Jika kau gigih dalam berusaha, maka segala yang kau inginkan akan terwujud.
Di sebuah lorong sekolah terlihat beberapa siswa siswi mulai ramai berdesakan demi melihat sebuah pengumuman di papan informasi. Tak seperti biasanya ramai seperti ini. Nampaknya ada suatu hal penting yang baru saja tertempel di sana.
"Apa yang mereka lakukan?" tanyaku pada kedua sahabatku dengan ekspresi wajah datar penuh tanda tanya. Mereka hanya mengangkat bahunya menandakan tak tahu menahu mengenai apa yang mereka lakukan di depan papan pengumuman.
"Mungkinkah jika itu informasi mengenai ujian?" duga Fen yang membuat mataku dan matanya saling menatap. Aku dan kedua sahabatku mulai bergegas melihat papan informasi itu.
"Tolong, beri kami jalan." ucap Shu In yang mulai menerobos sekerumunan siswa yang memenuhi papan pengumuman.
Mata kami mulai terbelalak kaget, melihat informasi yang terpampang di sana. Ujian sekolah akan diadakan dua minggu lagi. Ini adalah penentuanku untuk bisa pindah kelas ke kelas A. Poin yang kubutuhkan adalah 700. Sementara, poin yang kumiliki hanyalah 100, mengapa jarak poinku jauh sekali, mendapatkan skor 600 hanya dalam dua minggu, nampaknya agak mustahil. Aku mulai meragukan diriku.
Di sebuah ruang kelas yang mulai dipenuhi beberapa siswa, berhiaskan dua kipas angin yang memutar ke kanan dan ke kiri mendinginkan seisi ruangan. Nampaknya, sekencang apapun angin yang berhembus tak membuat semua siswa dalam ruangan ini bersemangat. Beberapa diantaranya menaruh kepalanya di atas meja, seakan berat membawa seluruh isi kepala.
"Kalian akan menghadapi ujian kenaikan kelas dalam dua minggu lagi. Tapi, kelihatannya kalian sangat malas untuk belajar? Apa kalian tidak mau meninggalkan kelas F ini?" ucap salah seorang guru wanita berkaca mata, Madam Yuri dengan lantangnya.
"Tidak."
Terlihat Madam Yuri mulai menepuk dahinya, seakan tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.
"Apa belajar itu melelahkan?" tanya Madam Yuri sekali lagi sembari melipat tangan di dadanya sembari matanya terus menatap sekitar kelas.
"Ya." jawab lesu semua murid dengan serentak.
Madam Yuri menghela napas beratnya untuk kesekian kalinya, "Tolong belajarlah dengan serius, sebentar lagi kalian akan menjadi siswa senior di sekolah ini. Setidaknya kalian berpikirlah untuk masa depan kalian, kejar mimpi yang kalian inginkan, itu akan menjadikan diri kalian lebih baik."
Seluruh penghuni kelas mulai mengangguk mengiyakan, seakan tak ada lagi kata yang bisa diucapkan ketika mendengar kata ujian. Nampaknya, hanya kelasku saja yang membenci ujian, apakah kalian juga begitu?
"600 poin dalam dua minggu, kedengarannya mustahil bagiku." keluhku yang mulai menyangga kepalaku. Terdengar Fen juga ikut menghela napas panjangnya, seakan mimpi yang diimpikan akan gagal total untuk kesekian kalinya. Naik ke kelas A nampaknya agak sulit dan hanya menjadi ekspetasi belaka.
"Mengapa hari membosankan seperti ini tak berakhir saja, aku sudah tak bersemangat karena mendengar kata ujian." keluh Shu In yang mulai memutar-mutarkan pensilnya. Aku dan Fen mulai mengangguk bersama.
Lima belas menit berselang. Suara bell pulang mulai terdengar nyaring di telinga. Sorak-sorak gembira juga ikut memeriahkan suasana berakhirnya jam pelajaran.
"Aku akan pulang dan mengistirahatkan otakku. Terima kasih untuk hari ini." ucap Fen dengan nada lesu sembari menyentuh dahinya yang nampaknya mulai terasa hangat sembari berpamit untuk pulang lebih awal.
Aku dan Shu In mulai tersenyum dan mengangguk bersama
"Hati-hati di jalan!" teriakku.
"Aku juga akan pulang, kau hati-hati di jalan ya, Lin." ucap Shu In sembari melambaikan tangannya ke arahku.
