Ada suatu hal yang tak bisa kujelaskan tentang bagaimana datangnya cinta dan mengapa ia bersemayam dalam dada hingga membuat setiap insannya terberdaya.
Sore itu, Jianghan memilih untuk pulang bersamaku meninggalkan Yui yang sedari tadi mengajaknya untuk pulang bersama. Namun, hal tak terduga kembali terjadi di perempatan jalan pinggir kota.
"Ada apa Jianghan? Mengapa kita berhenti di sini?" tanyaku yang menepuk pundaknya sembari memandang heran padanya, namun Jianghan hanya diam dan menoleh ke arahku dan bergegas turun dari sepeda.
"Aku jalan kaki saja, kau pulanglah."
Aku hanya terperangah kaget, aku tak mengerti jalan pikiran Jianghan sore itu. Ia kembali dingin sedingin kutub bersalju.
"Tapi, Jianghan."
"Sudah pergilah, aku tak apa. Aku tak mau menjadi pengganggu antara hubunganmu dengan Zhai Lian." Ucapan Jianghan kali ini menusuk batinku. Bagaimana bisa ia berpikir demikian tentang aku dengan Lian yang secara sah belum memiliki hubungan apapun hanya sekedar teman yang membantuku untuk membuatnya cemburu.
"Zhai Lian? Apa kau bilang Zhai Lian, apa aku tak salah dengar?" teriakku yang sembari melihatnya berjalan santai di depanku.
Aku segera mengayuh sepedaku dengan kuat mengimbangi langkah kakinya.
"Apa yang kau lihat itu salah, aku dan Lian hanya berteman. Seharusnya aku yang bertanya padamu, mengapa kau dekat dengan Yui, kau duduk dekat dengannya bahkan tak ada jarak satu inchi-pun diantara kau dengannya. Apa itu wajar jika itu di sebut sebagai zona pertemanan?" sentakku yang mengeluarkan seluruh kesal yang ada di hatiku. Mendengar ucapanku kali ini Jianghan mulai menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arahku yang tengah marah-marah tanpa sebab.
"Apa itu masalah bagimu?" tanyanya yang nampaknya biasa saja dengan wajah yang lurus tanpa ekspresi.
"Tentu saja. Aku tak suka jika melihatmu dekat dengan wanita lain selain diriku." jawabku yang spontan, kulihat Jianghan menyeringaikan bibirnya. Astaga! Aku kelepasan lagi.
"Sudah kuduga bahwa kau akan mengatakan hal itu padaku." balasnya yang mulai berjalan santai di depanku. Sepertinya aku sudah kelepasan dalam berbicara, apakah Jianghan tahu jika aku menyimpan rasa yang luar biasa padanya? Benar, dunia ini terlalu indah jika diawali dengan kata keceplosan. Mengapa bibirku ini tak bisa berhenti sejenak saja.
"Bu..bukan itu maksudku, Jianghan. Kau jangan salah tangkap."
Tiba-tiba Jianghan mulai berbalik.
"Dengarkan aku, aku sama sekali tak menyukai Yui Xin." ucapnya yang membelakangi cahaya senja. Aku mulai memiringkan kepala dan menyipitkan kedua mataku memandangnya.
"Tapi, Jianghan diakan cantik dan memiliki tubuh yang ideal."
"Dia bukan kriteriaku. Jadi, berhenti bicara tentang Yui." jawabnya yang cuek dan terus berjalan menjauhiku. Yui bukan tipe idealnya, sepertinya aku masih punya kesempatan untuk dekat dengan Jianghan, ternyata apa yang diucapkan Lian siang itu benar bahwa Jianghan tak menyukai gadis seperti Yui Xin Lie. Kuputuskan untuk turun dari sepedaku dan mengejarnya sembari berlari menggiring sepeda.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya yang keheranan melihat tingkahku yang mendorong sepeda.
