Banyak orang yang bilang hidup itu tidak perlu dipikirkan, jalani saja dengan lapang dada dan lewati segala rintangannya dengan rasa kesabaran yang melimpah. Namun sekarang, sepertinya pernyataan ini salah.
Hidup Zulfa terlalu banyak cobaan yang terus menerus menghujam pikiran dan juga hatinya. Sebuah ketenangan satu-satunya yang ia miliki hanya beribadah kepada Tuhan.
Zulfa menghela napas lelah sambil menyesap sedikit teh manis hangat yang dibuatkan Bi Ijah untuk dirinya. Kali ini ia tengah berada di balkon, duduk di salah satu kursi kayu yang memang sengaja di sediakan disana. Bahkan malam ini terasa sangat kelabu mengingat Farel yang belum juga pulang dari kejadian tadi. Entahlah, apa ia harus mengalah? Mengalah bukan berarti kalah, kan?
Namun untuk kasih sayang Farel yang terbelah dua, ia tidak siap. Hei?! Tapi bukannya memang ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang Farel?
Mengecewakan.
Apa yang ia harus lakukan? Ini menjadi hal yang terus saja berputar di pikirannya. Untuk poligami, harus mempunyai alasan yang jelas.
Apa ia harus berbohong?
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Masuk ke dalam kategori apa dirinya untuk memenuhi syarat kalau suami boleh berpoligami seperti penjelasan tersebut?
Zulfa memijat pelipisnya yang berdenyut, ia memejamkan matanya merasakan pening yang luar biasa. Air matanya bahkan tidak mampu untuk mendeskripsikan bagaimana hancurnya ia saat ini. Ia hanya ingin kehidupan yang normal dengan seorang suami yang sangat penyayang. Itu saja, apa tidak diperbolehkan?
"Maaf saya baru pulang, aku tadi istirahat dulu di rumah Rani jadi pulang telat."
Zulfa tersenyum kecut tanpa melihat kearah seorang laki-laki yang kini sudah memakai baju casual, ah mungkin dia telah berganti pakaian di rumah gadis yang paling dicintainya.
Sesak sekali rasanya.
Ia menghela napas lelah, lalu kembali menyesap minuman hangatnya. Udara malam ini tidak cukup membuat dirinya goyah, ia masih bertahan di peluk oleh hawa dingin.
"Kamu kenapa, Fa? Tumben sekali tidak menghujam saya dengan berbagai macam pertanyaan? biasanya sifat posesif mu keluar kalau aku pulang telat,"
Zulfa berdecih. Masih bertanya kenapa? Sepertinya kepala Farel habis dihantam oleh batu yang sangat besar.
"Mas amnesia? Atau berpura-pura seakan hal ini bukan masalah besar?" tanya Zulfa sambil menoleh ke arah Farel dengan tatapan yang sangat datar. Sudah hilang rasa simpatinya untuk laki-laki itu.
Jika dirinya tidak dihargai, ia tidak perlu memohon lebih jauh untuk meminta haknya sebagai seorang istri. Karena setahu dirinya, cinta yang suci tidak pantas untuk dimiliki seseorang yang bahkan menolak keras kehadirannya.
Farel duduk tepat di samping tubuh Zulfa. Ia menyandarkan tubuhnya sambil melihat ke arah langit malam. "Saya hanya tidak ingin menyakiti hati kamu, maaf kalau tadi saya kelewatan makanya saya memilih untuk tidak pulang lebih dulu dan menetap bersama dengan Rani." ucapnya memberikan penjelasan yang kelewat jujur.
"Apa dengan berpoligami kamu pikir tidak akan menyakiti hati aku, Mas?" Zulfa kembali melontarkan pertanyaan dengan nada seraknya, kini tenggorokannya pun terasa tercekat. Rasa sesak sudah mulai menguasai kembali rongga hatinya.
Apa ia masih pantas untuk mempertahankan pernikahan ini?
Terlihat Farel yang masih merasa tenang, seakan-akan ya tadi, hal ini bukan masalah yang besar. Memang laki-laki yang bebal.
"Saya hanya, ingin-- saya tidak tau harus bagaimana lagi, Fa. Saya sangat mencintai Rani dan di satu posisi saya harus menjaga kamu sebagai seorang istri."
"Menjaga kamu bilang? Kemarin aku meminta kamu untuk menemani aku berbelanja, kamu menolak. Aku memohon sama kamu untuk berkunjung ke rumah orang tua aku, kamu lebih memilih Rani. Apa rasa cinta dan tanggung jawab itu berbeda ya, Mas? Apa lebih penting cinta daripada tanggung jawab yang kamu pikul setelah menikah dengan aku?"
Farel bungkam, bahkan ia tidak tahu harus menjawab apa. Menampar seorang wanita adalah hal yang baru ia lakukan, dan ya ia merasa sangat bersalah akan hal itu.
