Chereads / HARGA DIBALIK TIRAI / Chapter 18 - ANTARA INGIN TAK INGIN

Chapter 18 - ANTARA INGIN TAK INGIN

Dua hari Kinan tak masuk kerja, ditambah dua hari akhir pekan. Dan Senin ini dia kembali ke kantor pusat. Kasus pengusiran dengan penyeretan kasar yang dilakukan Arumi Rabu lalu, berbuntut panjang. Penurunan grade dan jabatan menjadi sangsi keras untuk sang mantan pimpinan cabang pembantu. Kini Arumi di kirim ke cabang daerah terpencil. Ia hanya menjadi teller di sana.

Kinan tak mengadukan apapun pada Toni, media sosial lah yang memviralkan berita tersebut. Banyak masyarakat yang bersimpati pada Kinan, namun, di dalam tubuh Bank Kring sendiri, Kinan tetap dipojokkan.

"Pecun kaya dia mah, emang mujur terus nasibnya. Jelas-jelas dia yang salah, eh malah Mbak Arumi yang kena kirim ke cabang pengasingan."

"Kita nggak punya bukti, kalau nggak, kita bisa seret dia ke meja persidangan intern."

"Menurut loe semua, direksi mana yang ena-ena sama dia?"

"Dirut…!"

"Nggak mungkin. Dirut kan menantu komisaris yang menjadi pemegang saham nomor satu di Bank ini. Nggak mungkin dia main api."

"Iya, lagian tampangnya kayak familyman gitu. Lihat kan perlakuannya ke Keysha dan Bu Rere."

"Bener… Bener."

"Loe pada nggak tau, Pak Toni kan pernah kedapatan berduaan sama karyawan baru di ruangannya?"

"Kapan?"

"Udah lama, waktu dia masih megang Direksi Kepatuhan."

"Siapa cewek tu? Si Perek?"

"Nggak kayaknya, perek belum masuk sih setau gue."

Begitulah, sekelumit dunia perghibahan kantor, Kinanti menjadi trending topic, entah sampai berapa minggu ia akan merajai tangga itu.

Saat memasuki kantor tadi pagi, banyak mata yang menatap Kinan sinis. Mereka semua tentu lebih membela Arumi, mantan pimpinan cabang pembantu itu sosok yang ramah sebenarnya dan hubungannya baik hampir pada semua karyawan yang mengenalnya. Sedangkan Kinan, berbanding terbalik.

Wajar saja, karyawan rata-rata lebih mendukung Arumi, namun apalah daya, keputusan pengasingan Arumi mutlak di tangan semua direksi. Dan direksi setuju terhadap sangsi untuk Arumi, mengingat dampak yang ditimbulkan begitu buruk untuk citra Bank mereka.

Kinan memasukkan semua barangnya ke dalam loker teller, sebelum memulai aktifitas seperti biasa.

"Hari ini, loe setengah hari aja!"

Kartika tampak ketus saat memberikan modal pada Kinan.

"Kenapa?" tanya Kinan cuek.

Modal teller masih ditahan Kartika untuknya.

"Gue eneg liat muka loe!"

"Bisa gitu ya! Emang loe siapa! Nasib loe bisa berakhir sama kayak Arumi kalau terlalu jauh berurusan sama gue!"

Kinan menantang balik. Ia benar-benar tidak takut dengan siapapun di Bank ini.

Kartika kesal melihat seringai Kinan yang membuatnya semakin jijik pada perempuan cantik itu. Ia memberikan modal itu dengan kasar.

Kinan tak peduli, ia benar-benar tak memedulikan mata-mata yang menatap benci itu. Baginya, jika kaki telah diinjakkan di suatu tempat, akan ia sudahi apapun tanggung jawabnya hingga selesai dan semaksimal mungkin. Takkan ia hiraukan halangan yang mengusik hidupnya.

Pada nasabah yang datang, Kinan memang professional. Senyum tetap terkembang, sampai pada akhirnya anak dari Bos Malik Estate terlihat menunggu untuk dipanggil nomor antriannya.

Putra menatap Kinan tak henti. Sama dengan yang selalu dilakukan Kinan, ia juga tak peduli dengan mata-mata yang menatapnya kagum, sekaligus heran akan sikapnya pada teller antisosial itu.

Kinan menghela nafas, saat Putra sudah berada di hadapannya. Pemuda itu masih menatapnya lama. Apa maksud dari tatapan itu? Bukan lagi tatapan kagum, juga tak terlihat benci, tapi antara kedua itu.

"Bisa nggak, jangan liat gue kayak gitu!" ucap Kinan disela ia memasukkan uang yang disetor Putra ke mesin hitung.

