Setelah subuh, Putra telah siap dengan pakaian olahraganya. Ia berencana akan lari pagi di gelanggang olahraga akhir pekan ini.
Kinan masih tak dapat dihubungi, Putra pun tak ingin membiarkan pikirannya kalut. Lari pagi adalah salah satu solusi untuk menghapus pikiran buruk dalam kepala.
Putra mengenakan kaos olahraga tanpa lengan warna biru, celana pendek warna hitam selutut, sepatu sport warna biru, topi warna hitam dan semua yang ia kenakan ini dari brand yang sama, berlogo tanda ceklis.
Pemuda itu tak lupa menyumbat telinga dengan earphone, ia hanya ingin fokus sendiri.
Ufuk timur sudah mulai memerlihatkan semburat keemasan, sang surya sudah mulai mengintip malu-malu. Gelanggang olahraga pagi itu telah dipenuhi para penikmat olahraga. juga orang-orang yang berjualan beraneka makanan, pakaian, mainan, apa saja yang bisa dijual.
Putra mulai melakukan pemanasan, ia benar-benar tak memperhatikan sekeliling. Beberapa wanita sudah mulai berbisik-bisik, sambil tersenyum. Mereka menunjuk-nunjuk Putra. Bahkan hingga pemuda itu mulai berlari, banyak cewek-cewek yang mengikuti di belakang. Namun, Putra masih tak menyadari.
Baru akan memasuki putaran ketiga lapangan sepak bola, Putra merasakan keanehan, ia seperti diikuti banyak kaki. Perlahan pemuda itu menoleh, dan betapa terkejutnya dia, puluhan cewek sudah berjejer dibelakang. Mereka terlihat ingin menyerbu.
"Oppa…!" teriak salah satu dari kumpulan cewek-cewek itu.
Putra melepas satu earphone. Wajahnya benar-benar memucat.
Provokasi satu orang tadi berbuntut tidak mengenakkan. Mereka bahkan histeris dan mengejar Putra. Mau tak mau, ia pun berlari semakin kencang.
Kacau sekali! Putra tak punya pilihan selain kembali ke mobil dan segera pergi dari tempat itu.
"Oppa… oppa…!" teriak gerombolan fans yang mengejar.
Putra tak siap dengan keadaan ini, jantungnya hampir copot seolah-olah ia seperti maling yang dikejar warga.
Saat melihat kondisi dibelakang sambil terus berlari, Putra tak sengaja menabrak Aisyah yang datang dari arah berlawanan, sedang berjalan sambil menyetel musik di handphonenya.
Mereka sama-sama terjatuh, untungnya Aisyah memegang handphone cukup kuat. Ia meringis memegang pantat dan kepala yang berbenturan dengan Putra. Namun, baru akan memaki, tangannya malah ditarik pemuda itu, ikut berlari bersamanya.
Di belakang sana, gerombolan fans semakin banyak saja yang mengejar.
"Tra… woi sipit lepasin gue!" teriak Aisyah berusaha melepaskan tangannya. Tapi, tak berhasil.
Putra tak sadar telah membawa seseorang bersamanya. Semula, terjadi halusinasi bahwa yang telah ia tabrak adalah Kinan. Hingga refleks saja, tangannya menarik Aisyah.
Sesampai di dalam mobil, ia segera melajukan kendaraan itu.
"Woi sipit!"
Aisyah melipat tangan di dada dan menatap Putra dingin. Saat itulah Putra tersadar, ia bahkan sampai terkejut melihat perempuan di sebelah, ternyata Aisyah.
"Guli… Loe!"
Aisyah masih menatapnya dingin, ia tadinya ingin berolah raga, mengelilingi lapangan bola itu beberapa putaran. Tapi, malang malah bertemu lagi dengan Putra.
Gulita julukan dari Putra untuk si polwan, sebabnya masih permasalahan waktu kecil dulu. Ia tak suka dipanggil si sipit oleh Aisyah, dan berniat membalas memberikan julukan pada Aisyah. Tercetus saja, Gulita, karena kulit Aisyah cukup gelap kala itu.
"Anterin gue balik!" pinta Aisyah tampak mulai kesal.
"Kemana?"
"Mobil gue di GOR, sipit sinting!"
"Ntar aja lah!"
"Gue mau lari pagi!"
"Udah siang ini, loe nggak liat tu matahari udah mulai terik."
Aisyah mengintip malas ke luar. Bagaimana bisa ini dibilang terik? Matahari saja baru keluar dari persembunyiannya. Belum jauh naik dari peraduan.