"Apa aku harus menyerah, Mas?" lanjut Zulfa dengan nada yang semakin tercekat. Ia tidak ingin melakukan ini, namun bagaimana lagi? Bahkan dirinya sudah tidak memiliki tempat di hati Farel. Mengenaskan. Lalu selama ini yang dia dapatkan hanya kesia-siaan? Kenyataan memang tidak seindah realitanya. Ia pikir, ceritanya akan semulus di dalam novel. Menikah dengan terpaksa, suaminya akan mencintai dirinya sejalannya waktu, dan mendapatkan ending yang bahagia.
Farel membelalakkan matanya. "Tidak, kamu harus tetap menjadi istri saya. Kamu tidak boleh pergi ataupun meminta perceraian."
"Kalau begitu, perlakukan aku layaknya istri, Mas. kamu bisa menetap tapi kamu tidak bisa memilih, kalau begitu pasti nanti suatu saat nanti kamu bisa saja kehilangan keduanya."
"Mudah, untuk mencegah kehilangan tersebut berarti saya harus mempertahankan keduanya. Dan berpoligami memang adalah hal yang paling tepat, iya kan?"
"Gila kamu, Mas."
Zulfa tidak habis pikir dengan jalan kerja otak Farel yang menurutnya sangat aneh. Memilih memang hal yang sulit, namun itu tidak menutup kemungkinan untuk menunda pilihan bahkan sampai berani memilih dua pilihan yang jelas-jelas tidak akan bisa satu frekuensi.
"Saya hanya ingin yang terbaik, Fa. Saya menginginkan Rani, dan kamu menginginkan saya. Seimbang, iya kan?"
"Egois kamu Mas, seharusnya menjadi pilihan tapi kamu malah merampas semuanya dan di jadikan satu seperti itu."
"Terkadang kita perlu egois supaya tidak kehilangan apa yang sudah kita genggam. Karena untuk mencapainya, tidak semudah itu, Fa."
"Apa yang kamu capai dari aku, Mas? Selama ini aku hanya mendapat penolakan dari kamu. Selalu saja Rani yang di utamakan, tapi aku dibuang begitu saja. Seperti sesuatu yang sudah tidak layak untuk pakai."
Farel menatap Zulfa dengan sorot mata teduhnya, entah kenapa tiba-tiba perasaannya melembut mungkin karena rasa bersalahnya. "Siapa bilang aku tidak meraih apapun dari kamu? Aku mempertahankan kamu supaya marga Brahmana ku dan seluruh fasilitasnya tidak akan pernah tercabut." ucapnya, lagi-lagi kelewat jujur dan membawa-bawa fakta yang memang dari awal di jadikan pedoman olehnya.
Deg, sakit sekali rasanya.
Dipertahankan hanya untuk harta kekayaan? Setelah ini, apalagi yang akan menimpa batin Zulfa?
"Tega kamu, Mas. Kamu pikir aku wanita yang tidak memiliki hati, ya? kamu pikir aku tidak tersiksa kalau kamu terus-menerus seperti ini? Aku bingung Mas sama kamu,"
Zulfa mulai menitikkan air matanya, mengeluarkan segala rasa sakit yang nyatanya ia tahan sedari tadi. Untuk semua perasaan yang ia rasakan, hari ini adalah puncak yang paling menyakitkan. Ia benar-benar tidak tau ingin berbuat apa.
"Saya sudah bilang jika saya tidak akan pernah bisa untuk melepaskan Rani, dan seharusnya kamu tau konsekuensinya." ucap Farel sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain, tidak ingin melihat wajah yang menyedihkan istrinya.
Sudah berkali-kali Farel menyakiti Zulfa, bahkan membuat dia menangis, dan hebatnya ini semua tidak membuat wanita itu goyah. Namun untuk hari ini seorang Farel merasakan ketakutan yang luar biasa, ia takut jika wanita itu akan benar-benar pergi dari hidupnya.
Zulfa terisak sesak, namun ia tetap menahannya, jangan sampai dirinya terlalu terbawa suasana. "Jika kamu bisa seenaknya sama aku, aku juga akan melakukan hal yang sama dengan kamu, Mas."
"Lakukan jika bisa, saya tidak pernah melarang mu untuk melakukan apa yang kamu mau. Saya bisa bebas seperti ini, kenapa saya harus melarang kamu?" Jawab Farel dengan sangat tenang.
Memang benar laki-laki ini mungkin saja tidak punya otak sekaligus hati, setuju?
Zulfa menghapus jejak air matanya, lalu menarik napas dalam-dalam. "Baiklah kalau itu mau, Mas. Mas akan menyesal karena telah menantang aku. Dan tolong, aku meminta Mas untuk memilih dalam waktu satu minggu. Mas bisa pilih menikah dengan Rani dan memenuhi semua nafsu cinta yang semata. Atau kamu memilih aku untuk mempertahankan pernikahan ini dan memutuskan hubungan dengan Rani."
Baru saja Farel ingin protes tentang hal ini, Zulfa sudah lebih dulu beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan dirinya sendirian dengan segala perasaan resah yang hinggap di hati.
