Sore itu kubanting tasku ke atas Kasur, kukunci pintu kamarku rapat-rapat. Kali ini, Jianghan sudah kelewat batas, aku kesal dengannya. Kesabaranku sudah habis. Entah mengapa ia selalu meledekku seperti itu, ucapan Fen tentang ia menggoda karena menyukaiku nampaknya salah, dia tak ingin menggodaku tapi ia hanya ingin merusak mood dan hariku.
"Aku harus meneleponnya, aku tak peduli lagi, kesabaranku sudah habis." Kuraih ponselku dan mencari nama Jianghan di kontakku.
Telepon mulai berdering, aku masih menunggu ia mengangkat teleponku.
"Halo?" terdengar suara pria yang mulai merespon panggilanku.
"Ha, Jianghan!" teriakku dari dalam telepon genggam menyebut namanya dengan lantang, nampaknya ia akan menjauhkan ponselnya sedikit dari telinganya karena suara kerasku.
"Apa?" jawabnya yang singkat seperti biasanya. Entah mengapa ia selalu menjawab kata "apa" di setiap awal obrolan kami. Inilah yang menjadi ciri khas dari sosok Xiao Jianghan.
"Apa yang kau lakukan? Mengapa kau meninggalkanku dan membawa sepedaku begitu saja? Dasar tidak sopan! Apa maksudmu memperlakukan itu padaku? Kau tahu, gara-gara kau aku berjalan sendirian menyusuri kota yang hampir malam dan Ibuku mencoba menanyakan mengapa kau membawa sepedaku ke rumahku." cetusku yang mulai mencoaba memarahi Jianghan.
"Lalu, apa yang ingin kau lakukan padaku? Apa kau ingin menendang kakiku lagi?" jawabnya yang kali ini dengan menyeringaikan bibirnya. Jianghan berbicara dengan santainya seakan ia tak melakukan apa-apa padaku. Tingkat menyebalkannya sudah tingkat dewa.
"Kau ini, apa kau tidak merasa bersalah atas semua perlakuanmu padaku? Bisa-bisanya kau berkata santai seperti itu seakan kau tak punya masalah, kau tidak meminta maaf, tapi kau malah ikut menyindirku, sebenarnya apa maumu? Mengapa kau selalu menyusahkan diriku, Jianghan?!" cetusku lagi yang mulai meluapkan segala emosi yang sudah mengganjal dalam dada.
Namun, tiba-tiba tak ada balasan dari Jianghan, ia memilih untuk diam tanpa sepatah kata yang terucap.
"Jianghan! Apa kau mendengarku?" tanyaku kali ini yang mencoba memastikan bahwa Jianghan masih berada dekat dengan ponselnya.
"Ya, lanjutkan saja makianmu, aku akan mendengarkannya, Lin." jawab Jianghan yang membuatku semakin kesal.
"Apa kau tahu, setiap menit bahkan detikku selalu terganggu karena ulahmu. Ucapanmu, tingkahmu, gayamu, tatapan matamu, senyumanmu, cara berpakaianmu, sepatumu bahkan cara bernapasmupun itu semua menyebalkan untukku. Aku benar-benar muak bertemu denganmu, aku membencimu, Jianghan." ucapku dari dalam panggilan seluler yamg terus meluapkan segala perasaan yang ada.
"Jadi, kau benar-benar membenciku, Lin?" tanya Jianghan yang tiba-tiba.
"Ya, aku sangat membencimu. Kau itu pria yang menyebalkan, aku tak suka denganmu." jawabku yang secara spontan tanpa pikir panjang.
"Baiklah, jika begitu. Selamat malam." balas Jianghan yang mulai menutup teleponnya.
Panggilan terputus.
"Jianghan! Halo, Jianghan?" ucapku di telepon, namun yang terdengar hanyalah suara panggilan yang sudah terputus.
"Apa yang kubicarakan barusan, mengapa aku mengatakan bahwa aku membencinya? Ah, ada apa denganku ini, bodoh sekali mengapa aku tak berpikir dahulu sebelum kuberbicara. Bagaimana jika Jianghan benar-benar menjauhiku? Aku tak mau jika kisah cintaku bertepuk sebelah tangan selamanya." kataku yang mulai menyesal karena ucapan yang baru saja kulontarkan pada Jianghan tanpa pikir panjang. Nampaknya, cintaku akan selamanya bertepuk tangan karena ucapanku ini. Benar kata pepatah, mulutmu harimaumu.
Di sisi lain, terlihat Jianghan tengah duduk menatap ke luar jendela dan matanya masih terus memandangi ponselnya dengan mata yang terbelalak kaget.
"Tak kusangka, Lin bisa berkata demikian padaku, sepertinya ia sangat marah dengan sikapku. Apa sikapku sudah keterlaluan?" gumam Jianghan yang masih memandangi nomor ponselku dengan penuh keheranan.
Tiba-tiba ponselku kembali berdering nyaring, nampaknya ada sebuah pesan yang baru saja hinggap disana.
"Maaf." Itulah isi pesan singkat yang kubaca, nampaknya Jianghan mulai menyesali semua perbuatannya. Hatiku mulai bertanya-tanya, apakah ia masih marah padaku? Apakah ia juga membenciku dan apakah ia meminta maaf karena terpaksa karena ucapanku? Kuputuskan untuk meneleponnya sekali lagi untuk memastikan bagaimana keadaannya kali ini. Rasanya, aku menjadi tidak enak karena ucapanku yang mungkin saja menyakiti hatinya, tapi sungguh bukan maksudku begitu, aku hanya ingin ia mengetahui bagaimana perasaanku selama ini. Jianghan, tolong jangan salah tangkap!