"Kenapa? loe risih?" tanya Putra masih dengan tatapan yang sama, ia tak melirik sama sekali pada nominal mesin hitung.

"Iya."

Kinan tak menatap pada nasabah dihadapannya. Ia tetap sibuk dan cekatan menyusun uang setoran.

"Gue butuh nomor telepon loe!"

"Gue nggak akan kasih!"

"Gue nggak akan beranjak dari sini!"

"Setelah selesai, loe wajib pergi!"

"Gue nasabah prima, nggak ada yang bisa ngusir gue!"

Kinan mengangkat wajah menatap pemuda itu.

"Gila loe ya!"

Teller di sebelah melirik pada Kinan, yang tampak kesal.

"Catet di kertas copyan bukti setor gue itu! Dan gue pergi!"

Kinan menyipitkan matanya, geram. Dengan kesal, dia akhirnya memberikan nomor teleponnya pada Putra.

"Setoran seratus lima puluh juta, dan uangnya pas ya, Pak!"

Kinan berlagak memberikan pelayanan dan senyuman manis, setelah transaksi Putra ia selesaikan.

"Oh, Oke…"

Putra pun mengikuti sandiwara menjadi nasabah biasa pula, yang penting tujuannya tercapai. Nomor handphone Kinan.

"Terima kasih, Pak. Datang kembali."

Kinan mengatupkan tangan di dada, memberikan salam layanan pada Putra, sekaligus tersenyum manis. Meski terpaksa.

"Manis banget… Pasti balik." jawab Putra segera berlalu. Ia sengaja tak menghiraukan ekspresi Kinan setelah itu.

Entahlah, walaupun tahu Kinan bukan gadis baik-baik, tapi ia tak bisa tak kembali untuk menyambanginya. Cinta ini membuatnya gila, hingga menjadikannya pemuda bodoh.

Putra menyimpan nomor Kinan di handphonenya, saat telah berada di dalam mobil. Ia segera mengirimkan pesan ke nomor tersebut.

[ Simpan nomor gue! suatu saat loe pasti butuh. Putra ]

Pesan tersebut takkan dibaca hingga istirahat nanti. Putra pun melajukan kendaraan menuju kampus. Jadwal seminar memang sudah dikirimkan lewat email dan pesan whatsapp, tapi, Keysha yang membutuhkan kehadirannya.

Gadis itu tengah menghadapi sedikit masalah pada skripsinya. Entah bagaimana, semua datanya hilang. Padahal, perbaikan sudah selesai dikerjakan.

Keysha sebenarnya gadis pintar, hanya saja, jika berada dalam tekanan, pikirannya tiba-tiba menjadi buntu. Dan saat ini, kondisinya sedang tertekan, ia harus bimbingan paling lambat jam dua ini, jika ACC, ia pun sudah bisa cetak bersih, dan menunggu jadwal seminar.

Putra berlari menuju taman kampus. Di sana sudah ada Keysha yang membenamkan kepala pada meja bundar, di hadapannya, laptop masih menyala. Gadis itu menangis tersedu-sedu, tak bisa membayangkan semua yang sudah dikerjakan susah payah hilang begitu saja.

"Sha."

Putra menepuk lembut punggung Keysha. Nafasnya masih terengah-engah.

"Tra, skripsi gue…"

Keysha berharap, melihatnya berurai air mata, Putra akan bersedia memeluknya. Tapi, tidak terjadi. Alih-alih melihat, Putra malah langsung fokus pada file-file bergetar, yang hilang timbul di layar laptop.

"Loe pake flashdisk siapa ini, Sha?"

Keysha tersentak, Putra memang tak menyukainya.

"Bokap gue," jawabnya lesu.

Putra akhirnya mengalihkan wajah ke arah Keysha yang menunduk.

"Loe nggak perlu khawatir. Ini bisa di restore balik. Tenang aja."

Pemuda itu mengusap kepala Keysha, yang membuatnya mengangkat wajah, dan menatap Putra berdebar-debar. Ini kali pertama, Putra menyentuh kepalanya, begini saja sudah cukup. Ia senang sekali, seolah-olah Putra menyayanginya.

Keysha menghapus air mata, lalu menghela nafas. Ah, Putra, kenapa dibegitukan saja, sudah bisa membuat seseorang di sana mendadak tersenyum bahagia.

Putra mengoneksikan jaringan internet laptop Keysha menggunakan hotspot dari ponselnya. Lalu, ia mulai mencari-cari solusi di internet, beserta aplikasi yang harus digunakan.

Cukup lama juga upaya pengembalian file skripsi Keysha itu. Banyak aplikasi spam yang tak sengaja di download Putra. Beruntung, setelah usaha kesekian, file penting Keysha kembali.

