Chereads / HARGA DIBALIK TIRAI / Chapter 38 - SADARLAH KINAN!

Chapter 38 - SADARLAH KINAN!

Tragedi penyerbuan di GOR oleh fans berat Putra membuat Aisyah benar-benar menjadi sangat geram dengan pemuda yang ia juluki si Sipit itu. Mereka bahkan memberondong Aisyah dengan banyak pertanyaan bahkan sampai menarik-narik dan menjambak rambut sang polwan. Kalau tak sadar diri sebagai pengayom masyarakat, mungkin Aisyah sudah menghajar semua gadis-gadis ekstrim itu.

"PUTRA!!!" teriakan sakit hati menggema di tengah kerubungan penggemar.

Sementara yang menjadi dalang, sudah tak lagi terdeteksi keberadaannya di sana.

***

***

Aisyah merungut memasuki rumah, ia gagal lari pagi. Menyelesaikan barisan budak cinta Putra cukup membuatnya kewalahan. Ia bahkan harus berteriak-teriak untuk menyadarkan mereka, bahwa dirinya tak ada hubungan apa-apa dengan Putra.

"Ai, kok mukanya kayak gini, rambut acak-acakan?"

Arsy mendapati anaknya yang tersandar lemas di depan pintu kamar. Rasa sakit di dalam hati membuatnya begini.

"Bu, ada nyimpan nomor Putra?"

"Loh, kamu nggak punya?"

Aisyah menggeleng.

"Kan udah jalan bareng?"

"Ibu… Berapa kali harus Aisyah bilang, semalam itu bukannya sengaja ketemu."

Arsy lalu mengangguk-angguk cemas, "O oke… oke…"

Tampang polwan itu sedang tak baik-baik saja, jadi lebih baik mempermudah urusannya.

Arsy lalu memberikan nomor Putra, "Eh tapi kenapa kamu gini, Ai?" Ia masih penasaran dengan kondisi anaknya.

Kenapa pulang-pulang olahraga bukannya segar, malah kusut kaya baju belum disetrika.

Aisyah tak menjawab, ia langsung menghubungi Putra dan berteriak masuk ke dalam kamar, saat teleponnya diangkat.

"Di mana loe?"

{Gu… gue di rumah.}

Putra menjawab gugup. Ia tak berani membayangkan kondisi Aisyah. Dari suaranya saja, sudah bisa ditebak, polwan itu sedang tidak baik-baik.

"Loe yang ke sini, atau gue yang ke sana?" Aisyah terdengar sangat geram.

{Nga… ngapain Ai? }

"Ngapain loe bilang?" teriak Aisyah kesal.

Di luar kamar, Arsy, Ajay dan Sekar sedang berdiri di depan pintu. Mendengar Aisyah berteriak-teriak seperti bukan dirinya saja.

"Anak itu bukannya nggak banyak omong, Bu?" tanya Ajay pada istrinya.

"Iya, jarang banget itu Kak Ai ngamuk-ngamuk, biasanya kalem." tambah Sekar.

"Ibu nggak tau, dengerin aja dulu."

Arsy, Ajay dan Sekar menempelkan telinga ke daun pintu.

"Awas loe kabur, Sipit!"

Tak lama pintu kamar terbuka. Aisyah terkejut mendapati ketiga orang keluarganya masih dalam posisi sebelum pintu dibuka.

"Pada ngapain?" tanya Aisyah masih terlihat kesal.

Arsy, Ajay dan Sekar memperbaiki posisi mereka, dan nyengir serentak.

"Nggak ada yang mau jelasin, tadi lagi pada ngapain?"

Ketiga orang keluarganya, tak juga menjawab, hingga Aisyah pergi dengan dongkolnya. Bukan pada keluarganya, tapi Putra.

"Ai, mau kemana lagi?"

Teriak Arsy dari teras, saat mobil yang dikendarai Aisyah sudah keluar pagar.

"Mau minta tanggung jawab dari orang yang udah buat Aisyah gini, Bu."

Aisyah turun dari mobil dan menutup pagar rumah kembali.

Ajay dan Arsy menelan ludah.

"Maksudnya gimana itu, Bu?"

Ajay melirik istrinya pucat. Siapa yang berani berbuat tak senonoh pada putri sulungnya.

Arsy menggeleng pelan, lalu menghubungi Maya segera.

***

***

Putra baru saja akan menyantap roti goreng yang dibuatkan Maya untuknya. Ia ternganga mendengar Aisyah akan menyusul ke rumah.

Apa yang harus ia perbuat? Hah! mampus!

Tak lama terdengar pula handphone Maya berdering.

{Kak, itu anak dua kenapa?}

Maya kebingungan, ia tak mengerti maksud pertanyaan Arsy. Diliriknya Putra sudah tampak pasi, bahkan roti goreng tak lagi tertelan, malah menyangkut di mulut.

