kali Lolita memberikan surpirse adalah saat ia tidur wajahnya justru dicoret-coret menggunakan spidol hitam, yang lebih menjengkelkan adalah Lolita mengambil foto atas kekonyolannya, jika diingat-ingat lagi Meira kesal sendiri. "Ah, enggak mau gue. Males, nggak ada surprise-surprise kayak gitu, nanti naik darah. Lo mau gue mati muda?"

Lolita terkekeh. "Ya enggaklah, nanti siapa yang gaji gue sebagai manager."

"Sadar diri kan lo." Meira masuk ke dalam ruang ganti—meninggalkan Lolita yang tetap berdiri di depan wastafel.

***

Riska keluar bersama Saka dan laki-laki asing yang baru Riska temui siang ini, mereka menuruni anak tangga menuju parkiran sasana, tampak keringat mengucur deras dari pelipis hingga membuat kaus yang Riska kenakan basah saat area leher juga memperlihatkan kondisi yang sama. Tak ada persiapan sebab keputusan yang Riska buat memang refleks ia berikan pada Saka pagi tadi, padahal tawaran seperti ini sudah Saka anjurkan sejak delapan bulan yang lalu.

"Gue senang banget bisa ngajarin teman lo, Sak. Dia cepat tanggap, kayaknya udah terbiasa, gerakannya juga gesit, enggak kaku. Kalau dilatih sebulanan pasti udah bisa naik ring nih entar, malah mungkin enggak sampai sebulan," tutur Gian—pelatih boxing sekaligus paman Saka, ia memuji performa Riska yang baru pertama datang ke sasana.

"Iya dong, gue mana mau rekomendasiin yang lembek-lembek," sahut Saka berbangga diri, padahal bukan ia juga yang baru saja berlatih memukul panch mitt serta samsak di dalam sana.

"Oke, Riska. Besok lo bisa datang lagi ke sini, makin sering lo latihan, makin dekat lo buat naik ring dan memulai debut pertama sebagai fighter boxing," pesan Gian seraya menepuk bahu Riska, laki-laki itu hanya tersenyum seraya mengangguk pelan. "Ya udah, gue balik lagi ke dalam. Kalian berdua hati-hati di jalan." Gian melenggang kembali menapaki satu per satu anak tangga.

Riska juga menghampiri motornya seraya meloloskan ransel yang kini ia letakan di permukaan jok motor, ditariknya resleting hingga benda tersebut terbuka, ia mengeluarkan hoodie dari sana, rupanya Riska melepaskan kausnya yang basah dan berganti membalut tubuh hanya menggunakan hoodie.

"Husbandable banget lo ya, Ka. Belum apa-apa udah maju sejauh ini, cinta mati banget lo ya sama Mey," ucap Saka yang kini memakai helmnya, motor mereka bersebelahan. Pagi ini Saka mendapat surprise yang membuat jantungnya hampir saja terjun bebas, padahal hari ulangtahunnya masih lama. Tiba-tiba saja Riska menariknya menjauh dari teman yang lain seraya mengatakan jika ia ingin datang ke sasana milik paman Saka—yang makin terkejut mendengarnya.

Padahal dulu Riska menolak dengan alasan jika tinju tersebut memang ilegal, terlebih Riska tak membutuhkannya, tapi untuk alasan lain Riska memutar otak dan menemukan solusi meski harus meremukan seluruh tulang di badannya karena latihan yang cukup menguras tenaga, terutama untuknya yang baru memulai.

"Ingat omongan gue kan, nggak usah bilang-bilang." Riska menyimpan kausnya di ransel, menggendong benda tersebut dan duduk di jok motor seraya memasang helm.

"Siap-siap. Sekarang tujuan lo mau ke mana? Gue mau ke foodtruck mbak yang cantik itulah, ada menu baru hari ini. Jadi ketularan Tama nih." Saka terkekeh sendiri, rupanya Tama bisa bucin juga terhadap pemilik foodtruck di depan Universitas Dharmawangsa itu, padahal sudah bersuami.

"Jemput Mey, dia ada pemotretan."

"Jauh?"

Riska mengernyit, ia bahkan baru mengingat jika belum menanyakan di mana lokasi pemotretan Meira. Pasalnya setelah jam kelas selesai Meira pergi begitu saja dan hanya memberi kabar jika ia menuju tempat pemotretan di sebuah hotel, saat itu jam kelas Riska masih berlangsung. Setelah selesai juga Riska dan Saka menyingkir dari teman-temannya karena harus datang ke sasana.