"Ini baru pukul enam lewat tujuh belas menit, itu cahaya matahari masih hangat, Sipit!"
Putra tak menjawab, ia malah cengengesan.
"Bentar lagi aja ya, sarapan dulu kita."
Putra masih berkilah dan mencari-cari alasan.
Aisyah tampak geram, lalu menjewer telinganya. Putra mengaduh sambil menepis tangan Aisyah.
"Muter balik nggak!" ancam Aisyah.
"Ai, gini ya. Tunggu beberapa menit lagi deh, itu kondisinya belum kondusif di sana."
"Itu masalah loe, bukan gue. Lagian ngapain narik tangan gue nggak jelas?"
Aisyah tetap bersikeras minta diantarkan balik ke gelanggang olahraga, hingga Putra tak punya pilihan selain putar arah.
Polwan manis itu keluar tanpa berkata sepatah kata pun, dan Putra langsung pergi saat beberapa fans yang menandai kendaraannya menyadari ia kembali.
Putra sempat melihat sekilas, Aisyah diburu cewek-cewek itu. Ah, entah apa yang akan terjadi kalau mereka bertemu lagi. Bisa dipastikan Aisyah akan menembaknya hingga ko-it alisan tewas.
***
***
Kinan meraih selimut dan menutupi tubuhnya. Ia menangis tanpa suara. Toni disebelah sudah terlelap. Tadi malam, pria itu datang, dan mengganggu Kinan hingga pagi ini. Ia seperti ingin melampiaskan sakit hatinya.
Beberapa bekas remasan terasa menyakitkan di bagian tubuh gadis ini. Kinan meringis, bersandar penuh sesal di dinding kamar cottage.
^^ Sakit… ^^ rintihnya dalam hati.
Tubuh dan perasaannya tersakiti. Mengingat Putra, membuatnya teramat sedih. Ia telah melakukan kesalahan fatal yang tak akan termaafkan.
Lama larut dalam kedukaan, Kinan bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Ia sengaja berlama-lama di dalam sana. Tak ingin cepat keluar lalu berjumpa dengan pria itu.
Entah apa yang akan dilakukan Toni setelah ia bangun? Hah, Kinan berharap pria itu pergi saja. Jangan berlama-lama di tempat ini dengannya. Datang saja saat butuh, lalu pergilah. Kinan hanya ingin sendiri.
Saat keluar kamar mandi, menggunakan handuk. Toni tampak sudah bersandar di dinding cottage. Pria itu memanggil Kinan dengan tangannya, wajah Toni terlihat dingin dan datar saja. Ia bahkan tak memandang lama pada Kinan.
Meski berat, Kinan menghampiri.
"Lepaskan handukmu!" pinta Toni sambil menatap lurus ke depan.
Kinan menghela nafas pelan, apa lagi yang diinginkan pria ini? Ragu-ragu Kinan melepas.
"Lakukan lagi!" perintahnya.
Mata Kinan membulat. Ia sungguh sangat lelah dengan semua ini. Apalagi tidak ada kehangatan yang diberikan Toni lagi padanya. Pria itu seolah hanya ingin memuaskan dirinya sendiri, bahkan demi membayar beberapa kali kegagalan yang lalu, sebelum mendatangi Kinan, ia sempat mengosumsi obat kuat.
Hati Kinan kian merintih. Semua yang terasa kini begitu sakit.
Sementara Toni lebih terlihat bagai seorang monster di matanya.
Kinan tidak menyangka, ternyata keputusan yang ia ambil adalah keputusan yang salah. Seharusnya ia melawan saja, kehilangan semuanya rasanya lebih baik, dari pada harus menanggung kesakitan teramat sangat seperti ini.
Jika saja ia berani mengadukan perbuatan Toni pada Putra, mungkin hidupnya takkan berakhir begini. Ia pasti telah bermain bersama Putra di dunianya yang indah.
Meski harus menghadapi rintangan di awal, namun, tak selamanya mendung akan menutupi dunianya di sana. Ada Putra yang akan melindungi. Pemuda itu sudah berjanji siap pasang badan demi menjaganya.
Hah! Semua sudah terlambat.
Pilihan telah ia ambil, dan kini Kinan hanya bisa merasakan akibat dari keputusan salahnya itu.
Berapa lama lagi?
Satu minggu dari sekarang, apakah Toni akan setiap hari melakukan ini padanya?
Kinan berharap, Tuhan mau mengasihaninya dan menjauhkan pria jahat ini dari dirinya.
Air mata Kinan menetes disela upayanya meredam sakit yang terasa.
***
***