Malam gelap berhiaskan ribuan bintang, kubuka jendela kamar lebar-lebar sembari kurasakan sayup-sayup tiupan angin menembus kulit, namun suara serak basah Jianghan masih saja terngiang di gendang telinga.
"Bukankah incaranmu selama ini adalah Zhai Lian, pria tampan dan kaya raya?" Aku terus memukul kepalaku seakan ingin suara mistis itu segera hilang dari ingatanku.
Bagaimana bisa ia berpikir demikian tentang aku dan Lian. Kusandarkan tubuhku pada kursi belajar sembari terus menatap langit hitam penuh cahaya malam dan sesekali kulirik sebuah buku bersampul mawar yang tergeletak di atas meja. Agak aneh rasanya sudah 3 bab yang kucoba tapi tak ada yang memberi hasil nyata, seakan Jianghan adalah pria yang kebal akan godaan. Menjadi pintar dan berwawasan luas nampaknya butuh waktu.
"Haruskah aku membuka chapter selanjutnya untuk memikat hati Jianghan?" ucapku sembari menyangga kepalaku melirik sebuah buku mawar yang dianggap sebagai buku keramat masalah percintaan anak remaja. Rasanya sudah 3 bab yang kupraktekan semuanya gagal total. Aku mulai meraih buku itu dan kubuka lembaran demi lembaran, terlihat Chapter 4 mulai menghiasi satu halaman. Aku mulai menghela napas panjangku dan berharap semoga hatinya segera terketuk oleh cintaku.
"Chapter 4. Cobalah untuk tetap tersenyum dan jangan terus mengeluh dengan keadaan. Karena senyum akan membuat inner beauty-mu lebih terlihat." Bacaku dengan nada lirih sembari menyangga kepalaku. Menjadi sosok wanita yang optimis dan tak mudah mengeluh, apa dan bagaimana maksudnya? Aku kembali menggelengkan kepalaku.
"Apakah akhir-akhir ini aku lebih suka cemberut dan mengeluh di depan Jianghan? Lalu, apa yang akan terjadi jika aku selalu mengeluh dengan semua kehidupanku padanya?" tanyaku pada diriku sendiri sembari menggigit bibir bawahku.
Kubuka halaman baru untuk kesekian kalinya, terlihat beberapa paragraf tertulis rapi di satu muka halaman. Ada misi dan nasihat yang harus kulakukan.
"Pria lebih menyukai sosok wanita yang tegar, ramah, murah senyum, pekerja keras dan mandiri. Jika kau terus mengeluh sama saja kau menjadikan dirimu sebagai sosok wanita yang lemah dan ia akan semakin meremehkanmu dan tak menganggap keberadaanmu." Bacaku sekali lagi yang membuatku mengangguk paham.
Aku mulai berdesis, "Jadi, ini masalahnya mengapa Jianghan selalu mengejekku. Dia mengira bahwa aku ini adalah gadis yang pesimis dan lemah. Baiklah, kalau begitu esok aku akan menjadi sosok Yuan Lin yang sangat optimis, kuat dan tak mudah patah. Aku juga akan memasang wajah manis kepadanya."
Tiba-tiba ponselku berdering nyaring dan menghancurkan ekspetasiku. Nampaknya, ada sebuah pesan yang baru saja hinggap di ponselku. Mataku terbelalak melihat nama Fen di layar ponselku. Tumben sekali malam-malam seperti ini ia mengirimkan pesan padaku.
"Lin, apa sore tadi Jianghan datang menemuimu?" isi pesan Fen yang membuatku mengangguk pelan.
"Iya, dia datang menemuiku. Ada apa, Fen?" balasku pada pesannya Fen.
"Aku melihat wajah Jianghan sangat khawatir, ketika aku mengatakan bahwa kau akan menginap di sekolah untuk belajar. Kau tahu, sore itu aku juga melihat Zhai Lian bersamanya. Bahkan Lian juga sempat menanyakan kabarmu padaku karena hampir tiga hari ini kau tak mengirimkan pesan dan makan siang dengannya dan Jianghan tiba-tiba saja pergi tanpa pamit ketika Lian menanyakan kabarmu. Apa semuanya baik-baik saja? Apa Jianghan memperlakukanmu dengan baik?"
Aku mulai menggigit bibirku ketika membaca balasan singkat Fen yang diluar dugaanku. Zhai Lian dan Jianghan saling bertemu dan mencariku? Apa yang terjadi sebenarnya?
"Semuanya baik-baik saja, hanya saja Jianghan..."
"Ada apa dengannya? Apa dia memarahimu lagi atau meninggalkanmu di tengah jalan?" balas Fen dengan sangat cepat melebihi kecepatan singa berlari.
