"Kemana saja kamu, Zulfa. Tumben banget jam segini baru pulang, malah nyuruh Bi Ijah pulang sendiri naik taksi."
Zulfa menaruh paper bag yang berisikan tiga gamis pesanan dirinya di butik milik Amira, suara bariton itu bukannya menyambut kepulangannya dengan ramah tapi seolah-olah malah mengintimidasi dirinya. Ia berjalan menuju kulkas, lalu mencari sebotol kecil minuman isotonik yang memang selalu ia sediakan.
"Pergi mengambil pesanan baju. Emangnya kenapa?" balas Zulfa sekedarnya saja, bahkan ia tidak menjelaskan panjang kali lebar mengenai kepergiannya. Ia duduk di kursi makan, lalu mulai meminum minuman penyegar yang tadi di ambilnya dari kulkas.
Terlihat Farel yang berjalan menuju ke arahnya dengan tatapan yang terbilang... curiga? Apa Zulfa tidak salah melihat ekspresi laki-laki itu saat ini?
"Saya tidak percaya, kalau memang ke butik kenapa lama sekali? kalau mengobrol dengan pemiliknya pasti tidak mungkin karna jam buka toko pasti membuat kesibukan." ucap Farel sambil duduk di hadapan Zulfa, ia benar-benar menatap wanita itu dengan lekat.
"Dan aku juga tidak percaya Rani membuang semua masakan aku, kamu memang tidak pernah bisa menghargai perjuangan aku sebagai seorang istri seperti ku."
Miris sekali mengingat bagaimana perjuangan dirinya memasak semua masakan itu, dan ya tiba-tiba saja berakhir di tempat sampah. Dari jam empat pagi ia sudah mempersiapkan segalanya hanya untuk menu sarapan Farel, namun perjuangannya lagi dan lagi hanya di anggap sepele oleh laki-laki itu.
"Itu hanya kecelakaan, Fa. Saya memakan masakan kamu, percayalah. Tadi Rani datang ke sini dan marah kepada saya."
Zulfa menaikkan sebelah alisnya sambil menutup botol minumannya. "Mas, kecelakaan atau bukan, seharusnya mas bisa mencegah. Aku tau pasti Mas lebih membiarkan Rani membuang makananku dari pada menahan gadis itu supaya tidak membuang seluruh masakan yang aku buat hanya untuk Mas, iya kan?"
Bagaimana pun kondisinya, tetap Rani yang selalu menang di mata Farel. Memang seorang Zulfa hanya sekecil debu, tidak di anggap dan tidak terlihat keberadaannya.
Farel meneguk salivanya. Ia benar-benar masih belum bisa meninggalkan rasa sayangnya kepada Rani. Ia bahkan tidak tau ingin memilih siapa dalam hidupnya, rasanya begitu di timpa dilema besar. Seharusnya, laki-laki itu harus memilih dengan tegas namun dirinya terlalu takut dengan konsekuensi pilihan yang ia ambil nanti.
"Jika Mas masih bimbang, jangan seret aku untuk masuk ke dalam rasa sakit yang paling dalam, Mas. Tidakkah cukup selama ini aku berjuang untuk menjadi yang terbaik, tapi semua itu seolah-olah sampah di mata Mas. Aku capek," ucap Zulfa dengan nada yang tercekat, segala perilaku suaminya itu seakan menjadi beban tersendiri bagi dirinya.
"Saya masih memilih Rani, maafkan saya. Tapi saya akan berusaha untuk menghargai kamu secara perlahan..."
"Tidak perlu meminta maaf, lagipula dari awal memang salah aku untuk masuk ke dalam hidup kamu yang sudah sepenuhnya terkendalikan oleh Rani. Jadi, ya ini mungkin memang sudah takdir ku menjalankan pernikahan yang tidak sehat.
"Saya tidak di kendalikan, Fa. Saya menjalankan apa yang saya inginkan, lagipula Rani sayang sama saya."
Zulfa tersenyum manis, ia berusaha menguatkan hatinya supaya tidak terbawa suasana. Memangnya menangis tidak menguras tenaga? walaupun ia tahu kalau nanti akhirnya akan kembali menangis namun setidaknya ia sudah berusaha tegar.
"Mas, tolong dengerin penjelasan aku. Kalau dia sayang sama Mas, seharusnya dia paham apa yang terbaik buat kamu. Dia akan ngelepas kamu karna tau jika aku adalah pasangan yang sudah sah untuk Mas. Dia pasti akan merelakan kamu walau hal itu menyakiti hatinya, bukan sebaliknya."
Zulfa bangkit dari duduknya, lalu mengambil paper bag yang sempat ia letakkan. "Aku permisi Mas, semoga setelah ini kamu bisa berpikir jernih." ucapnya sambil berjalan menuju anak tangga dan menaikinya satu per satu. Ia sudah lelah, setidaknya mungkin rasa kantuk akan membuat ia lupa dengan masalah ini. Ya walaupun hanya sementara, tapi setidaknya membantu untuk mengistirahatkan otaknya.
Terlihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ia segera merapihkan gamis barunya, lalu pergi ke atas kasur untuk memejamkan matanya. Ini adalah hal paling baik yang harus ia lakukan.
Tidur adalah satu-satunya cara terampuh untuk menyembunyikan segala masalah yang menimpa, menghadirkan mimpi yang mungkin lebih indah daripada kenyataan.
Throwback
"Jika suatu saat nanti aku mendapatkan suami yang sangat mencintai ku--"
Ucapan Zulfa terpotong kala Rania yang dengan gerakan cepat langsung membekap mulut putri kecilnya dengan lembut. "Kamu bahkan masih kecil, sayang. Kenapa sudah berpikir sampai kesana? kalau memang nanti laki-laki yang mencintai mu itu tulus, kamu tidak perlu pengharapan apapun."
Zulfa terkekeh, lalu ia memeluk tubuh Rania dari samping, menyandarkan kepalanya pada pundak wanita yang sudah menjaga dirinya jauh sebelum lahir ke dunia ini. "Bahkan Zulfa sudah berumur tujuh belas tahun, Bu. Bukan hal yang aneh lagi membahas soal percintaan. Ya lagipula hanya untuk memantapkan hati saja,"
Rania menggelengkan kepalanya, bagaimana pun Zulfa masih seorang gadis kecil yang lugu dan mudah hanyut dalam manisnya percintaan yang bahkan belum termasuk ke dalam artian sesungguhnya. "Tau apa kamu tentang cinta?" tanyanya dengan nada bicara lembut sambil mengelus puncak kepala sang putri.
Zulfa tampak menumpu wajahnya dengan kedua tangan, seolah-olah memutar otaknya. "Setau aku, cinta itu adalah suatu perasaan dimana kedua lawan jenis menyukai satu sama lain dan mulai memberikan perhatian kecil yang sangat menghangatkan hati, benar kan? oh di tambah lagi-lagi kalimat romantis lainnya, ah aku meleleh, Bu! membayangkan kalau suatu saat ada laki-laki yang seperti itu."
"Cinta tidak seperti itu, sayang. Kamu masih kecil, jadi masih mengambil kesimpulan dasar saja.."
"Lalu?" Kini Zulfa menaikkan sebelah alisnya pertanda dirinya kurang mengerti dengan apa yang di ucapkan ibunya. "Apa aku belum cukup mengerti tentang cinta, Bu?" sambungnya.
"Kamu hanya kurang tepat, namun itu sudah benar walaupun hanya dua puluh lima persen sari seratus persen."
Zulfa melihat Rania yang menepuk pahanya, memberi isyarat supaya putri kecilnya duduk di pangkuannya. Tentu saja ia menurut, dan selalu menurut dengan sang Ibu. "Iya, Bu." ucapnya sambil menganggukkan kepala lalu duduk di pangkuan Rania dengan tubuh yang sudah bersandar pada dada wanita tersayangnya.
Rania menampilkan senyuman terbaik, lalu meneruskan kegiatannya yaitu mengelus-elus puncak kepala Zulfa dengan sayang.
"Cinta itu adalah perasaan yang dapat membuat kamu lebih dewasa untuk menghadapi beberapa masalah, tanpa kamu sadar masalah itu yang menguatkan kamu. Cinta tidak perlu bunga dan kalimat manis seperti apa yang tadi kamu bilang. Cinta hanya perlu ketulusan dan kesetiaan. Jika nanti cintamu tidak memiliki hal itu, lepaskan."
"Bagaimana kalau aku sudah menanamkan di dalam hati untuk memperjuangkan cinta itu, apa tetap harus di lepaskan juga, Bu?"
"Tentu saja, jangan pernah menanamkan pengharapan berlebih pada seorang laki-laki yang tidak memperlakukan kamu dengan baik."
Throwback off
Zulfa memijat keningnya yang terasa pening, saat memejamkan mata semua ucapan sang ibu serta cuplikan masa lalu itu terputar jelas di otaknya. Ia tidak tau ingin berbuat apa, rasanya tidak ada orang yang tau betul bagaimana rasanya menjadi seorang Zulfa.
Drtt..
Drtt..
Ia mengambil ponselnya yang berada di atas nakas, terdengar bergetar tanda ada seseorang yang meneleponnya. Membaca nama kontak yang terlihat jelas di layar ponsel, lalu menempelkan benda pipih tersebut ke daun telinganya.
"Assalamualaikum, Dea. Kenapa menelepon aku?"
"Waalaikumsalam. Kamu dimana, Fa?"
"Di rumah, kenapa?"
"Oke, aku otw ya, jangan kemana-mana. Tunggu aku ya pokonya jangan tidur jangan keluar, pokonya... diam di tempat."
"Eh, ngapain? Kok mendadak gini? emangnya ada hal penting sampai kamu kayak buru-buru begitu?"
"Aku cuma mau ngembaliin coklat kamu yang ketinggalan di rumah aku. Kemarin banyak banget, gak bakal habis aku makan segitu banyaknya."
"Udah ngomongnya? habis dari tadi heboh banget padahal cuma mau nganterin coklat,"
"Tau ah, dasar jawabannya nyebelin banget. Udah ya pokoknya aku mau kesana, bye! Assalamualaikum."