"Aku ingin berjalan bersama denganmu." ucapku dengan meringis menunjukan gigiku, aku tak tahu bagaimana ekspresi wajahku ketika mengatakan ucapan ini, sepertinya ini mengerikan terlihat ia tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya.
"Kalau Yui Xin bukan tipe idealmu, jadi gadis yang seperti apa yang kau sukai, Jianghan?" tanyaku yang menatapnya dengan mata besarku.
"Mengapa kau selalu ingin tahu tentang privasiku?"
"Ya, akukan hanya ingin tahu saja, apa tidak boleh."
"Tidak boleh! Kau belajarlah, nilaimu semakin hari semakin memburuk, bukan?"
Aku mulai terbelalak kaget, kedua bola mataku menonjol menatapnya. "B..bagaimana bisa kau tahu?"
Jianghan mulai menyeringai seram, "Sangat mudah aku mengetahuinya, Guru Jie yang mengatakan hal itu padaku. Ia amat menyesalkan memiliki siswi bodoh seperti dirimu dalam kelas matematikanya."
"Seharusnya aku tahu itu, kau kan anak emas setiap guru di sekolah, tapi berani sekali kau mengataiku gadis bodoh."
"Memang seperti itu kenyataannya. Apa aku salah?"
"Lagipula apa bagusnya pelajaran matematika, membahas rumus yang hasilnya selalu rancu. Menyulitkan hidup saja." keluhku kali ini yang membuat kepala Jianghan menoleh ke arahku.
"Apa?! Mengapa kau memandangku seperti itu? Kau ingin memarahiku lagi?" cetus pedasku.
"Tidak. Bukankah hidupmu juga sulit? Lalu, untuk apa kau menyesalinya."
"Kau keterlaluan ya, Jianghan!" teriakku padanya dengan ekspresi marah. Ia hanya menahan tawanya melihat ekspresiku. Kali ini sikap menyebalkan Jianghan sudah tak bisa diobati. Lagi-lagi ia meremehkanku.
Langit jingga berubah menjadi gelap, lampu jalanan mulai menyala dengan terang. Para gemintang sudah siap memenuhi langit malam menemani sang rembulan. Tak terasa waktu cepat sekali berputar, selama aku bersama Jianghan aku selalu merasa aman dan tentram. Entah mengapa, jika dengannya aku merasakan ketenangan seakan ialah angin yang menghapus segala duka dalam jiwa. Perjalanan sore ini sangat menyenangkan, lagi-lagi langit jingga kota Hangzhou menjadi saksi bisu antara aku dengan Jianghan.
"Ibu, jika aku boleh bertanya bagaimana Ibu bisa menemukan Ayah?" tanyaku yang sedang duduk di meja makan sembari melihat Ibuku yang tengah menghidangkan makan malam yang lezat seperti biasanya.
"Tak biasanya kau menanyakan hal itu, Lin ada apa?" sahut Ayahku yang menyeruput secangkir teh hangat di hadapannya yang nampaknya sedikit terkejut dengan pertanyaanku.
"Aku hanya ingin tahu saja, bagaimana kisah cinta Ayah dan Ibu semasa muda."
Terlihat Ayahku mulai menghela napasnya.
"Biar Ayahmu saja yang bercerita." jawab Ibuku yang membuatku melirik Ayahku.
"Mengapa tidak kau saja yang menceritakannya, Li Wei ?"
"Ah, tidak kau saja, sayang."
"Jadi atau tidak Ayah dan Ibu menceritakannya. Aku menunggu." pintaku sekali lagi yang mencoba menjadi penengah antara Ayah dan Ibuku.
"Baiklah." Terlihat Ayah mulai menghela napas panjangnya dan mencoba menceritakan kisah cinta antara mereka ketika masih remaja.
