Tubuh lemah itu masih terbaring di atas sofa, dan pemuda yang membawanya hanya bisa mengamati dari sofa di seberang.
Putra tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Lima belas menit berlalu, ia masih duduk di tempat itu, dan masih mengamati Kinan yang tak juga bergerak.
Handphonenya berdering lagi.
Pasti Bunda.
# Bunda Calling #
{ Abang, sudah empat puluh menit berlalu. Bunda jadi semakin nggak tenang ini. Bilang dimana Abang sekarang? Shareloc kalau perlu, biar Bunda dan Ayah jemput!}
{{Nggak mau ah, Bunda aja, Ayah ngantuk."}}
Terdengar Adit langsung menyahut.
{Ayah ini gimana? anaknya nanti kenapa-napa di luar, nggak cemas sedikit pun.}
{{Udah gede anaknya Bund. Biar ajalah, nanti juga pulang, mungkin ada hal penting, urusan anak muda.}}
{ Urusan anak muda apa, Yah? Nanti dia sama cewek-cewek nggak jelas, berbuat aneh-aneh. Dosanya ke kita juga Yah. Ayok bangun, temani Bunda cari Abang.}
{{ Moh, Ayah ngantuk.}}
Putra jadi mendengarkan percakapan orangtuanya.
"Bund… Abang baik-baik aja, cuma temen Abang yang nggak baik."
{ APA?! temen! cewek cowok? }
Lagi-lagi Maya berteriak, Putra menjauhkan ponselnya dari kuping.
{{ Apa sih Bunda ini? Ayah jadi cemas dibuatnya, speaker!}}
Terdengar Adit bersuara.
Tak ada pilihan, selain jujur. "Bunda, Ayah, sebelumnya Abang minta maaf. Tapi percaya sama Abang, Abang nggak macam-macam."
{ Apa sih Bang? jangan buat Bunda neting sama kamu! }
Maya terdengar mulai khawatir, yang ia cemaskan terjadi juga.
{{Bunda sabar dulu kenapa.}}
Adit menyela.
{ Ih,"} Maya menggerutu.
Putra menarik nafas, "Abang tadi nolong temen Abang yang pingsan di jalan, trus Abang antar ke rumah. Nah, sekarang nggak ada orang di rumahnya, sementara dia masih belum sadar. Menurut Bunda, apa yang mesti Abang lakukan?"
{ Siapa? siapa? cewek atau cowok Bunda tanya! }
"Cewek Bunda."
{APA?! }
Maya berteriak lebih histeris.
"Bund…"
Adit langsung menyambut Maya yang seketika tergolek lemas, ia benar-benar tak rela anaknya bersama dengan gadis lain seperti itu.
"Yah… Bunda kenapa?"
{ Pingsan Bang. }
"Trus Abang mesti gimana Yah?"
Putra pun panik mendengar Maya pingsan.
{ Kamu janji nggak ngapa-ngapain Bang, jaga temenmu itu sampe sadar, setelah itu segera lah pulang. }
Putra menyetujui saran Adit, dan dia juga tak berani berbuat aneh-aneh pada Kinan.
Sudah pukul dua belas malam. Kinan akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda sadar.
Mata bulat nan cantik itu terbuka perlahan. Wajah pertama yang dilihatnya, adalah Putra. Pemuda itu sedang menatapnya penuh harap. Berharap Kinan segera sadar, hingga ia pun bisa segera pulang.
"Gimana, Nan?"
Putra membantu gadis itu duduk bersandar.
"Belom pulang loe ternyata."
Suaranya masih lemah, tapi kata-katanya cukup menyebalkan untuk didengar.
Putra mendesis, kali ini gregetan. Asli hari ini menjadi hari paling menyebalkan dalam hidupnya, dan itu karena ulah si Kinanti ini.
Pemuda itu ikut duduk di sebelah Kinan.
"Makasih ya… Nama loe siapa?"
Kinan memutar wajah mengarah pada Putra.
Putra tersenyum, "Nama gue Putra."
Dan senyuman itu lagi-lagi membuat jantung Kinan berdebar. Wajahnya yang pucat, tampak sedikit memerah. Entah apa yang terjadi?
Kinan buru-buru memalingkan wajah, menjauhkan dari pandangannya pada Putra.
"Ya udah deh, udah malam banget, gue balik dulu."
Putra tidak ingin terlalu lama berada di sana, berdua dengan Kinan. Sebagai laki-laki yang masih normal, ia juga tak mampu menolak godaan. Jika saat ini masih bisa ia tahan, entahlah kalau sedikit lebih lama lagi.
Kinanti bersandar seperti itu saja sudah begitu menggoda kelaki-lakiannya. Tapi, sebisa mungkin ia alihkan pikiran kotor itu.
Saat akan berdiri, tangan Putra justru ditahan oleh Kinan.
Seketika Putra terkejut, suhu tubuh Kinan begitu panas, terasa sekali dari jemari yang berpagut dengan jemari Putra.
