Sepulang dari rumah orang tuanya, Zulfa kini memarkirkan mobil di salah satu toko coklat yang sangat digemari banyak orang. Lihat saja, bahkan pembelinya tergolong dari usia anak-anak sampai orang dewasa. Ini semua karena Dea yang merengek minta dibawakan buah tangan dari kepulangannya.
Sakit tidak, sedang mengalami hari yang spesial juga tidak, dasar Dea manusia yang paling merepotkan!
Ia melangkahkan kaki, masuk ke dalam toko dengan diiringi dentingan lonceng yang memang sengaja di pasang diatas pintu masuk toko supaya karyawan tahu ada pelanggan baru atau pelanggan keluar dari toko mereka.
Bau khas coklat memenuhi indra penciuman Zulfa, wangi khas yang mampu menenangkan sebagian orang yang sedang bersedih hati. Percayalah, coklat adalah mood booster terbaik yang ada di dunia ini.
"Jeje, jangan lari-larian. Nanti kamu jatuh, ada banyak pelanggan loh di sini nanti kamu nabrak."
Zulfa melihat seorang anak kecil yang memakai dress bewarna biru muda dengan kalung bulan bewarna putih sebagai aksesorisnya. Ia kenal dengan anak kecil itu. Dia adalah Jeje, anak kecil yang sempat mengotori gamisnya secara tidak sengaja tempo hari lalu.
"Loh tante? kita akhirnya ketemu lagi di sini!" pekik Jeje heboh begitu melihat dirinya yang justru mematung tidak percaya. Apa dunia sesempit ini?
Zulfa mengerjapkan matanya begitu Jeje yang mulai menarik-narik ujung gamisnya dengan tangan kiri, dan tangan kanannya sudah sibuk memegang lolipop warna-warni, menggemaskan. "Hai kamu, ketemu lagi ya kita." sapanya dengan sangat ramah, sambil berjongkok untuk menyamakan tinggi badan Jeje dengannya.
"Ih tante jangan panggil aku dengan sebutan kamu, nama aku Jesika Pamela Dante." jelas nya sambil mengerucutkan bibir merasa tidak puas dengan apa yang diucapkan oleh Zulfa padanya.
Zulfa terkekeh, lalu mencubit pelan hidung mancung milik Jeje. Pahatan wajah yang sempurna untuk ukuran anak kecil yang mungkin baru saja memasuki Sekolah Dasar.
"Baiklah aku akan memanggil dirimu Jeje, seperti apa yang kamu pinta sayang..."
Jeje menatap dirinya dengan penuh antusias. Ia adalah anak dari perpaduan Indonesia - Inggris. Lahir di Indonesia dan besar dengan bahasa Indonesia yang sangat baku. "Apa aku juga bisa memakai apa yang ada di kepala tante?" tanyanya dengan lugu sambil mengelus perlahan jilbab panjang yang di kenakan oleh Zulfa, tatapannya begitu kagum seolah-olah suatu saat nanti bisa memakai itu juga.
"Tentu saj--"
"Sudah berapa kali Daddy bilang, jangan suka sekali menghilang seperti ini. Nanti kalau kamu di culik orang lain, bagaimana?"
Untuk kedua kalinya, Zulfa melihat laki-laki dengan tampang yang begitu dingin dan terlihat acuh dengan lingkungan yang ada di sekitar.
"Daddy-nya saja yang lemah tidak bisa mengejar aku. Kalau aku hilang, nanti cari saja di kantor polisi dan bertanya dengan pak polisi di sana." ucap Jeje sambil menjulurkan lidahnya, ia benar-benar kesal dengan Daddy-nya yang sangat suka bermain ponsel. Ah, lebih tepatnya Daddy-nya itu sangat menyukai bekerja, dan semua dokumen pentingnya berada di dalam ponsel.
Zulfa mengelus puncak kepala Jeje. "Jika berbicara pada Daddy mu itu harus lembut, jangan meledek seperti itu. Usahakan berprilaku sopan walaupun kamu merasa kesal, atau semacamnya." ucapnya dengan nada suara yang lemah lembut, sangat pantas jika memberikan julukan untuknya sebagai bidadari surga.
Jeje menatap kedua manik mata Zulfa, membuat Zulfa sedikit gugup. Apa dirinya salah bicara?
"Baik, tante. Jeje minta maaf, habisnya Daddy sangat menyebalkan jadi Jeje kelewatan."
"Minta maafnya jangan sama aku, minta maaflah pada Daddy mu."
Jeje beralih menatap daddy-nya, lalu tanpa perlu berbasa-basi lagi ia menghamburkan tubuhnya pada pelukan laki-laki itu. "Maafin Jeje ya Daddy," ucapnya sambil menunjuk senyuman yang cantik.
Dalam diam, laki-laki itu tersenyum hangat. Sulit sekali untuk mendidik perilaku Jeje yang terkadang sedikit menguras emosi dan tenaganya, apalagi tingkah anak-anak yang suka bermain dan berlari-larian hampir membuatnya kewalahan.
Zulfa kembali berdiri, kembali pada pijakan kakinya dengan tubuh tegak. "Sepertinya aku harus meninggalkan kalian, maaf aku ingin memilih coklat dulu. Sampai jumpa kembali, Jeje." ucapnya sambil tersenyum manis dan berbalik badan. Ia senang bisa bertemu seorang anak kecil yang mengagumi hijab.
"Tante!"
