Maya dan Arsy tengah mengobrol di ruang tamu dan melihat foto-foto yang dipajang pada dinding ruang tamu, hingga ruang tengah yang dibiarkan lepas begitu saja. Ada foto keluarga saat Aisyah dan Sekar masih kecil, lalu ketika wisuda SMA Aisyah, foto pernikahan Ajay dan Arsy, foto Aisyah saat dilantik menjadi salah satu lulusan Akademi Polisi, foto keluarga saat Aisyah mengenakan seragam kebanggaannya, foto Aisyah sendiri masih dengan seragam polisi, foto Sekar sendiri yang tengah berpose bak model.
Maya lebih tertarik melihat foto Aisyah saat mengenakan seragam kebanggaan, yang berpose serius di depan kamera, wajahnya begitu natural, meski tanpa senyuman sedikit pun, Aisyah benar-benar manis, enak dipandang.
"Aisyah benar-benar tumbuh jadi gadis yang manis. Seperti kamu, Dek."
Maya tersenyum sambil terus memandangi foto favoritnya itu.
Arsy tertawa kecil, "Iya Kak, dia memang manis."
"Gimana kabarnya, Dek?" tanya Maya kembali duduk di sofa tamu. Arsy mengikuti.
"Alhamdulillah, Arsy sering nelpon, dia sibuk banget kayaknya. Banyak kasus yang sedang ditangani, jadi kalau nelpon nggak bisa lama. Kadang malam pun, dia masih kerja."
Maya terkagum-kagum mendengarnya. "Emang gadis yang tangguh."
"Dari kecil emang udah keliatan, Kak."
Arsy pun kembali melihat ke arah figura berwarna coklat yang menampilkan foto putri kesayangannya itu.
Hampir setengah jam di rumah Arsy, Maya masih menarik ulur keinginan untuk menyampaikan niat perjodohan Aisyah untuk Putra.
"Kak, tumben ke sini nggak ngabarin, ada yang penting kayaknya ni."
Untunglah Arsy mendahului.
"Kangen aja main ke sini." Maya tersenyum, "Aisyah usianya berapa sekarang ya, Dek?"
"Dua puluh empat masuk dua puluh lima tahun ini, Kak."
"Ooo… Anaknya manis begitu, banyak yang antri dong buat jadi pacar?"
Pancingan mulai diayunkan.
Arsy tersenyum. "Dia anaknya beda, Kak. Yang datang ke sini banyak, tapi nggak pernah mau ditemui. Dan sikap dia kan dingin banget ke cowok, jadi emang nggak ada yang balik dua kali sih."
Wanita yang mengenakan hijab panjang berwarna coklat itu tertawa kecil saat menceritakan anaknya.
"Berarti memang belum pernah pacaran?"
Maya terlihat antusias.
"Setau Arsy, belum ada yang dikenalkan sebagai pacar. Entahlah kalau sekarang, di Ibu Kota."
Arsy mulai curiga, ia menatap Maya penuh selidik. Ada apa ini?
"Kakak langsung aja deh." Maya menghela nafas. "Begini, Dek. Kakak punya rencana, buat jodohin Aisyah dan Putra. Gimana menurut kamu?"
Arsy tersentak. Ia tak menyangka Maya akan mengutarakan niat yang mulia itu.
"Tapi, Aisyah lebih tua dari Putra, apa si Abang mau?"
"Putra urusan Kakak. Yang harus kita pastikan, Aisyahnya gimana dulu."
Sorot mata Maya nampak antusias. Arsy tak menolak.
"Coba iseng nelpon sekarang, Dek." Bunda si Putra itu pun membujuk Ibunya si Aisyah.
Telepon genggam itu pun akhirnya sudah menampilkan nomor ponsel sang polwan manis. Ragu memencet di awal, takut Aisyah sedang sibuk. Tapi, berkat dorongan Maya, akhirnya telepon itu pun sudah menyambung ke nomor tujuan.
