Suara pemuda diseberang sana tertawa, dan hal itu benar-benar mengusik perasaan Kinan.
"Mau apa loe?" bentak Kinan geram.
{Jangan marah-marah gitu lah. Nggak kangen loe sama gue?}
Kinan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tak secuil pun ada perasaan semacam itu untuk bajingan yang sedang menelpon ini.
{Kinan… Kinan… Gue ini kan adek loe. Masa loe segitunya ke gue sih?}
"Berhenti basa basi busuk sama gue? Mau apa lagi loe, hah!"
Pemuda diseberang tertawa. Dia adalah Okta Kara, adik laki-laki yang pernah diceritakan Kinan, yang bejadnya hampir sama dengan ayahnya. Yang juga mempunyai andil besar menciptakan neraka untuk Kinan.
Kara, begitu biasa ia disapa. Setelah tahu Kinan memiliki hubungan di luar batas dengan Andi, dan pernah pula memergoki Kinan sedang melakukan pemuasan untuk dirinya sendiri. Pemuda itu pun kerap menyodorkan banyak laki-laki pada Kinan, dan ia pun menerima bayaran atas itu semua dari laki-laki yang mendapatkan kakaknya.
Sejak remaja, dia sudah memiliki bakat jadi mucikari. Ya, penyakit Kinan dijadikan lahan bisnis untuknya. Apalagi, sejak tahu rahasia besar tentang jati diri Kinan yang sebenarnya. Ia bahkan jadi semakin bersemangat menjadikan Kinan primadona dalam bisnis prostitusi yang ia geluti hingga saat ini.
{Gue mau nawari loe kerjaan, mau nggak?}
Kinan bergeming, giginya bergemeretak. Meskipun apa yang telah dilakukan Kara dahulu, sejatinya juga membantu memberikan penawar atas candu yang tak kuasa ia kendalikan. Namun, tetap saja, itu neraka buatnya. Hanya kenikmatan sesaat yang didapat, setelah semua berlalu, Kinan pun menyadari satu hal, bahwa ia telah dijual oleh Kara adiknya sendiri.
Kejadian itu berlangsung, sejak putus dari Andi, hingga kuliah. Para cowok yang menjadi pacar Kinan, sebagian besar disodorkan oleh Kara.
{Mama bilang, loe sombong sekarang, mentang-mentang udah jadi pelacur berkelas!}
Darah Kinan seketika mendidih, apa dia bilang? Pelacur!
"Mulut loe taik!" maki Kinan geram.
Kara malah tertawa keras.
{Gue salah kah?}
"Gue nggak punya waktu ngomong sama bajingan kayak loe!"
{Tunggu, tunggu. Gue mau ngomong sesuatu sama loe!}
Kinan masih mendengarkan, meskipun semula sudah akan memutuskan sambungan telepon tak berfaedah itu.
Kara lagi-lagi tertawa.
{Sebaiknya mulai saat ini, loe cari keberadaan keluarga asli loe, Nan!}
Mata Kinan membulat, suara Kara terdengar setengah serius. Walau masih menyisakan tawa-tawa kecil, seolah sedang mempermainkan Kinan dengan cerita yang entah benar entah tidak itu.
{Gue kasian sama idup loe Nan. Haha. Kalau gue jadi loe, nggak bakalan sanggup gue. Sumpah!}
"Berhenti basa basi!" teriak Kinan kesal.
{Emosian banget loe! Loe bukan kakak kandung gue, loe bukan anak nyokap gue, dan loe entah anak siapa !}
Suara tawa Kara terdengar begitu menyakitkan bagi Kinan. Memberi tahu hal yang begitu sensitif disertai dengan sikap seperti itu, benar-benar membuat Kinan hancur.
Bukan karena berita yang disampaikan Kara, tapi lebih kepada buruknya nasib yang ia terima. Dibesarkan di keluarga yang bukanlah keluarganya sendiri, lalu tumbuh menjadi gadis binal tak tau diri, tidak ada seorang pun yang menyayanginya dengan tulus selama ini, lalu… lalu siapa wanita yang sudah melahirkannya? kenapa membiarkan ia dibesarkan oleh orang lain yang membuatnya teraniaya?