"Kok diam? Bingung kan lo," cibir Saka tatkala Riska merogoh ponselnya untuk menghubungi Meira, tapi tak ada jawaban. "Wah, nggak diangkat, hati-hati tuh biarin ceweknya sendirian."

Riska enggan mengidahkan, ia memundurkan motornya dengan cepat keluar dari barisan motor lain di sana, kini dikemudikannya kendaraan tersebut lebih kencang meninggalkan area parkir sasana tanpa memedulikan Saka.

***

Meira mengantre di belakang tiga pengunjung starbucks yang juga antre di depan mesin kasir, perempuan itu mengeluarkan ponsel dari sling bag, ia mendelik menyadari jika ada panggilan tak terjawab dari Riska. Kini giliran Meira yang menghubungi balik kekasihnya itu, sayangnya tidak ada jawaban. Meira berinisiatif mengirimkan chat tentang lokasinya terkini, ia ingat betul belum memberi kabar apa-apa terhadap Riska. Antrean mulai berkurang satu per satu hingga giliran Meira tiba.

"Mau gelas ukuran yang mana, Mbak?" tanya si kasir seraya tersenyum ramah.

"Yang tall, dingin ya. Saya mau yang cotton candy, esnya banyakin."

Sang kasir tampak mencatat pesanan Meira. "Oke, namanya siapa? Mau bayar cash atau pakai kartu kredit?"

"Meira, pakai cash aja, ada kok." Meira merogoh dompet dari sling bag, mengeluarkan selembar uang merah dan memberikannya pada si kasir.

"Ini kembaliannya, Mbak. Harap tunggu sebentar ya, nanti saya panggil namanya."

Meira meraih kembalian uangnya, menyimpan di dalam dompet dan menyingkir sejenak untuk duduk pada sofa yang tersedia, kebetulan situasi di dalam starbucks sebuah mall yang posisinya berada di samping hotel tempat Meira pemotretan cukup sepi.

Meira mengecek ponsel, ia tersenyum saat melihat balasan dari Riska yang katanya sedang menuju ke tempat Meira berada. Ah ya, setidaknya Meira merasa begitu beruntung karena Riska hadir saat perempuan itu merasa hidupnya berada di titik paling lemah, jadi Meira tak akan sibuk menyemangati dirinya sendiri, sebab ada Riska yang siap menopang punggung Meira kapan saja, dan ia percaya.

"Mbak Meira," panggil seorang barista yang sudah membuatkan pesanan Meira, perempuan itu beranjak meraih es kopinya yang terlihat merah oleh lelehan saus raspberry di permukaan frappucino vanilla, benar-benar menggiurkan untuk segera diseruput.

Meira kembali ke sofa seraya menunggu kedatangan Riska, ia menikmati es kopi tanpa memedulikan area sekitar hingga seorang pria datang dan duduk di depan Meira begitu saja, tapi bukan Riska.

Fokus Meira yang sempat mengarah ke layar ponsel kini beralih, ia asing dengan pria tersebut. "Siapa, ya?"

Pria berkumis tipis tersebut tersenyum seraya mengulurkan tangan. "Kenalkan, saya Abimana—pemilik agency pemotretan, siapa tahu kamu pernah dengar? Karena, saya sendiri dengar kalau sebentar lagi kontrak kamu habis kan, saya mau menawarkan sesuatu—siapa tahu kamu tertarik untuk bergabung di agency model milik saya." Abimana merogoh dompet dan mengeluarkan kartu nama, ia meletakannya di sisi gelas es kopi Meira. "Ini kartu nama saya, kamu bisa cari tahu dulu, kalau berminat bisa langsung hubungi nomornya ya, Meira."

"Mey." Itu suara Riska, ia baru datang dan kini berdiri di belakang kekasihnya.

"Eh, Riska." Meira menoleh.

"Baik, itu saja yang mau saya sampaikan. Jangan lupa ya kalau berminat langsung hubungi saja di nomor itu, buat model yang sudah berpengalaman seperti kamu—agency saya siap mengeluarkan budget yang besar kok, saya permisi." Abimana meninggalkan tempat tersebut digantikan Riska yang kini duduk di depan Meira, ia meraih begitu saja kartu nama Abimana sebelum Meira sempat membacanya.

"Agency baru?" tanya Riska.

"Iya, dia tawarinnya sih begitu."

"Kenapa nggak cari kerja yang lain aja?" Lagi-lagi Riska menyarankan hal yang sama, tapi Meira kukuh menggeleng, sebab ia merasa jika passionnya berada di bidang model.

"Terus, kapan lo mau berhenti?"

"Kalau ada yang kasih gue nafkah secara cuma-cuma." Meira terkekeh. "Ya nggak mungkin ada, mau es kopi nggak?"

***