{ Ya, Bu. }
Maya mengode agar Arsy mengaktifkan speaker panggilan.
[Kondisi di loud speaker]
"Lagi sibuk Ai?"
{Lagi buat laporan aja, Bu. Kenapa? }
"Ah, nggak, Ibu cuma kangen denger suara kamu."
Aisyah mengangguk meskipun merasa ada yang aneh. Ibunya terdengar kaku saat bicara padanya hari ini. Polwan itu pun menghentikan aktiftasnya mengetik, dan menyandarkan tubuh di kursi.
{ Ibu ada perlu sama Aisyah? Kok nggak kayak biasa. }
Arsy agak gugup, ia sebenarnya cukup sulit membicarakan hal pribadi pada anaknya satu itu. Mengingat Aisyah tipikal yang dingin dan cenderung tertutup. Sejak kecil, ia sangat jarang sekali menangis, jika ditanya pun, jawabnya hanya satu-dua saja. Namun, dia tak punya kelainan kepribadian. Gadis itu hanya tidak ingin terlalu erat berinteraksi sosial dengan banyak orang.
{ Bu… ada masalah apa? }
Aisyah mengejutkan Arsy yang tengah saling kode dengan Maya, apa yang ditanya? gimana cara nanyanya?
{ Ibu sama siapa di sana? }
Naluri polisi memang tak bisa dibohongi, dan kedua wanita yang tengah berkomunikasi via telepon dengannya, benar-benar tidak ahli melakukan aksinya.
"Ah, Ibu lagi sen…"
{ Aisyah denger Ibu bisik-bisik, ada siapa di sana? }
Ya ampun, tegas sekali lulusan AkPol ini.
Maya lalu menyela, sudah kepalang ketahuan.
"Ini Bunda Maya, Ai."
{ O Tante Maya. }
Maya menggigit bibir, padahal ingin sekali Aisyah memanggilnya Bunda, seperti halnya Putra memanggil.
"Hmmm, iya Tante Maya. Apa kabar Ai?"
{ Baik Tante. Tante apa kabar? }
"Alhamdulillah. Kerjanya lancar?"
{ Iya, Alhamdulillah Tante. Ada apa ya Tante? }
Maya juga bingung mau bilang apa, ia menatap Arsy, dan Arsy pun balas menatapnya. Mereka sama-sama tak tahu apa yang ingin dibicarakan.
Tak lama terdengar suara pria yang memanggil Aisyah.
{{ Ai, jalan sekarang?"}
Maya dan Arsy saling tatap. `Jalan`? Apa makna dibalik ajakan itu? Dari pria pula.
Aisyah terdengar mengiyakan.
{ Aisyah mau keluar dulu, Tante. }
Maya lalu menyuruh Arsy menanyakan siapa pria itu. Ke kepo-annya tak bisa menunggu waktu untuk mendapat jawaban.
"Eh, mau kemana, Ai? itu siapa?"
{ Mau kerja, Bu. Itu Bagas, komandan Aisyah. }
Aisyah menjawab datar saja. Ia memang begitu.
Sedikit lega mendengar kata 'Komandan', Asry dan Maya memutuskan untuk mengakhiri percakapan dengan Polwan manis itu.
***
***
"Ai, gue udah dapat bocoran pengedar narkoba artis itu!"
Bagas, pemuda yang lebih tua dua tahun dari Aisyah, sama-sama lulusan AkPol, beda daerah asal, memberikan info pada Aisyah mengenai kasus yang sedang mereka tangani.
Kasus penyalahgunaan narkoba di Ibu Kota benar-benar semakin merebak akhir-akhir ini. Artis-artis tanah air banyak yang terciduk tengah mengonsumsi barang haram tersebut.