Langkah kaki Zulfa kembali terhenti, lalu ia berbalik badan untuk kembali melihat Jeje. "Kenapa?" tanyanya dengan senyum yang masih melekat manis.
Terlihat laki-laki yang menggendong Jeje berjalan mendekat ke arah dirinya. "Untuk yang kedua kalinya, kamu bisa mengendalikan Jeje, saya ingin membayar semua coklat yang kamu beli sebagai gantinya." ucapnya dengan nada bicara datar.
"Eh?" beo Zulfa yang merasa kebingungan. Ia merasa tidak melakukan hal apapun yang istimewa.
Laki-laki itu tersenyum, lalu membisiki sesuatu ke Jeje yang membuat gadis kecil itu langsung meminta turun dari gendongannya dan pergi menghilang masuk ke dalam ruangan yang sepertinya hanya karyawan saja yang bisa masuk ke dalam sana.
"Eumh mari ikuti langkah kaki saya, jangan melamun di tengah jalan seperti itu."
Zulfa masih dengan rasa bingung akhirnya tetap mengikuti arah laki-laki itu, tak lupa hembusan napas pasrah keluar dari hidungnya.
"Disini saya punya berbagai macam jenis coklat dan juga rasanya beranekaragam, sepertinya kamu boleh memilih beberapa rasa dari rekomendasi yang akan saya berikan."
Zulfa melihat laki-laki itu yang mulai mengambil 10 box kotak coklat, tanpa terkecuali dan tanpa melihat-lihat label harganya.
"Ambil ini, coklat ini yang paling best seller. Coklat import, jadi kamu jangan khawatir tentang kualitasnya."
"Tidak perlu, Tuan. Aku bisa membayarnya sendiri, lagipula aku hanya menasihati Jeje dengan kalimat sederhana. Aku sangat ikhlas bisa menuntun gadis kecil mu supaya menjadi lebih baik," tolak Zulfa dengan halus. Ia benar-benar tidak ingin merepotkan orang lain tentang hal ini.
"Oh ya, nama saya Kevin Geolard Dante. Panggil saja Kevin atau Dante, terserah kamu." ucap Kevin tanpa mempedulikan ucapan penolakan yang Zulfa lontarkan kepadanya, ia memberikan tangan untuk berjabat tangan.
Zulfa menarik senyuman simpul, menghargai setiap perkataan yang diucapkan oleh Kevin walaupun laki-laki itu tidak melakukan hal yang serupa pada dirinya. "Aku Zulfa Naraya." ucapnya, ia bergeming menatap tangan Kevin yang melayang di udara tanpa berniat untuk membalas. Bukan bermaksud tidak sopan, ia hanya ingin menjaga batasan dengan laki-laki selain Farel.
Terlihat Kevin menganggukkan kepala, mengerti dengan apa yang menjadi pedoman wanita itu dan langsung menyambar paper bag yang berada di dalam salah satu laci. "Terima lah, saya tidak menerima penolakan." ucapnya sambil memberikan paper bag tersebut yang sudah berisikan box coklat. "Saya permisi." sambungnya setelah wanita yang berada di hadapannya meraih apa yang telah ia berikan.
Tubuh Zulfa mematung dengan kedua tangan yang sudah menggenggam masing-masing satu paper bag yang lumayan besar. Apa ia harus menerima ini semua? Untuk apa Kevin memberikannya coklat? Dan kenapa gratis? Kenapa laki-laki itu langsung pergi dan bukannya membayar?
"Oh ya saya pemilik toko coklat ini kalau kamu bertanya-tanya kenapa saya tidak membayar semua coklat mu dan ini kartu nama saya."
Zulfa terlonjak kaget kerena tiba-tiba suara bariton itu kembali terdengar dan langsung membalik badannya, melihat Kevin yang kini sudah tersenyum tipis sambil menjulurkan sebuah kartu kecil bewarna hitam, sangat elegan.
Melihat Zulfa yang tidak kunjung meraih kartu namanya, Kevin segera saja menaruhnya di dalam salah satu paper bag, lalu beranjak meninggalkan Zulfa tanpa sepatah kata pun tanpa menunggu jawaban dari wanita tersebut.
"Dia... seperti hantu." gumam Zulfa sambil menatap kepergian Kevin yang masuk ke dalam sebuah ruangan.
Mau tidak mau, ia harus menerima coklat ini. Lagipula, rezeki tidak boleh di tolak, bukan? Pasti Dea akan sangat senang sekali dengan pemberiannya kali ini. Ya sebagian untuk dirinya juga sih.
Lebih baik ia bergegas menuju rumah Dea supaya coklatnya tidak meleleh, karena pasti lama lagi kalau menunggu coklat beku di freezer.
Untuk sesaat, sosok Farel bisa terlupakan dalam pikirannya. Biarlah seperti ini terlebih dahulu, ia takut dirinya lelah dan berakhir menyerah.
Sudah ia bilang dari awal, jika dalam kamus hidupnya hanya akan ada satu kali pernikahan. Dan ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin.
Apapun yang terjadi, ia harus mempertahankan kewajibannya, jangan sampai hancur berantakan.
Namun, apa yang di katakan dalam hati itu pun seakan-akan hanya menjadi penghalang untuk tetap memegang teguh pendirian. Tanpa sadar, sebuah senyuman manis tercetak jelas di permukaan wajahnya. Zulfa mulai melangkahkan kakinya kembali keluar dari toko coklat ini, ia terus menerus menguatkan hatinya supaya tidak merasa tersentuh dengan apa yang di berikan Kevin.
...
Next chapter