Cinta, berurusan dengan cinta memang berat rasanya, bahkan lebih berat dari matematika. Jika ada rumus yang bisa kupecahkan pasti cintaku akan terasa lebih ringan. Tapi, apakah kalian juga pernah merasakan bagaimana beratnya menanggung cinta sendirian tanpa adanya balasan namun hanya bisa memendam?
Aku sudah tahu apa jawabannya, pasti sakit yang dirasa. Terkadang aku pun berpikir, mengapa harus ada cinta jika satu hati tak mau menerima, mengapa pula harus ada rasa jika salah satu pihak tak mau merasa.
Pagi ini aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sikap Zhai Lian padaku seperti ada suatu hal yang tak bisa kumengerti.
Nampaknya, satu sekolah tahu apa yang telah terjadi padaku dan Lian di halaman tadi. Menghela napas penuh dengan kekesalan, mimpi apa aku semalam?!
"Yuan Lin, ceritakan lah pada kami. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa benar jika Lian menyatakan cinta padamu?" tanya Fen yang mulai membuka topik pembicaraan, sorot matanya memandang dengan penuh penasaran. Aku mulai menghela napasku seakan ada rasa sesak yang ikut menyelimuti dadaku.
"Lian…" ucapku yang menggigit bibir bawahku penuh keraguan dalam sanubari. Terlihat Fen dan Shu In semakin penasaran.
"Dia menggenggam tanganku dan mengatakan bahwa dia merindukanku, ia juga mengajakku makan siang dan pulang bersama. Ia juga mengatakan bahwa ia hampa tanpa diriku. Aku sungguh tak mengerti dengan semua perkataannya." ucapku sembari menyangga kepalaku.
"Lian berani berbicara seperti itu?" Shu In terbelalak kaget dengan mulut yang sedikit terbuka menanggapi ucapanku mengenai Lian. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Rasanya tidak mungkin, jika pria kelas atas dan pewaris tunggal perusahaan besar di Beijing menyatakan rasanya padamu. Bukan maksudku merendahkanmu, Lin tapi cobalah kau lihat seperti geng gadis-gadis kaya itu Min Lilly, Yuna Hao dan Yui Xin kenapa ia tak meliriknya? Ini sungguh aneh." tambah Fen dengan menggelengkan kepalanya. Aku hanya mengangkat bahuku.
Sementara itu, jauh di dalam lubuk hatiku yang terdalam, "Seharusnya Jianghan yang mengatakan hal ini padaku, bukan Zhai Lian."
Xiao Jianghan, pria yang sudah kuincar sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku juga tak tahu, mengapa aku bisa jatuh hati dengan sosok pria dingin yang penuh teka-teki seperti dirinya. Hanya saja kala itu ia membantuku dan berhasil mencuri perhatianku.
Kembali ke masa 4 tahun yang lalu, di mana ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ini adalah pertama kalinya aku pergi sekolah dengan menggunakan bus.
"Yuan Lin, hati-hati di jalan ya!" teriak Ibuku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya mengiringi setiap langkahku menuju halte bus. Memang untuk pertama kalinya, aku harus berangkat ke sekolah baru tanpa seorang teman. Yap, karena tahun ini adalah tahun pertama aku berada di Hangzhou karena sebelumnya aku tinggal dan besar di Wuhan. Bus sekolah telah tiba.
"Selamat pagi, non." sapa sopir bus dengan ramahnya diiringi segaris senyum tulus terhias di wajah paruh bayanya.
"Pagi, pak." balasku yang tak mau kalah ramah dengan sapaan hangat sopir bus sekolah. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam bus, sontak terkejutnya lah aku melihat seluruh kursi bus penuh dengan siswa-siswi yang duduk berhimpitan.
"Kalau begini, bagaimana aku bisa duduk? Mau tak mau, aku harus berdiri hingga tiba ke sekolah." batinku sembari mengernyitkan dahiku. Hari pertama masuk sekolah sudah membuat mood-ku turun drastis. Peristiwa ini tentu berbeda ketika aku berada di Wuhan. Ini sangat parah, jika seperti ini terus, sepertinya aku takkan betah tuk tinggal di Hangzhou dalam jangka waktu yang lama.
Kuraih pegangan yang menggantung di dalam bus. Kuharap kali ini, aku takkan membuat kekacauan. Kaki dan tanganku harus kokoh dari goyangan maut bus sekolah yang ugal-ugalan. Tiba-tiba rem bus mulai diinjak dengan kuat, sontak membuat seisi bus teriak histeris begitu pun dengan diriku yang hampir jatuh namun berkat seorang pria menahan dan menarik tas ranselku.
Aku mulai menoleh ke belakang melihat sosok pria yang menahan ranselku. Terlihat seorang pria berjaket hitam dengan potongan rambut yang rapi, mata sipit yang indah dan kulitnya yang bersih menatap teduh diriku.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sembari membenahi cara berdirinya. Aku terperangah dan menganggukkan kepala.
"Thanks."
Ia hanya menyeringaikan bibirnya, "Kau siswa baru di sekolahku, bukan?"
Aku mulai memandangnya dengan aneh, bagaimana dia bisa tahu bahwa aku murid baru di sekolahnya.
"Tak perlu heran begitu, aku tahu karena kemarin guruku bicara hal ini padaku." jawab pria jaket hitam itu dengan sedikit menyebalkan. Aku hanya membenahi rambutku sembari mengangguk perlahan dan menggaruk telingaku yang tak gatal sembari mengabaikannya.