Aisyah sangat suka berada dalam Badan Reserse Kriminal Polri ini. Ia punya tujuan akhir kenapa memilih bergabung dalam unit satuan yang menangani kasus criminal. Bersama Bagas dan beberapa anggota polri lainnya, mereka melakukan pengintaian dan penyamaran, masuk ke dalam club-club malam, bahkan ke sarang prostusi sekali pun. Sudah dijambangi Aisyah.
Bukan masalah besar baginya. Dirinya sudah dibekali ilmu beladiri level mahir. Bahkan tak jarang ia terlibat perkelahian dan kejar-kejaran dengan banyak penjahat. Mulai dari penjahat level teri hingga kelas kakap.
Sejak awal ditugaskan bersama, Aisyah dan Bagas memang terlihat sangat serasi. Bagas mampu mengimbangi dinginnya sikap Aisyah. Ia bisa masuk ke dalam celah hati gadis itu, hingga mampu bertahan berteman dengan Aisyah.
"Siapa? Kemana kita sekarang?"
Bagas lalu menyebutkan satu nama, dan lokasi yang dituju.
"Hotel Elle, dia ada di sana."
"Nyamar lagi?" tanya Aisyah.
"Ya."
Mereka lalu menuju loker masing-masing dan mengganti baju.
Dua anggota polisi lain yang ikut penggerebekan kali ini, Heru dan Dimas, juga melakukan hal yang sama.
Berangkat dengan satu mobil, setibanya di Hotel Elle, mereka berpencar. Penampilan Aisyah tak begitu mencolok, ia hanya menggunakan pakaian kasual, celana jins, sepatu cats, dan baju kaos dilapisi kemeja. Disertai topi dan kaca mata hitam. Sementara tiga pria lainnya, menggunakan pakaian santai yang hampir sama.
Aisyah duduk di sofa tunggu yang ada di lobi hotel, sementara Bagas menuju resepsionis, berpura-pura menanyakan kamar hotel yang kosong, sedang Heru menuju toilet, dan Dimas sudah berada dalam lift.
Pengedar narkoba itu sedang melakukan transaksi di salah kamar hotel. Mereka mendapat informasi dari salah satu informan terpercaya, yang kerahasiaannya sangat dijaga.
Komunikasi antara ke empat polisi ini menggunakan earphone khusus yang diselipkan ke telinga dan terinstal pada jam tangan khusus mereka masing-masing. Hingga pembicaraan bisa dilakukan melalui jam tangan itu, tanpa ketahuan, tergantung kepiawaan mereka menggunakan saat berkomunikasi.
"Kamar 211, lantai tiga. Mereka sedang bertransaki, Ndan."
Dimas berbicara melalui sambungan komunikasi nirkabel lewat jam tangan. Bagas yang bertindak sebagai Komandan utama, ia berpangkat IPTU (Inspektur Polisi Satu), meskipun sama-sama lulus sebagai PAMA (Perwira Pertama), tingkatan Dimas naik lebih dulu dari Aisyah karena telah berhasil menyelesaikan satu kasus besar dan menyelamatkan keluarga pejabat daerah dari aksi pembunuhan berencana. Aisyah di bawahnya, ia berpangkat IPDA (Inspektur Polisi Dua), dan Heru sesama bintara berpangkat Brigadir Polisi Dua.
Empat orang ini, merupakan bagian tim Elang, yang langsung di komandoi sang Letnan, Bagas. Sementara anggota yang lainnya, diminta untuk siap siaga jika mendapat panggilan.
"Pantau terus! Ai, Her, naik!"
Bagas memerintahkan kedua bawahannya, agar segera menyusul Dimas. Sementara ia sudah menunjukkan identitas pada resepsionis di depan, meminta agar sang resepsionis melaporkan pada manajemen mereka, bahwa sebentar lagi akan ada aksi penggerebekan.
Security juga diminta untuk dikerahkan berjaga-jaga sekitar Hotel Elle, memastikan tidak ada jalan keluar yang luput dari pengawasan.
"Siapkan satu unit mobil dan beberapa personil lainnya."