Salah pilih, Farel bisa masuk ke dalam jurang yang paling dalam. Satu minggu ini, akan ia habiskan untuk berpikir dan mulai memilih siapa yang sebenarnya ia butuhkan di dalam hidupnya.
Rani atau Zulfa?
Cinta atau harta?
Atau bahkan ia bisa mendapatkan harta sekaligus cinta dari Zulfa? Ah tidak, membayangkannya saja sepertinya sangat mustahil.
"Fa, jangan pergi... Rasanya kalau Zulfa tidak ada, pasti sesuatu yang kurang terasa sangat jelas. Namun saya tidak bisa membagi semua rasa saya, ada hati yang lebih pantas untuk di jaga dan mendapatkan kasih sayang lebih dari Zulfa yaitu Rani."
Tapi... Bagaimana jika Zulfa pergi? Bagaimana jika dirinya salah memilih pendamping hidup? Bagaimana jika Rani tidak seperti yang dia harapkan? Bagaimana jika setelah Zulfa melangkah menjauh hidupnya menjadi tidak terarah? Bagaimana.... bagaimana dirinya tanpa Zulfa?
"Mas, makan malam dulu, pasti kamu lapar."
Farel terkejut melihat Zulfa yang sudah berada di hadapannya, dengan tangan kanan memegang piring yang berisi iga bakar saus barbeque dan tangan kiri memegang jus jeruk kesukaan Farel.
"Tadi aku sempat memasak ini untuk kamu, maaf jika sudah tidak hangat. Aku pergi tidur dulu, jangan tidur terlalu larut."
"Kamu gak mau tidur sama saya, Fa? Biasanya kamu merengek supaya saya mengizinkan kamu tertidur bersama, dan sekarang kenapa tidak meminta?"
Mendengar nada bariton itu yang menyapa dirinya, Zulfa kembali membalikkan tubuhnya. "Aku ini wanita, bukan kodrat ku lagi untuk memohon-mohon seperti tempo lalu. Anggap saja yang kemarin hanya angin lewat dan aku tidak pernah memohon apapun untuk kamu,"
"Tapi itu bukan Zulfa yang saya kenal, Fa."
"Memangnya kamu kenal sama aku? Kalau dari awal Mas aja sudah menolak aku, kecil kemungkinan kalau Mas mengenal diriku."
"Bukan gitu, Fa. Kamu... marah ya?"
Pertanyaan yang setiap wanita tunggu-tunggu untuk bisa mengutarakan hati pada pasangan, termasuk Zulfa. Namun untuk kali ini, ia sudah tidak tertarik lagi untuk bercerita apapun. Hatinya bilang untuk saat ini biarlah Farel sadar dengan kesalahannya, untuk selanjutnya mungkin ia bisa berubah seperti biasa lagi kalau laki-laki itu sudah membaik.
"Mas pikir aja deh sendiri, masa bisa mengerti dengan Rani tapi gak bisa mengerti istri sendiri?"
"Y-ya.. yasudah sana pergi, terimakasih untuk makan makanya."
"Ya, jangan lupa di habiskan pasti kamu belum makan atau mungkin sudah makan tapi laper lagi. Aku permisi," Zulfa membalikkan tubuhnya sekaligus berjalan menjauhi Farel yang kini tengah menghembuskan napasnya.
"Iya, kamu terlalu peduli, Fa." gumam Farel, padahal punggung wanita yang seharusnya ia ajak bicara itu sudah lenyap di balik pintu kamar yang kembali tertutup. Bahkan, setelah apa yang dirinya perbuat, Zulfa masih menjadi wanita yang peduli terhadap dirinya.
Sepertinya Farel membuat kesalahan besar.
Sedangkan Zulfa, rasa sesak mulai menyeruak lebar sampai menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia berpegangan pada pembatas lantai dua, lalu matanya terasa panas.
"Kenapa menjalin hubungan dengan orang yang tidak mencintai balik itu sesakit ini? apa iya perjodohan yang tidak di sukai salah satu pihak, pasti pihak yang berusaha menjadi lebih baik akan tersakiti begini?"
Kini, biarlah Zulfa beristirahat dari lelahnya hari-hari yang terasa sangat berat ini.
Farel, dari kasar menjadi lembut. Ah para laki-laki bisa saja mencuri perhatian wanitanya kembali hanya dengan sentuhan sederhana seperti itu, hebatnya kini Zulfa berusaha untuk tetap pada pendirian untuk memberikan suaminya pelajaran hidup.
Kebahagiaan memang sukar di dapat, tapi Zulfa yakin kalau suatu saat nanti kebahagiaan menghampiri dirinya pasti akan terasa sangat membahagiakan.
"Bismillah, Tuhan bersama hamba-Nya yang bersabar..."
...
Next chapter
A/N
Halo, bab panjang nih sampai 1800 kata hihi. Selamat membaca dan jangan bosan untuk selalu menunggu kelanjutannya!❤️