Aku masih merenung di dalam kelas, sembari melihat langit senja yang indah dari balik jendela kelas.
"Haruskah aku menginap sampai malam di sini dan belajar?" tanyaku pada diri sendiri sembari terus memandangi langit yang mulai berubah menjadi jingga.
"600 poin nampaknya mustahil, kurasa cara ketiga untuk menarik perhatiannya dengan menjadi wanita pintar gagal kulakukan. Ini tak semudah membalikan telapak tangan." ucapku yang mulai membuka sebuah buku bersampul merah dengan gambar mawar.
Chapter Tiga, tulisan besar menghiasi satu halaman itu mulai kuusap dengan halus. Cara ketiga ini kurasa aku gagal melakukannya, menjadi sosok gadis berwawasan luas dan pandai nampaknya bukanlah passion-ku.
Namun, mataku kembali tertuju pada sebuah catatan kecil di bawah chapter.
"Jangan pernah putus asa, jika kau sudah memiliki tekad untuk melakukannya, kau pasti bisa untuk menggapainya. Hari ini kau sudah berusaha dengan keras, hari esok kau harus bekerja lebih keras dan tak boleh patah semangat." bacaku pada sebuah note kecil yang tertulis di salah satu halaman buku yang diklaim keramat cinta itu. Kurasa buku ini tahu mengenai isi hati seseorang.
Tiba-tiba tiada angin tiada hujan aku mulai merasakan ada suatu getaran yang merasuk dalam jiwaku, memenuhi stok semangat dalam tubuhku. Benar, aku tak boleh menyerah begitu saja. Jika aku berhenti di sini, maka semuanya akan berakhir dan aku akan kehilangan sosok cinta sejatiku.
Kuteguhkan hatiku agar tidak rapuh sembari terus membuka halaman satu per satu yang ada dalam buku mawar itu.
"Mulailah dari hal kecil seperti mencintai dan menjadi diri sendiri, memenuhi pikiran dengan hal-hal yang positif. Ini akan memberikan dampak baik bagi dirimu. Berbekal pintar intelektual saja tidak cukup, tapi jadilah sosok wanita yang pandai dalam mengontrol emosi serta berbudi pekerti yang luhur. Karena ini merupakan salah satu hal terpenting untuk dilakukan jika ingin menarik perhatiannya." Bacaku sesekali. Aku kembali mengangguk paham. Sepertinya aku tahu apa yang harus aku lakukan esok.
Jam di lengan sudah menunjuk pukul 5 sore, hampir satu jam lamanya aku berdiam diri di dalam kelas. Langit jingga kini berubah menjadi sedikit gelap menghitam. Kulihat seluruh kelas mulai sepi tak ada siapapun yang tersisa hanyalah diriku seorang. Suasana sepi dan agak mencekam mulai menghinggapi sore ini.
Kuputuskan untuk pulang sebelum malam tiba. Kukembali melangkahkan kakiku menuruni tangga menuju lantai satu. Namun, seketika langkah kakiku kembali terhenti.
"Lama sekali. Apa yang kau lakukan di atas sana?" tanya seseorang yang tengah asyik duduk menyendiri di salah satu anak tangga hingga membuatku terkejut tak karuan. Mataku terbelalak seakan ingin ikut melompat keluar melihat sosok pria dengan jaket hitam dan bertopi duduk membelakangiku.
Aku mulai menelan ludahku karena gerogi. Mataku mulai menyidik lingkungan sekitar, nampaknya sosok pria berjaket hitam penuh misteri ini tengah berbicara padaku. Karena tak ada seorangpun yang tersisa di sekolah selain diriku.
"M-maaf, kamu siapa ya?" tanyaku pada sosok itu. Pikiranku mulai kacau, apa benar dia seorang siswa atau hanya sesosok hantu yang bergentayangan. Atau jangan-jangan dia pria jahat yang mencoba masuk ke dalam sekolah. Mataku semakin terbelalak melihat sosok itu berdiri di hadapanku.
"S-siapa kamu?" tanyaku yang mulai berjalan mundur menaiki anak tangga itu. Tetapi tetap pria itu tak mau menjawabnya. Kulihat tubuhnya yang tinggi dengan perawakan yang pas layaknya seorang laki-laki perkasa.
Siapakah sosok ini sebenarnya?