Pip
"Waalaikumsalam." Belum sempat menjawab salam, telpon sudah dimatikan secara sepihak oleh Dea tanpa persetujuan apapun darinya. Ia menatap layar ponsel, panggilan hanya berlangsung sekitar tiga menit saja saking cepat sahabatnya itu berbicara. Ia menaruh kembali ponselnya ke tempat semula.
Zulfa terkekeh, Dea memang suka sekali seperti itu. Datang tidak di undang adalah ciri khas dirinya. Gadis dengan status jomblo yang banyak di dekati laki-laki tapi dengan mudahnya di tolak begitu saja. Katanya sih ia menunggu jodoh yang tepat. Bagaimana mau dapat jodoh jika semua laki-laki ia tolak seperti itu?
Belum sempat dirinya beristirahat, sepertinya sebentar lagi ia akan kedatangan tamu yang sangat bawel. Ia memiliki niat ingin membuatkan pudding untuk Dea nantinya, sahabatnya itu sangat suka sekali nyemil makanan manis.
Zulfa beranjak bangun, lalu melangkahkan kakinya ke pintu kamar dan membukanya dengan perlahan.
"Astagfirullah, Mas Farel!"
Terlihat tepat di depannya wajah Farel yang menunjukkan sorot yang tidak kalah terkejut dengan dirinya, tangannya mengepal di udara seperti siap mengetuk pintu kamar namun gerakannya itu terhenti karena ia sudah lebih dulu membukanya.
"Zulfa?" Beo Farel dengan wajah kikuknya sambil menurunkan kepalan tangannya kembali seperti semula, ia menggaruk tengkuknya karena merasakan suasana awkward.
Zulfa menyatukan kedua alisnya, merasa bingung dengan kedatangan Farel. "Ada apa, mas? Kalau mau masuk kamar, ya masuk saja ngapain juga di depan pintu." ucapnya sambil terkekeh. Ia tidak bisa menahan tawanya saat melihat ekspresi Farel saat ini, benar-benar konyol.
Farel menggelengkan kepalanya, lalu berdehem. "Saya ingin berbicara dengan mu." ucapnya dengan nada yang sedikit pelan, ia gengsi namun tidak ingin terjebak ke dalam jurang yang dalam. Ia kepikiran dengan ucapan Zulfa beberapa menit yang lalu.
Sepertinya pikiran Farel tengah kacau. Antara ingin memilih Rani, atau Zulfa? Apalagi saat tahu kalau sifat Rani sekeras itu, padahal sejauh bersamanya gadisnya tetap tenang dan tidak pernah menunjukkan sifatnya yang berlebihan.
"Aku gak bisa Mas, aku mau buat pudding untuk Dea. Dia ingin main kesini beberapa menit lagi, jadi aku harus segera membuatkannya." Zulfa tersenyum, lalu mengambil pergelangan tangan kanan Farel, mengelusnya dengan lembut. "Maafkan aku karena tadi terlalu keras sama kamu." sambungnya.
Memang pada dasarnya hati Zulfa terlalu lembut, ia tidak tega melihat wajah Farel yang terlihat frustasi.
Farel tersentak, entah kenapa sentuhan Zulfa mampu membuat dirinya tidak bisa berkutik. Ia tidak tau harus berkata apa. "Kenapa kamu masih baik sama saya, Zulfa? harusnya kan kamu marah dengan sifat saya yang seperti ini.."
"Loh? untuk apa aku marah sama kamu, buang-buang waktu." Padahal, hati Zulfa masih sakit. Ya namanya juga wanita teguh pada pendirian, ia tetap akan bersikap baik-baik saja di balik perasaan kecewanya.
"Seharusnya kamu pergi, Fa. Bukan masih menerima saya yang labil seperti ini,"
"Iya, aku merasakan perubahan Mas. Sedikit aneh sih saat kemarin-kemarin Mas benar-benar tidak peduli pada ku, tapi sekarang begini."
"Maafkan saya, jangan berhenti untuk berjuang."
Tunggu, apa yang di katakan Farel? dasar mau enaknya saja! di perjuangkan malah terkadang tidak tahu diri, dan saat Zulfa sudah mulai menunjukkan ketidakpeduliannya ia kembali pada wanita itu seperti ingin mengambil perhatiannya lagi. Memang dasar laki-laki!
Dan Zulfa yang melihat itu hanya tersenyum simpul, ia sebenarnya juga tidak tau mengapa dirinya meraih tangan Farel dan mengelusnya seperti itu. Ia melepasnya, lalu meninggalkan Farel.
"Zulfa!"
Zulfa kembali membalikkan tubuhnya karena Farel memanggil. ia menoleh ke arah laki-laki yang masih setia berada di posisinya, dengan wajah yang entahlah sulit untuk di artikan.
"Saya boleh bantu kamu membuat pudding? ya hitung-hitung mengisi waktu cuti saya,"
...
Next chapter
A/N
Gak tau kenapa mau update lagi, jangan bosen-bosen nunggu ya. Kalau mau ajak Farel baku hantam, sok silahkan...