"Aku mencintaimu melebihi apapun, tapi kau menganggapku seperti debu yang kecil dan mengganggu."
Mencintai adalah sebuah anugerah, dicintai adalah sebuah keberuntungan. Wanita mana yang tak ingin dicintai oleh kekasihnya. Aku mencintai tapi keberadaanku tak dianggap, aku berada diantara ada dan tiada, sebegitu menjijikankah diriku hingga membuatmu tak mau melirikku? Apakah kau pernah merasakan betapa sakitnya cinta yang bertepuk sebelah tangan?
Aku mencintai Jianghan sejak aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, kala itu ia berada dalam satu kelas denganku dan tak dipisahkan karena kapasitas otak seperti sekarang ini. Perasaanku pada Jianghan semakin hari semakin menjadi-jadi, aku benar-benar mencintainya hingga kami duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Tetapi, tetap saja walaupun kami sudah saling kenal di zaman sekolah dulu, ia tak pernah sedikitpun untuk melirikku apalagi menyapaku. Terlebih lagi sekarang ia berada di kelas A dimana semua siswanya pintar dan pilihan, sementara aku berada di kelas F yang mana semua siswa-siswinya dikenal sebagai pecundang dengan kapasitas otak yang rendah.
"Ah, ini pasti karena nasib cintaku saja yang buruk hingga membuat pria yang kusukai tak memandangku. Dia selalu mengacuhkanku dan bahkan ia tak peduli dengan keadaanku." ucapku yang menghela napas panjang sembari berjalan menyusuri jalanan kota. Kali ini, cahaya langit tak secerah kemarin, langit sedikit mendung dan murung. Lagi-lagi aku harus berjalan kaki hingga sampai rumah, sepertinya aku sudah terbiasa menyendiri seperti ini. Apa mungkin menyendiri itu adalah takdirku?
Kulangkahkan kakiku untuk terus melangkah dan mencoba untuk menyeberangi jalanan sore. Kutundukan terus kepalaku menatap aspal jalanan seakan telah hilang sudah semangatku dalam mencinta. Lamunan kasih yang kuidamkan tak menjadi nyata hanya bayangan semu yang membuatku semakin menggila dan terluka.
"Awas!!!" teriak seseorang dengan keras sembari membunyikan lonceng sepedanya hingga membuatku menoleh dengan kaget, terlihat seorang pria dengan sepeda birunya datang dan hampir saja menabrakku.
"Aduhhh…" rintih keras sosok pria itu diiringi dengan suara tubrukan yang keras, pria itu baru saja menabrak sebuah pohon besar di pinggiran jalan. Aku mulai menggigit jariku, nampaknya aku telah mencelakai seseorang karena lamunanku. Aku mulai memukul pelan kepalaku, mengapa aku ini bodoh sekali masih untung ia tak menabrakku.
Aku bergegas mendekati sosok pria itu dengan harapan sosok pria itu mau memaafkan karena keteledoranku saat menyeberang jalan.
"Apa kau tidak apa-apa?" tanyaku padanya dengan mencoba menggigit kuku jariku karena takut jika orang ini akan melaporkanku ke polisi karena perbuatan cerobohku. Aku tak mau masuk penjara hanya karena tindakan bodoh seperti ini.
"Tidak apa-apa bagaimana? Apa kau tidak lihat aku baru saja menabrak pohon. Kau pikir pohon ini kasur, ini keras tahu." marah sosok pria itu padaku yang masih berusaha untuk bangkit dari tabrakan maut antara pohon dan sepedanya. Terlihat ia juga masih terus merintih menahan sakit karena tubrukan yang membuatnya sedikit terluka.
"Maafkan aku, aku tak sengaja. Aku tak memperhatikan jalanku." ujarku dengan membungkukkan badanku sembari meminta maaf kepadanya atas semua kesalahanku sebagai pejalan kaki yang tak tahu diri. Terdengar pria itu mulai menghela napas panjangnya.
"Lin? Kau Chen Yuan Lin? Benar, bukan?" tanyanya dengan nada sedikit curiga dan penuh dengan penekanan dalam intonasi bicaranya.
Aku mulai mengangkat kepalaku memandang sosok pria yang menyebut namaku, bagaimana bisa ia mengenaliku padahal aku tak mengenalkan namaku padanya.
"J..Jianghan? k..kau?" Lagi-lagi aku gugup ketika menyebut namanya.
Pria itu adalah Xiao Jianghan, sosok pria yang selama ini aku idamkan, dia tampan nan menawan, tapi sedikit menyebalkan. Aku tak pernah menduganya bahwa aku benar-benar bertemu dengannya. Terlihat ia mulai menghela napas panjangnya lagi seakan ia bertemu dengan sosok yang membuat hidupnya semakin sempit.
"Seharusnya aku sudah bisa menduganya bahwa gadis ceroboh yang tak bisa menyeberang jalan itu adalah kau. Mengapa dunia ini begitu sempit ya, Lin? Dimanapun aku berada, aku selalu bertemu denganmu." cetusnya sembari ia mendirikan sepedanya yang sedari tadi tergeletak di atas tanah.
"Apa maksudmu bicara seperti itu?! Kau ingin mengatakan bahwa aku ini pembawa sial, begitu?" tegasku kali ini yang membuat kedua bola mataku terbelalak seram menatapnya. Pria itu hanya menyeringaikan bibirnya dengan santai seakan tak ada dosa dari semua ucapan yang ia tuturkan.
