Chereads / Nyonya Muda Kesayangan Allan / Chapter 4 - Rindu Untuk Allan

Chapter 4 - Rindu Untuk Allan

"Sayang, apa yang sedang kamu pikirkan? Kamu sudah menangisi Allandra semalam. Biarkan saja dia menemukan jati dirinya, kalau di luar sana dia kenapa-napa, pasti dia akan kembali. Anak kita sudah dewasa, Sila." Andra menggenggam erat tangan istrinya yang tengah duduk di beranda rumah dan menatap ke arah jalan lorong menuju panti. Wanita itu berharap anaknya kembali.

"Bagiku, dia tetap bayi mungil yang manis. Aku masih ingin terus menyayangi dia, Mas. Semua ibu pasti sepertiku. Apalagi anak kita hanya Allana dan Allandra." Sila berkaca-kaca. Dia memikirkan keberadaan anaknya yang entah di mana. Wanita itu merindukan sikap manja Allandra yang selalu memeluknya saat pulang dari mana saja.

"Bunda, ini tehnya. Bunda, kalau bunda kangen sama Kak Allan, Lana akan bantu bunda, Lana akan pergi cari Kak Allan." setelah meletakkan secangkir teh ke atas meja, Allana berlutut di depan ibunya, dia berniat menghibur Sila yang tengah sedih.

"Jangan. Cukup Allan yang keluar dari rumah. Bunda tidak mau Lana juga pergi, bagaimana kalau Lana juga tidak kembali seperti Allan, bagaimana nasib bunda, hiks..., hiks...," Sila tidak bisa menahan kesedihannya karena kepergian Allandra, Andra menghela napas, melihat air mata yang berlinang dari mata istrinya.

"Maafkan mas, semua ini terjadi karena salahku." Andra memasukkan kedua tangannya pada saku celana bahan yang di kenakannya. Lelaki itu menatap jauh, di dalam hatinya, dia juga merasakan kepedihan yang sama dengan yang di rasakan oleh istrinya.

"Tidak apa, maksud Mas baik. Mas ingin Allan mandiri dan tidak tergantung pada kita. Dia berubah tidak malas-malasan seperti selama ini dia lakukan. Mungkin aku hanya belum terbiasa jauh darinya." Allana mengambil tissu dan menyeka air mata ibunya. Dia bertekad akan berusaha menghubungi Allandra lagi setelah ini.

Sementara itu, di kontrakan Bima.

"Allan! Bangun!" Bima mengguncang tubuh Allandra yang tergolek di ranjang.

Semalam, Allandra pulang di antar oleh Sabilla dan sopirnya dalam keadaan mabuk parah hingga muntah-muntah. Pria itu tidak berubah, lemah terhadap alkohol.

"Allan! Bangun woy!" Bima sedikit kesal karena sahabatnya itu tidak juga membuka mata.

"Hmmh..., apaan sih Bim? Berisik banget, bundaku aja nggak seberisik kamu." protes Allandra masih memejamkan matanya. Perlahan puzzle ingatan tentang Sabilla membayang di pikirannya, bagaimana dia bertemu, berbicara, mengetahui keinginan wanita itu dan berakhir dengan minum bersama. Setelah itu, Allandra tidak ingat apa-apa lagi. Seketika, pria itu bangkit dari tidurnya dengan mata melebar.

"Semalam aku pulang sama siapa?" tanyanya seperti orang linglung.

"Nyonya Sabilla yang nganter kamu pulang. Kenapa?" Bima memangdang Allandra dengan tatapan mengintrogasi.

"Pakaianku lengkap kan? Mak..., sudku nggak ada yang aneh?" tanyanya sedikit panik.

"Kamu kenapa sih Bro? Emangnya kalian abis ngapain? Jangan-jangan kalian ngamar?" tanyanya penuh selidik. Spontan Allandra menjitak kepala Bima cukup keras.

"Otak kamu kotor! Mana ada aku ngamar sama dia. Gila kamu!"Allandra mendengus kesal.

"Hei, lalu kenapa kamu panik, dasar sableng! Kamu pulang baik-baik aja, yang buka baju kamu itu aku, karena kamu muntah banyak banget, mana bau banget lagi, astaga. Beruntung kamu nggak aku buang ke parit depan." omel Bima, Allandra justru ngakak mendengar penuturan dari sahabatnya.

"Tengkiu Bro! Kamu memang sahabat teruwwu. Meskipun sedikit jahil."