"Senang bisa mengenalmu lebih dulu." tambahnya yang membuatku mengangguk
Namun, pertemuanku dengan sosok pria mengagumkan itu tidak hanya terjadi di dalam bus saja tetapi terus berlanjut hingga membuatku satu kelas dengannya dan bisa makan siang bersamanya. Saat itu, secara tak sengaja akupun berpapasan dengannya di kantin sekolah. Kurasa ia bukanlah pria sembarangan, hal itu bisa kulihat dari caranya berpakaian dan jalannya. Rapi, bersih dan rambut hitam yang teratur. Jika di Wuhan bisa saja dia adalah anak pemilik sekolah, selebgram, atau mungkin saja pewaris perusahaan besar dan paling kaya di sekolah ini.
"Xiao Jianghan." ejaku yang mengeja papan nama yang tertempel di seragamnya. Pria itu mulai melirikku dengan tatapan mata yang tajam, seakan ia tak senang ada seseorang yang membaca namanya tanpa seizinnya.
"Apa? Apa ada masalah dengan namaku hingga kau mengejanya?" tanyanya dengan mengangkat kedua alisnya menatapku.
"T-tidak, hanya saja tadi ketika kau menolongku di dalam bus, aku tak tahu namamu hingga membuatku lupa untuk mengatakan terima kasih padamu." jawabku dengan menggigit bibir bawahku.
Pria itu masih kokoh menyodorkan sebuah senyum paksa, "Ya, aku tahu pasti kau ingin mengatakan bahwa jika tanpaku pasti kau sudah jatuh tersungkur dan jadi bahan tertawaan dalam bus benar begitu, bukan?"
Aku masih terbelalak, bagaimana bisa ia tahu apa yang kupikirkan. Aku menelan ludahku dan memandangnya dengan jantung yang sedikit bergetar.
"B-bagaimana kau bisa tahu?"
"Itu sangat mudah, para wanita diluar sana pun akan melakukan hal yang sama sepertimu demi mencari kesempatan untuk bisa berkenalan. Itu metode kuno dan aku bosan mendengarnya. Tapi, aku juga senang bisa bertemu denganmu, Chen Yuan Lin." jawabnya dengan menyeringaikan bibirnya.
Mendengar ucapan yang demikian, membuatku bergumam dengan kesal, "Sombong sekali, pria ini. Baru tampan sedikit saja sudah bertindak setinggi langit, bagaimana jika dia popular bisa-bisa rakyat kecil mati ditindas oleh keangkuhannya."
Namun, di saat yang bersamaan, seorang gadis berambut panjang dengan wajah oval mulai menarik pergelangan tanganku agar menjauh dari pria itu dan kemudian berbisik halus.
"Dia pria paling pintar di sekolah, jangan dekat-dekat dengannya nanti kau bisa gila." Mereka ini adalah Shu In dan Fen. Mendengar bisikannya aku mulai mengangguk paham, pantas saja ia bersikap menyebalkan ternyata aku tak selevel dengannya.
Aku pun makan siang dengan dua gadis yang baru saja kutemui dengan ketidak sengajaan.
"Jadi, kau dari Wuhan?" tanya satu gadis yang mengikat rambutnya tinggi, aku mengangguk
"Baiklah, kenalkan namaku Fen dan ini Shu In. Senang bisa bertemu denganmu, Yuan Lin." jawabnya yang mulai memasang senyum manis ke arahku.
"Kalau boleh tahu, bagaimana bisa kau bertemu dengan Jianghan, Lin?" tanya Shu In yang menenggak sekaleng minuman dengan penasaran.
Aku mulai menghela napasku dan memberanikan diri tuk menceritakan semua kejadian hari itu padanya hingga ada satu jawaban yang membuatku terperangah tak terduga, bahwa Jianghan adalah siswa popular dan bintang di sekolah bahkan semua guru mengakui kecerdasannya.
"Dia pandai, tapi sikapnya sedikit menyebalkan. Itulah alasan kami mengapa menarik tanganmu agar menjauh darinya, daripada nanti kau dimaki atau dipermalukan." tambah Fen yang menatap sinis sosok pria yang kini tengah duduk bersama kawannya. Aku hanya mengangguk paham. Tapi, aku menyangkalnya kurasa pria itu pria yang baik bahkan aku bisa melihat dari sorot matanya yang berbinar-binar penuh dengan ketulusan. Tapi, ini hanya dugaanku sementara, entah bisa saja suatu saat berubah.
Itulah awal di mana aku bertemu dengan Xiao Jianghan, pertemuan pertama yang berawal dari ketidaksengajaan dan cukup menyenangkan walaupun ia masih tetap menyebalkan. Rasanya, baru kemarin aku bisa bicara banyak padanya, di sekolah menengah pertama dulu sikapnya sangat baik tetapi entah mengapa seiring berjalannya waktu membuatnya cuek dan dingin bagai batu.
Walaupun demikian, dulu aku pun pernah satu kelompok belajar dengan Jianghan walau pada akhirnya, Jianghan pulang dengan keadaan kesal karena aku tak paham dengan apa yang ia jelaskan. Memang bodoh sekali diriku, membiarkan Jianghan pulang begitu saja. Mungkin dari sinilah Jianghan mulai membenciku dan segala kebodohanku.
"Sebenarnya apa yang kau pikirkan hingga kau tidak bisa mencerna apa yang kukatakan? Apa kau tak mengerti bahasaku?" itulah makian pertama yang pernah kudengar dari mulut Jianghan. Kala itu, aku hanya diam tak bergeming dengan menundukan kepala menatap sepasang sepatu hitam di bawah kakiku. Tetapi, lambat laun aku menjadi tak mempedulikan apa yang Jianghan katakan tentang diriku, kurasa ini karena cinta yang menguatkan hatiku.
Sudah kuduga, cinta membuat apapun terlihat sempurna bahkan sebuah makian pun akan berubah menjadi pujian dan kotoran akan terlihat seperti berlian.