"Tidak, dia bahkan menungguku sampai larut malam, ia pun menasehatiku untuk terus belajar dan menemaniku pulang, tapi Jianghan kembali salah paham. Ia menganggap bahwa Lian-lah alasanku tuk masuk ke kelas A. Ia berpikir bahwa aku menyukai pria yang tampan dan kaya raya seperti Zhai Lian."
"Apa? Apa dia sudah gila? Lalu, apa kau memiliki hubungan spesial dengan Lian atau kau juga menyukai Zhai Lian?" Aku mulai membaca sedikit balasan Fen hingga membuatku terperangah bagaimana bisa dia berpikir kotor seperti ini.
"Tidak, aku hanya menganggapnya sebagai teman. Ini sangat sulit tuk kuungkapkan. Sisi lain aku menyukai Jianghan, dan di sisi lain juga ada Liao Jin yang tulus menunggu dan perhatian denganku. Membahas Zhai Lian, memang dia pria yang baik, sopan dan manis tapi aku tak bisa menganggapnya lebih dari seorang teman."
"Saranku supaya tak bertambah keruh, lebih baik kau utarakan saja semua rasamu pada Jianghan sebelum kelas 3 dan sebelum kau menyesal bahwa cintamu takkan pernah tersampaikan."
"Tapi, berat aku tak mau mengambil konsekuensinya. Aku takut jika aku tak bisa menerima jawabannya. Aku takut penolakan."
Kulihat tanda online Fen mulai meredup, kurasa ia sudah tidur sekarang. Jam di dinding sudah menunjuk pukul 11 lebih 30 menit, tapi mataku masih tak mau terpejam. Aku kembali menghela napas, Apa yang sebenarnya kupikirkan.
Menyatakan cinta? Kedengarannya mustahil tuk kulakukan. Aku sangat takut tuk mengungkapkannya. Bagaimana jika ia menolakku dan mengatakan bahwa ia telah memiliki gadis idaman lainnya di hatinya? Bukankah itu akan melukai hatiku? Lebih baik aku memendamnya, walaupun aku tak tahu sampai kapan aku kan bertahan.
Tapi, pernahkah kalian merasakan betapa beratnya mencintai seseorang. Jika boleh memilih aku ingin dicintai saja aku tak ingin merasakan luka sedalam ini. Setiap menit dan detik hanya terbayang dirinya. Memang, inilah konsekuensi seseorang yang memendam rasa sendirian.
"Apakah kau sudah tidur, Jianghan?" tanyaku sembari menatap langit berhiaskan bulan purnama yang bulat, indah dan terang benderang.
"Harus berapa lama lagi aku menunggumu? Haruskah aku menunggumu hingga muncul dua purnama di angkasa?" tambahku sekali lagi sembari terus memandangi langit malam dengan harapan Jianghan mengirimkan pesan singkat pada ponselku.
Aku tahu, kita menghirup udara yang sama dan menatap langit yang sama, kita pun berada dalam satu pijakan bumi yang sama tapi, hatiku dan hatimu tak seiras. Kau berbeda, akupun berbeda. Aku mencinta dan kau mengabaikan rasa. Beginikah alur kehidupan? Kusandarkan lagi kepalaku pada dinding kamar.
Namun, di sisi lain, di sebuah ruangan belajar yang penuh dengan buku-buku bacaan, terlihat seorang pria berperawakan gagah dan rupawan duduk ditemani secangkir teh dan sebuah buku erat di genggamannya. Sayup-sayup angin menghempaskan rambut dan pakaian tidurnya.
"Tak ada yang bisa menyangkal apa itu cinta, seteguh apapun dirimu kau akan rapuh karena cinta, seberani apapun dirimu kau akan takluk karena rindu, sekuat apapun jiwamu kau akan hancur ketika kehilangan kasihmu. Cinta takkan melemahkan tetapi cinta akan saling menyempurnakan."
Pria itu mulai menengadahkan kepalanya menatap langit malam yang penuh dengan bintang sembari menutup bukunya. Kini hatinya ikut bergetar pasca membaca seuntai kata romansa yang tertulis dengan indah bermakna. Terlihat tangan kanannya mulai menyentuh dada sebelah kiri seakan ada sesuatu yang tengah menjalar dan menyengat raganya. Terhias segaris senyum manis ketika sosok itu terbayang akan seorang wanita lugu yang begitu menjengkelkan yang ia temui dengan ketidak sengajaan dalam perjalanan.
"Benarkah jika aku jatuh cinta pada gadis itu?" tanya pria itu pada dirinya diiringi dengan senyuman manis dan raut wajah memerah yang tersipu malu