Nada dering ponsel Allandra berbunyi. Pria itu mengambil ponselnya yang di letakkan Bima di dekat bantal tempatnya tidur. Nama Allana terpampang di sana. Tanpa pikir panjang, Allandra segera menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.

"Ada apa adikku yang manis?" Allandra tahu, mungkin Allana menghubunginya atas permintaan ibunya.

"Kak, Kak Allan di mana, sih? Pulang Kak, kasihan Bunda, dia nangisin kakak terus." kalimat yang di ucapkan adiknya membuat Allandra teringat sosok anggun ibunya. Wanita yang selalu di peluknya setiap dia pulang dari manapun. Wanita itu juga, yang selalu membelanya ketika ayahnya marah karena kelakuannya yang menurut Andra salah. Mendadak Allandra rindu rumah, rindu kebersamaan dan ingin segera pulang. Tapi sejurus kemudian, dia berpikir untuk tidak pulang dalam waktu dekat.

"Bilang sama Bunda, kakak pasti pulang, tapi nanti, kalau kakak sudah sukses. Nanti siang, kakak mau transfer uang buat kamu, Bunda dan juga Ayah. Kemarin kakak menang lomba." Allandra benci mengakui ini, tapi matanya yang berkaca-kaca sudah mengabarkan pada semesta, kalau dia sangat merindukan keluarganya.

"Kak Allan, Bunda butuh kakak, bukan hanya uang kakak. Tolong pulang, Kak." permintaan Allana membuat prinsip Allandra sedikit goyah, tapi dia berusaha untuk tetap bertahan, dia telah memutuskan untuk tidak pulang sebelum dia bisa mengembalikan posisi keluarganya pada kedudukan semula.

"Maaf, aku tidak bisa Allana. Aku tidak bisa pulang sekarang. Salam buat Bunda dan Ayah. Aku merindukan kalian semua." Allandra memutus sambungan telepon yang menghubungkannya dengan sang adik. Pria itu meraup wajahnya sendiri. Dia sedikit kesal harus terpojok dalam posisi sekarang.

"Kalau menurutku, sebaiknya kamu pulang dulu, Allan. Kasihan bundamu, dia pasti kangen kamu. Bundamu baik, aku jadi ikut kangen." Bima sok-sok memeluk Allandra, sontak pria itu menepis sahabatnya saat ia sadar.

"Bima! Aku masih normal tahu nggak sih, jangan peluk sembarangan. Kalau ada yang melihat terus menyangka kita belok, bagaimana?" Allandra melotot ke arah Bima, sementara lelaki itu terkekeh karena kejahilannya sendiri.

"Sori, aku cuma bercanda. Lagipula, aku masih doyan cewek, kok. Meskipun aku sudah lama jomblo, tidak terlintas di pikiranku untuk berpindah haluan." Bima beranjak dari sisi Allandra lalu melangkah ke arah kamar mandi.

"Mau kemana pagi-pagi?" tanya Allandra, ikut-ikutan bangun dari tempat tidurnya.

"Ada panggilan interview. Eh, itu kartu nama Nyonya Sabilla aku taruh di atas meja. Siapa tahu kamu butuhin." Bima menoleh dan mengarahkan pandangan matanya ke kartu nama yang di letakkannya di atas meja. Allandra menghampiri kartu nama Sabilla lalu mengambilnya perlahan.

Bima menghilang di balik pintu kamar mandi, sementara Allandra termenung memandangi kartu nama tersebut. Masih terngiang dalam ingatannya, bagaimana perempuan cantik itu memintanya menjadi suami. Itu cukup konyol menurut Allan, tapi mungkin ada beberapa faktor yang menyebabkan Nyonya Kaya itu membutuhkan lelaki cadangan, mungkin, salah satunya urusan ranjang, mengingat suaminya yang telah tua. Allandra tersenyum karena pemikirannya sendiri.

Sebenarnya tidak ada ruginya menikahi Sabilla, dia wanita cerdas, cantik dan juga kaya. Hanya saja usianya mungkin beberapa tahun lebih tua darinya dan telah bersuami. Allana mulai berpikir, mungkin dengan menikahi wanita itu, dia bisa membantu ayahnya kembali bangkit dari keterpurukan.

Allandra mengambil ponselnya dan mengetik nomor ponsel Sabilla. Hari ini, Allandra ingin mengajukan penawaran pada wanita kaya itu. Dia juga ingin mencari keuntungan jika memang harus menjadi simpanan Sabilla.