Bagas pun mengeluarkan handphone dan menghubungi ke kantor, untuk segera mengirimkan mobil polisi membawa para pengedar, yang diketahui berjumlah tiga orang, di dalam sana.
Pemuda gagah itu langsung menuju lift dan menyusul tiga rekannya.
Aisyah, Heru, dan Dimas sudah berjaga di depan pintu kamar nomor 211, senjata juga telah dikacungkan ke arah pintu.
Tak lama, pintu kamar terbuka. Bagas segera mendobrak, karena saat melihat mereka, pelaku langsung berusaha menutup kembali pintu kamar.
Dua orang pengguna, pasangan muda-mudi nampak terkejut.
"Jangan bergerak!!!"
Heru menghardik lima orang itu, sambil mengarahkan senjata pada mereka. Aisyah lalu menyelipkan pistol dibalik baju. Kemudian mengeluarkan sarung tangan karet dan beberapa kantong plastik bening untuk menyimpan barang-barang bukti yang mereka temukan, dibantu oleh Dimas.
Sementara Bagas mengeluarkan borgol yang ia simpan di dalam tas sandang. Dan memborgol orang-orang itu.
Tak ada perlawanan berarti. Mereka terlihat tak tangguh sama sekali.
"Mereka bukan gembong!" ucap Bagas setelah selesai memborgol.
Aisyah sependapat.
"Bos loe siapa?" tanya Dimas sambil menodong satu pengedar dengan pistol yang ia pegang kuat dengan satu tangan.
Pengedar itu gemetar, tapi ia tetap bungkam.
"Entar aja, pake sengat listrik!" Aisyah memelototkan matanya pada ketiga pengedar, bermaksud mengancam. Dan ancamannya berhasil. Mereka semakin pucat, namun tetap bungkam.
Pasangan muda mudi pengguna narkoba tersebut tampak kuyu dan loyo. Aisyah melihat mereka geram. Ia membenci pasangan-pasangan seperti ini, ia benci dengan sarang prostitusi, ia benci dengan segala sesuatu yang berbau maksiat. Karena itulah ia benci dengan laki-laki yang sok-sok manis mendekatinya.
Dan yang membuatnya seperti itu adalah ayah biologisnya sendiri. Masuk polisi bukan tanpa tujuan, sejak tahu dirinya bukanlah anak kandung Ajay, bahkan hadir ke dunia karena hasil perkosaan, dan sempat membuaut Ibunya menderita, Aisyah sudah bertekad kuat di dalam hati, untuk mencari siapa ayah biologisnya, dan melempar biadab itu ke dalam penjara.
Aisyah tahu sejak usianya masih kecil, ketika ia sudah bisa mengerti benar dan salah. Saat sebuah pertengkaran mewarnai rumah tangga Arsy dan Ajay, ketika Arsy keceplosan mengatakan bahwa Aisyah bukan anak Ajay. Aisyah mendengar dengan sangat jelas.
Ia semakin menutup diri, namun terpacu untuk mengasah kemampuan, di bidang akademik, pun dalam berbagai olahraga. Aisyah bahkan sangat menyukai olahraga lari. Tubuhnya terbentuk tinggi semampai, dan sempurna. Meskpiun begitu, ia justru suka berpakaian kasual dan longgar. Gadis manis berambut pendek ini, juga senang menggunakan topi sehari-hari.
Ia tak ingin terlihat mencolok, karena meskipun terkesan cuek, Aisyah sadar wajahnya tidak lah buruk. Pesona timur tengah itu sebuah anugrah, hingga jika wajahnya terlihat sedikit saja, banyak pria yang dibuat dag dig dug.
Ini lah Aisyah Putri Nugrah, walaupun bukan darah daging Ajay, ia tetap diberikan nama belakang Nugrah. Ajay tak membedakannya sama sekali denggan Sekar Putri Nugrah.
***
***