Tak lama Putra melumat habis roti goreng dalam sekali telan. Dan segera beringsut keluar, lalu masuk mobil, berencana akan kabur.

"Eh, mau kemana kamu, Bang?"

Maya mengejar keluar, sementara Adit yang tengah bersantai, minum kopi sambil membaca surat kabar menghentikan aktifitas ala bapak-bapaknya, lalu meletakkan bacaan di atas meja.

"Ada apa, Bun?" tanya Adit berdiri di sisi istrinya, yang masih terhubung dengan telepon Arsy.

"Aduh Yah. Nggak tau juga Bunda. Ini Arsy juga lagi nelpon, nanya mereka."

"Mereka?"

"Putra dan Aisyah."

Kepala Adit semakin dikerubungi banyak tanda tanya, wajahnya bingung seketika.

Belum lagi mobil itu keluar, suara mobil Aisyah sudah terdengar berhenti di depan.

Putra semakin panik, ia tak berani keluar dari mobil, apalagi melihat wajah Aisyah yang merah padam. Jika saja tak ada Maya dan Adit di teras rumah, mungkin sang polwan sudah menarik paksa pemuda itu dari dalam mobilnya.

"Pagi Tante, Om."

Aisyah berbasa-basi sambil mencium tangan Adit dan Maya takzim.

"Pagi-pagi udah datang, ada apa ini Ibu Polwan, duduk dulu."

Adit menyambut Aisyah hangat, lalu menawarkan duduk bersamanya di teras, sambil menghirup udara segar dari teras rumah yang ditumbuhi tanaman yang menyegarkan mata.

Aisyah mengikuti saja, sambil terus melirik ke dalam mobil, lalu menggemeretakkan gigi, kesal. Tujuannya orang yang ada dalam mobil itu, yang sedang mengurung diri sambil berkeringat dingin.

Maya segera masuk ke dalam, dan membuatkan minum buat Aisyah sambil terus teleponan dengan Arsy.

"Putranya mana ya, Om?"

Aisyah pura-pura tak melihat manusia satu itu.

Adit tertawa kecil, "Ah iya, dia di dalam mobil, mau pergi kayaknya. Bentar ya, Om panggil dulu."

Aisyah mengangguk sambil tersenyum sopan, sembari itu Adit juga berdiri dan mengetuk-ngetuk pintu mobil Putra, lalu meminta pemuda itu keluar.

Semula Putra tak ingin keluar, tapi setelah dipaksa ia pun keluar.

"Ah, Om permisi ke belakang dulu ya Ai."

Adit seperti sengaja ingin membiarkan Putra dan Aisyah saling mengobrol, dengan tujuan agar lebih saling mengenal satu sama lain. Ia pun mengabaikan tangan Putra yang sempat menahan lengannya, supaya tetap menemani di teras. Sesuatu akan terjadi kalau mereka hanya berdua.

Tak lama Maya keluar dan meletakkan minum untuk Aisyah.

Putra pun menatap Maya dengan sorot memohon bantuan. Tapi, Maya pun mengabaikan. Si Bunda masuk kembali sambil tersenyum. Ah, serasi sekali. Satu oriental, satu timur tengah, kalau bersatu keturunan mereka pasti akan sempurna.

Aisyah melirik Putra tajam, membuat pemuda itu semakin gugup dan tak berani menatapnya.

***

***

Kinan bernafas lega, akhirnya Toni pun pergi.

Puas dengan Kinan, pria itu keluar, setelah menerima telepon dari seseorang. Sepertinya Keysha, saat menjawab telepon, pria itu tiba-tiba jadi hangat dan seolah menjadi sosok yang penyayang.

Toni keluar tanpa berkata apapun pada Kinan. Seakan tak dianggap ada.

Kinan kembali meringkuk setelah mengenakan busana. Air matanya kembali menetes. Baru dua hari di sini, ia sudah merasa tak tahan.

Hati kecilnya berteriak dan memaki untuk menyadarkannya.

Hubungi Putra!

Hubungi Putra!

Katakan padanya!

Begitulah sang kalbu meminta dirinya bergerak. Keluar! pergilah dari dunia nista ini.

Lama… hingga akhirnya Kinan mengikuti kata hati. Ia lalu duduk, meraih ponsel dan menghapus air mata. Ia tak boleh begini, jangan lemah, lawan Toni. Jika pria itu mengancam, hancurkan balik.

Jangan biarkan orang seperti itu selalu menang.

Kinan menekan nomor Putra. Sambil terus berharap telepon itu segera diangkat, Putra datang dan menyelamatkannya.

"Angkat sayang…"

Satu kali percobaan telepon tak terangkat.

Kinan tak ingin menyerah, ia akan menelpon terus, sampai diangkat.

***

***