Kembali pada masa 1997, dimana kaum remaja di zaman itu masih terlihat polos dengan penampilan fashion yang sederhana tanpa polesan make-up yang tebal dan berwarna-warni menghiasi wajahnya. Terlihat sosok gadis bernama Li Wei tengah berdiri menatap ke luar gedung dengan langit yang mendung. Wei adalah seorang primadona di kampusnya. Karena kecantikan dan keanggunannya lah membuat kaum adam terpikat, bak setangkai bunga yang selalu dihinggapi beragam kumbang, walau menjadi seorang primadona kampus tak membuatnya mudah menerima pria begitu saja. Ia sangat selektif dalam memilih pasangan hidupnya.
Ia juga dikenal sebagai sosok wanita yang cerdas dan juga berwibawa bahkan karena inilah ia dijuluki macan betina oleh setiap dosen yang mengampunya atas keberaniannya.
Sore itu hujan turun dengan lebat, terlihat awan mendung mengepul hitam hingga membuat langit gelap tanpa cahaya.
"Lagi-lagi terjebak hujan. Jam sudah menunjuk pukul 5 sore, aku harus bagaimana ini?" ucap resah seorang gadis sembari menghela napas panjangnya yang kemudian duduk di kursi lobi dan mengeluarkan sebuah headset putih yang kemudian menggantungkannya di telinganya.
"Li Wei." panggil seorang pria dengan suara serak basah dan sedikit gemetar mendekati sosok gadis yang tengah asyik bermain ponsel. Gadis itu mulai mengangkat kepalanya menatap bingung sosok pria dengan perawakan ideal berdiri di hadapannya.
"Iya?" tanyanya yang mulai menarik headset putih yang menggantung di telinganya
"Kau Li Wei mahasiswi sastra, kan?"
Terlihat gadis itu mulai menganggukan kepalanya.
"Perkenalkan namaku Chen Yuan." ucap sosok pria itu yang mulai menyodorkan tangannya. Nampaknya, Li Wei menyambut hangat perkenalan Chen.
Di sebuah ruangan terlihat tiga orang tengah duduk sembari menikmati hidangan yang tersedia.
"Jadi, itu perkenalan Ayah dengan Ibu?"
"Ya, sebenarnya masih panjang. Ayah teringat ketika Ibumu menolak pemberian Ayah, bahkan ia juga membuang bunga itu di depan mata Ayah. Kau tahu hari itu hati Ayah sakit dan sesak sekali." jelas Chen, Ayahku sembari menyentuh dadanya.
"Benarkah? Kasihan sekali. Ibu, kenapa kau jahat sekali dengan Ayah?"
Ibu hanya mengangkat bahunya seakan tak tahu apa alasannya.
"Lalu, jika Ayah selalu ditolak bagaimana Ayah bisa mendapatkan hati Ibu?" Terdengar Ayah mulai tertawa keras, aku hanya mengangkat alisku dengan heran.
"Aku tak pernah patah semangat, Ayah terus mengirimkan surat cinta pada Ibumu dan Ayah juga melamar Ibumu dengan sebuah puisi romantis, karena aku tahu kalau Ibumu seorangs mahasiswi sastra dan pasti sangat menyukai sastra. Jadi, dengan segala tekad Ayah buatkan sebuah puisi spesial untuk melamar Ibumu."
Aku hanya terperangah takjub mendengar kisah Ayahku dalam berjuang mendapatkan cinta.
"Kau tahu berapa lama Ayah membuatnya?"
"Berapa lama, Yah?"
" Lima hari." jawab Ayahku sembari memperlihatkan kelima jarinya.
Aku masih terbelalak ternyata begitu keras juga perjuangan Ayah dalam memikat hati Ibu.
"Asal kau tahu, Lin jika kau ingin mendapatkan hati seseorang cari tahulah dulu apa yang ia sukai, dengan itu kau bisa mendapatkan hatinya dengan mudah." ucap Ayahku yang membuat otakku bergerak mendapatkan sebuah ide.
"Haruskah aku mengirimkan surat cinta pada Jianghan?" gumamku dalam hati sembari menggigit sendok makan malamku.