{Loe nggak kaget denger kabar ini? Gue cuma bantuin nyokap buat ngomongin ke loe! Ya, sekalian nawarin, kali-kali loe mau jadi anak asuh gue. Kerajaan bisnis gue udah gede lho Nan. Kalau loe sempet gabung sama gue, bisa makin jaya bisnis gue.}
Telepon pun diputus Kinan. Gadis itu membanting ponselnya hingga pecah. Ia tersandar ke sisi dipan, duduk meringkuk sambil mengubek rambut.
"Kenapa hidup gue kaya gini?"
Kinan berteriak histeris. Ia merasa Tuhan tak adil atas hidupnya. Berkali-kali mencoba untuk tak memikirkan, namun, setiap kali itu juga ada saja hal yang datang mengusik benteng pertahanan diri yang susah payah ia bangun.
Benteng yang membuatnya merasa bodo amat atas semua yang sudah berlaku dalam perjalanan hidupnya selama ini. Ia berkali-kali mengatakan pada hatinya, agar menerima saja yang sudah menjadi takdir. Hidup di dunia, hanya untuk mencari kebahagiaan. Dan kebahagiaan itu, ya dengan cara yang sesuai dengan kata hati.
***
***
Mentari sudah kembali ke peraduan, langit pun juga sudah mulai gelap, tak tampak bintang di atas sana, rembulan juga seolah dipaksa menghilang tertutupi awan gelap. Kinan duduk di teras, memeluk lutut sambil menatap ke langit.
Sorot matanya penuh dengan kemarahan. Seolah sedang menantang Tuhan, ingin memberontak atas ketidak adilan yang berlaku pada dirinya. Banyak orang di luar sana memiliki hidup yang bahagia, mempunyai keluarga yang mencintai satu sama lain, saling melindungi, memperhatikan dan mempedulikan. Kenapa dia tidak?
Air matanya meluruh. Lelah menatap langit kelam itu. Ia sadar, bahkan Tuhan pun mungkin tak lagi sudi memandang padanya.
Kinan menenggelamkan wajah di antara lututnya.
Telepon genggam yang tadi hancur, tak disentuh sama sekali. Masih tergeletak di lantai kamar. Dan ponsel yang diberikan Toni juga ia tinggalkan saja di dalam kamar. Telepon dari Putra berkali-kali masuk ke dalam ponsel itu.
Perasaan Putra jadi tak enak. Ia pun tengah menatap ke langit kelam, di balkon lantai atas depan kamarnya. Pikirannya selalu tertuju pada Kinan. Sedang apa gadis itu? Apa sudah makan? Tapi tak bisa ia dapatkan jawaban, karena nomor Kinan yang biasa tak bisa dihubungi. Dan nomor baru, yang sudah tak lagi memblokir panggilan darinya, juga tak ada jawaban.
Putra menatap layar ponsel hampa. Pukul sembilan malam. Hujan pun sudah mulai turun. Kinan? Sedang apa kekasihnya itu?
Putra semakin tak tenang, hujan itu turun kian lebat. Tiba-tiba saja terlintas bayangan saat Kinan pingsan di tengah hujan lebat waktu itu.
"Bun, Yah. Abang keluar sebentar."
Putra melewati kedua orangtuanya yang sedang duduk sambil menonton televisi di ruang tengah.
Maya yang sedang bahagia, karena laporan dari Joko selalu berhubungan dengan Aisyah, mengangguk saja.
"Perjodohan itu akan sukses kan, Mas. Besok jadi kan, adain acara makan malam di kantor?"
Maya bersandar manja di dada suaminya.
"Insya Allah jadi, Dek. Memang sudah jadwalnya juga, biasanya kan sebulan sekali. Ini sudah mau dua bulan, kita nggak ngadain acara malam ramah tamah dengan seluruh karyawan. Menjamu mereka dan keluarga."
"Ini kesempatan kita, buat lebih mendekatkan Putra dan Aisyah, Mas. Mumpung Aisyah masih di sini kan."
Adit hanya mengangguk-angguk saja. Sejujurnya ayah anak-anak Maya itu, tak terlalu sepakat dengan keinginan Maya menjodoh-jodohkan Putra dan Aisyah. Karena, sebagai sesama laki-laki, ia juga bisa tahu bagaimana perasaan Putra nantinya. Jika pun menyetujui menikahi Aisyah, yang tak dicintai.
Putra sudah berada di dalam mobil, ia pun juga telah keluar area komplek rumah. Dan menyempatkan singgah membeli makanan cepat saji untuk Kinan. Tadi siang ia bahkan lupa menawari kekasihnya makan, terburu-buru karena Aisyah yang mendesak pulang.
***
***