"Jangan pergi."
Kinan menatap Putra penuh harap. "Tolong jangan tinggalin gue."
Putra pun dibuat ketar ketir, semula susah sekali mendekatinya, sekarang malah dia yang tak ingin ditinggalkan.
Putra kembali duduk, di sisi gadis itu.
"Makasih." ucapnya lirih, lalu menyandarkan kepala di bahu Putra.
Putra menegang, ia seolah tak bisa bernafas. Besar sekali godaan untuknya malam ini.
"Gue capek Tra."
Putra hanya mendengarkan tak bergerak sedikit pun.
"Orang yang gue butuhkan justru nggak ada pas kondisi gue lagi kayak gini. Malah loe, orang yang gue hindari, yang nyelamatin gue."
Putra masih mematung, yang bergerak hanya bola mata dan nafasnya. Jika tidak ada lagi yang bergerak, artinya dia sudah wafat.
"Gue capek sama semua masalah yang gue hadapi."
"Tra… peluk gue, please."
Putra tercekat. Tidak mungkin itu ia lakukan. Takutnya nanti kebablasan, jadi melakukan yang lain-lain.
"Tra…"
Kinan mengangkat kepalanya, lalu mengarahkan tatapan matanya pada Putra.
Putra pun balas menatapnya, dengan tatapan cemas. Namun, sepertinya perempuan ini memang butuh sebuah pelukan hangat. Pelukan penuh cinta, bukan pelukan penuh gairah yang selalu ia dapatkan dari pria-pria yang telah menidurinya.
Tatapan mata kinan menyiratkan kelelahan. Mata indah itu nampak sayu dan seolah ingin mengatup saja.
"Tra… Gue nggak tau kenapa, tapi gue ngerasa deket sama loe, bikin perasaan gue aman dan tenteram."
Kinan masih menatap Putra penuh harap.
Putra masih belum membuka celah agar bisa dipeluk Kinan. Hatinya masih berkata-kata. Ia tak ingin membuat Maya kecewa. Tetapi, satu sisi lain berbisik, tak ada yang tahu, lagi pula kasihanilah gadis itu. Ia tampak butuh tubuh untuk bersandar, sekedar melepas penat.
Akhirnya Putra meregangkan tangannya, membawa Kinan dalam dekapan.
Pelukan pertama, yang ia berikan pada seorang gadis. Keysha atau gadis lain pun tak pernah ia peluk sebegini hangat, selain Maya.
Kinan benar-benar menikmati berada dalam dekapan Putra. Hangat dan nyaman. Anehnya, ia sama sekali tak merasakan horny seperti biasa. Padahal ia sangat mudah sekali terangsang, bahkan melihat adegan ciuman saja, sudah minta untuk mencapai puncak, meski harus dilakukan sendiri.
Tetapi, beda dengan Putra. Sesuatu yang mengganjal di dadanya, yang kenyal, serta lingkar tangan Kinan yang melilit ke punggungnya, membuat jantung pemuda itu berpacu begitu cepat. Darahnya berdesir hebat. Ia berkeringat dingin, mana kala sesuatu yang berharga di bawah sana bereaksi tak wajar.
^^ Ah! adik jangan bangun…! ^^
Putra berteriak dalam hati. Bagaimana ini? ia tak bisa menikmati memeluk gadis ini, hanya karena sebuah tekanan, ingat Maya yang sudah susah payah membesarkan dengan penuh cinta, juga pengajaran akan pentingnya berbuat hormat kepada wanita.
Tapi, jika wanitanya yang meminta duluan.
"JANGAN DEKATI DIA!!!"
Putra tersedak dan memucat kala bayangan Maya saat mengucapkan kalimat itu muncul tiba-tiba di hadapannya.
Ia masih menahan, harus bisa.
Sepuluh menit berlalu, tangan Kinan terkulai.
Putra kaget, jangan pingsan lagi!
Tapi, kali ini Kinan mendengkur. Gadis itu tertidur.
Saking nyamannya berada dalam dekapan Putra, hingga membuatnya terlelap seketika.
Putra menghela nafas pelan, lalu perlahan kembali membaringkan Kinan di tempat ia terkulai pingsan tadi. Ia lalu melirik jam di pergelangan tangan, sudah jam satu.
Putra menggapai remote AC di atas meja tamu, lalu menghidupkannya dengan suhu yang cukup hangat. Kemudian ia mengunci pintu rumah Kinan dari luar, dan melemparkannya ke dalam, lewat jendela yang tadi sempat ia buka. Jendela itu ditekan lagi, agar tak tampak terbuka.
Dan setelah mengeluarkan mobil. Pagar itu pun juga dikunci lagi oleh Putra, dan kuncinya dilempar ke teras.
Ia pun pulang dengan perasaan lega. Lega karena masih mampu bertahan, lega karena telah berbuat baik pada sesama.
***
***