"Ya, kaulah pembawa sial bagi hidupku." jawabnya yang diluar dugaanku sembari ia menyodorkan wajahnya di depan wajahku. Aku hanya tertegun dengan semua ucapannya, aku tak menyangka bahwa ia akan mengatakan hal ini padaku. Benar-benar keterlaluan.
"Kalau kau berjalan perhatikan langkahmu, jangan sampai membuat orang lain celaka. Untung saja aku tidak apa-apa, kalau sampai kepalaku bocor, aku akan meminta kepalamu sebagai gantinya." tambahnya dengan menatap tajam kedua bola mataku seakan ia tak main-main dengan ucapannya.
Kali ini ucapan Jianghan sangat menyeramkan, jika ia benar-benar ingin mengambil kepalaku, bagaimana dengan diriku. Aku takkan memiliki kepala lagi dan bagaimana aku hidup.
"Mengapa kau diam?"
"T..tidak, aku tidak apa-apa." jawabku yang mulai menelan ludahku karena gerogi, entah mengapa jika aku dihadapannya aku selalu gugup tak berdaya dan kehabisan kata-kata.
"Jika kau kehilangan kepalamu, kau ganti saja dengan kacang hijau biar kau bisa berpikir lebih mudah." ledeknya kali ini yang sudah keterlaluan.
"Memang benar pria ini sudah gila." ucap lirihku.
"Apa yang kau katakan, Lin?" sidiknya dengan tegas sepertinya ia mendengarkan apa yang kukeluhkan.
Aku hanya menyeringaikan bibirku. Terlihat ia mulai menaiki sepedanya dan kakinya mulai menyentuh dan mengayuh pedalnya. Namun, tiba-tiba suatu hal aneh terjadi pada sepedanya. Sepedanya tak mau bergerak hingga membuatnya kesal. Pedalnya serasa lebih ringan dari sebelumnya.
"Jianghan?" panggilku dengan suara yang lirih sembari menepuk bahunya
"Apa?!" jawabnya yang sedikit kesal. Kurasa akulah penghancur mood-nya.
"Apa kau tak lihat, itu rantai sepedamu putus." ucapku sembari menunjuk ke arah rantai sepedanya. Jianghan lagi-lagi menghela napasnya dan mencoba untuk mengusap rambutnya dengan kasar nampaknya kali ini ia benar-benar frustasi dengan semua kejadian yang menimpanya.
Sore itu jam sudah menunjuk pukul 4, aku masih berdiri kokoh di hadapan Jianghan yang tengah membenahi rantai sepedanya yang putus. Kulihat keringatnya mulai bercucur deras ke lehernya dan mengembun di dahinya.
"Mengapa kau masih berdiri disitu? Pulanglah!" pintanya kali ini ia mencoba untuk mengusirku dengan tangannya, apa ia pikir aku ini seekor anak kucing yang diusir dengan gerakan tangannya.
"Tak mau, aku akan menemanimu hingga rantai sepedamu berhasil diperbaiki, karena secara tak langsung ini juga karena salahku." jawabku yang terus mengerucutkan bibirku menatapnya. Lagi-lagi Jianghan mulai menghela napasnya.
"Tidak bisa, ini harus dibawa ke bengkel." ucapnya yang kali ini menyerah pasrah dengan keadaan sepedanya. Terlihat kedua tangannya mulai hitam karena oli pelumas rantai itu.
"Jianghan, tanganmu?" ujarku sembari menyodorkan sebuah sapu tangan milikku untuk membersihkan oli-oli hitam yang menempel di telapak tangannya, namun ia mulai menolak dan menarik keras tangannya dari genggamanku.
"Sudahlah. Tak apa, mari kita pulang." ajaknya sembari mendorong sepedanya di sebelahku. Aku hanya diam tanpa gerak mataku menatap takjub karena mendengar ucapannya. Aku tak pernah mendengar kata indah yang Jianghan ucapkan padaku.
"Mengapa kau diam? Apa kau tak ingin pulang?" tanyanya kali ini ia mulai menoleh ke arahku yang masih diam bagaikan patung.
"I..iya."
Aku berjalan beriringan dengan Jianghan, inilah momen paling langka yang pernah kurasakan. Kurasa dewi keberuntungan tengah berpihak padaku. Kuharap inilah awal yang baik bagi nasib cintaku padanya. Jianghan, kau menawan sekali hari ini.
"Mengapa kau senyum-senyum seperti itu? Apa ada yang aneh?" tanya Jianghan yang mulai bingung menatapku yang sedari tadi tersenyum manis tanpa sebab dalam tundukkan kepala.
"Tidak, hanya saja aku sangat senang bisa pulang bersamamu, Jianghan." jawabku yang ikut memandangnya. Jianghan hanya menganggukan kepalanya bagai seekor burung hantu.
"Hei, Lin kau jangan mengambil kesempatan di balik kesempitan ini, kau juga jangan berpikir macam-macam. Aku pulang bersamamu bukan karena aku mau tetapi ini karena terpaksa." jelasnya yang membuat hatiku retak seketika, ragaku bagaikan disambar kilat yang hebat.
"Baiklah, aku mengerti." jawabku dengan nada sedikit lesu mendengar ucapannya yang tiba-tiba saja langsung menusuk ke hatiku. Seakan membuat taman bunga yang baru di siram kini mulai layu lagi. Cintaku kembali ditolak.
"Sebenarnya, kriteria wanita yang seperti apa yang ia suka? Aku benar-benar ingin tahu. Aku juga ingin menjadi sosok wanita idamanmu, Jianghan." gumamku dalam hati yang terus memandangi wajah samping Jianghan yang mulai terpapar cahaya senja yang indah.