Aku mengangkat ponselku, kuputuskan untuk menelepon Jianghan tuk memberikan penjelasan atas segala ucapanku sebelumnya.
"Ayo, aku mohon angkatlah, Jianghan." resahku kali dengan menggigiti kuku jariku karena rasa gelisah yang tiba-tiba saja datang melanda.
Namun, tanpa sebab apapun ia menolak panggilanku.
"Apa yang kau lakukan?" kagetku yang melihat Jianghan menolak panggilanku.
"Sekali lagi, aku harus mencobanya." ucapku yang masih tetap optimis memanggil Jianghan. Tetapi tetap kali ini ia menolaknya, sudah 5 kali aku meneleponnya tapi tetap tak ada jawaban. Ia terus menolak panggilanku.
"Aku mohon, jawablah teleponku, Jianghan. Ada yang ingin kujelaskan padamu, agar tak salah paham." gumamku lagi kali ini dengan berjalan kesana kemari dengan hati yang dirundung rasa gelisah.
"Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi." ucap salah satu operator jaringan. Kali ini, Jianghan mulai mematikan ponselnya. Hatiku semakin gelisah, mengapa ini selalu terjadi padaku, dia yang bersalah tapi kenapa harus aku yang merasa tidak enak.
Kutaruh ponselku di atas meja belajar, sesekali aku juga memeriksa dan meliriknya apakah Jianghan menghubungiku lagi atau tidak, namun nihil tak ada balasan pesan apalagi telepon darinya. Malam itu, aku benar-benar tenggelam dalam rasa bersalah karena ucapanku yang tak terkendali karena emosi yang melanda, tanpa sadar jika aku telah membuat Jianghan kesal. Apa yang sudah kulakukan? Cintaku takkan pernah tersampaikan, jika aku selalu bersikap seperti ini. Sebenarnya, aku tak melakukan kesalahan apapun padanya, tapi mengapa ini begitu menyulitkan hidupku.
Jam sudah menunjuk pukul 6, terdengar suara ayam mulai berkokok bersahut-sahutan menyambut pagi yang gemilang, alarm mulai berdering nyaring di telinga dan cahaya oranye mulai muncul dari ufuk timur. Hari baru mulai datang menyapa, semoga kali ini keberuntungan datang menghampiriku. Aku mulai meraih ponselku untuk memeriksa apakah Jianghan mengirimiku pesan atau tidak semalam. Hasilnya, sama saja tak ada satupun pesan yang hinggap di sana, hanya pesan dari salah satu operator yang mengingatkan untuk isi ulang pulsa karena masa tenggang nomorku. Aku mulai menarik selimutku dan menutupi wajahku sembari menghela napas panjangku merasakan sesuatu hal yang sesak dan menyebalkan mulai memenuhi isi otak dan hatiku.
"Mengapa jadi rumit seperti ini?" sesalku pagi ini yang membuat mood-ku kembali kacau balau tak karuan.
"Yuan Lin, apa kau tak pergi ke sekolah?" panggil Ibuku yang mulai berteriak sembari mengetuk keras pintu kamarku yang masih terkunci.
"Iya, bu." jawabku dari dalam kamar yang masih tertutup rapat.
"Kalau begitu, segeralah bersiap-siap." sahut Ibuku dengan lantang yang memintaku untuk bergegas pergi ke sekolah. Nampaknya, gairah untuk pergi ke sekolahku sudah menurun, rasanya hari ini malas sekali untuk pergi seperti ada suatu hal yang mengganjal dan tak mengenakan hati, untuk apa aku ke sekolah jika Jianghan saja sudah tak menginginkanku untuk ada, teleponku sudah tak diangkat dan dimatikan begitu saja. Semangatku pagi ini sudah hilang.
Jam sudah menujuk pukul 7 pagi, aku bergegas pergi ke sekolah dengan mengayuh sepedaku. Namun, di tengah perjalanan aku melihat sosok pria mengenakan jaket hitam yang tengah mengendarai sepedanya di depanku.
"Jianghan? Apa itu Jianghan?" dugaku dengan penasaran yang mulai mengayuh sepedaku dengan kuat mendekati sosok pria yang tengah bersepeda ria itu. Pria itu menggerakan sepedanya dengan sangat cepat hingga membuat kakiku sakit untuk mengejarnya. Lonceng sepeda mulai kubunyikan sebagai tanda bahwa aku tengah memanggilnya. Jika dilihat dari cara berpakaian dan punggungnya sepertinya ia benar Jianghan. Apapun akan kulakukan untuk mengejarnya, tak peduli jika kakiku harus sakit karena mengayuh sepeda dengan tenaga yang penuh.
"Hei, tunggu!" teriakku pada sosok pria itu yang memintanya untuk segera berhenti hingga membuat sosok pria yang tengah bersepeda itu menarik remnya dengan kuat hingga membuat roda sepedanya berhenti bergerak.
Ia mulai menoleh ke arahku dengan menyipitkan kedua matanya.
"Yuan Lin?" gumamnya dengan lirih yang masih terus memandang dengan mata sipitnya. Aku terus tersenyum menatapnya sembari menambah kecepatan kayuhan sepedaku agar lekas sampai di sampingnya. Hatiku berkata bahwa dia adalah Jianghan.
Aku mulai terbelalak kaget melihat sosok pria dengan balutan jaket berwarna hitam itu, tanpa sadar mulutku ikut terperangah takjub menyaksikan penampilan sosok pria dengan gaya rambut barunya.
"K..kau?" ujarku yang mulai menunjukan jari telunjukku pada sosok itu. Terlihat ia mulai menyeringaikan bibirnya dan menatapku dengan sorot mata indah khas miliknya.