"Hah… lumayan puyeng juga nyari aplikasinya."

Putra mencabut flashdisk yang masih terpasang di USB laptop Keysha.

"Ini penyebabnya. Jangan sembarangan nyolokin USB. Laptop loe antivirusnya nggak di update, makanya file loe ke makan juga."

Keysha tersenyum semakin senang. Pikirannya kembali tenang, sebelum menutup laptop, dikirimnya file tersebut ke email pribadi. Lalu beranjak ke lokasi terdekat untuk mencetak skripsi.

"Makasih ya, Putra."

Keysha berucap manja.

Sayangnya, Putra tak menggubrisnya. Pemuda itu malah sibuk berbalas pesan di aplikasi chatting dengan Kinan.

[ Kinan : Tolong ya, jangan kepedean]

[ Putra : Nggak kok, justru ini kebenaran, loe bisa buktikan]

[ Kinan : Hisstt [smiley wajah datar]]

[ Putra : [Smiley senyum] udah istirahat loe?

[ Kinan : Gue nggak perlu nunggu waktu istirahat, suka-suka gue aja sih di sini]

[Putra : Wah, luar biasa!]

[ Kinan : Ya dong]

[Putra : Mau nggak dinner sama gue?]

Kinan meringis sebal, kalau lewat chatting, cowok ini gamblang sekali mengajak. Coba kalau bertemu, dia kaku setengah mati. Hih! padahal Kinan kesal sekali pada Putra, namun entah mengapa, dia tersenyum membaca ajakan itu.

[ Putra : Nan, loe masih di sana kan?]

[ Kinan : Masih, gue pikir dulu deh.]

Baru akan membalas lanjutannya, MeTi menghubungi.

"Hallo."

{ Nanti malam aku mau ketemu! }

"Di mana kamu?"

{ Aku jalan menuju Hotel A. Ada meeting di sana, pulang kerja kutunggu kamu di situ. Aku kangen! }

Kinan tak bisa menolak, ia pasti akan menemui Toni. Darahnya pun juga sudah berdebar. Toni tak menghubunginya, hingga akhir pekan pun berlalu. Kinan juga hanya bisa bermain sendiri. Tak ada yang mau membantunya untuk melepas kecanduannya. Entahlah apa yang ia rasakan pada Toni? Cintakah pada tua bangka itu? Hah! rasanya tidak mungkin.

Satu bulan terakhir, dia tak lagi menerima panggilan dari bos-bos lain. Toni bilang, mulai saat itu, Kinan hanya untuknya. Hanya dia yang bisa memakai. Dan Kinan menurut. Uang yang ditransfer Toni dari beberapa akun dengan nama samaran, sudah terbilang cukup untuknya.

Toni, tak hanya bermain untuk kepuasannya saja. Tapi, juga memberikan hal yang tak kalah hebat pada Kinan. Karena itulah, Kinan seolah butuh dia. Pria dewasa, yang sungguh pintar memuaskan pasangannya di ranjang. Meskipun, beberapa waktu lalu, ia sempat kecewa, karena Toni seolah mencampakkannya, tak ingin memedulikan ketika dirinya butuh bantuan.

Seketika, Kinan kembali merasakan desakan itu. Dan segera menuju toilet, melakukan hal buruk itu di sana. Kinan sampai terengah-engah saat mencapai puncak sendiri.

Dan entah kenapa? bayangan Putra melintas begitu saja dalam pikiran. Kinan tersandar di dinding toilet kantor. Seolah ia menyesal melakukan hal barusan, memikirkan Putra, seakan membawanya menghirup udara segar, langit yang cerah, ia bebas bermain dan menari layaknya remaja normal, remaja bersih dan suci, yang tak tersentuh maksiat, juga tak memikirkan dorongan seksual dari dalam dirinya.

Kinan terduduk, ia mengusap wajahnya dengan sebelah tangannya yang masih bersih.

Putra…

Dia seperti lorong waktu, yang menarik Kinan ke masa, dimana dirinya tak tahu menahu soal rasa nikmat yang membuatnya sengsara hingga kini.

Putra, bukan hanya sosok yang memikat, tapi juga seolah pemberi udara kebebasan. Memikirkan bersamanya pasti akan menciptakan dunia normal baru untuk Kinan. Selama ini ia terkungkung dalam rasa hasrat yang seharusnya bisa ia kendalikan. Tapi, Kinan malah memilih mengikuti saja, sampai ia pun kecanduan.

Putra laksana obat penawar, yang tak membuat ketergantungan. Ia ibarat oase di tengah gurun yang tandus.

Kinan memukulkan telapak tangannya pada dinding toilet. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

***

***