Tadi malam, saat kembali ke rumah, Putra masih merasa sedikit aman. Sebab, Maya tidak terbangun sama sekali. Namun, pagi ini, saat turun untuk sarapan sebelum pergi ke kampus. Ia harus siap dengan tatapan tajam yang menyorotnya hingga selesai makan.
Maya melipat kedua tangan di atas meja tanpa beralih sedetik pun dari Putra. Sedangkan Adit dan Haz memilih untuk tidak terlalu ikut campur.
"Bun…"
Putra jengah juga, ia pun akhirnya memulai untuk membuka komunikasi. Orang-orang di meja makan itu hanya memilih diam, tak ada yang berinisiatif untuk bicara, walau hanya sekedar bercerita ringan saja, menghilangkan kekakuan yang sedang melanda.
Maya tak membuka mulut sama sekali untuk menjawab Putra, wajahnya masih menyiratkan kekesalan sambil menyipitkan mata geram.
"Ampun Bun."
Putra mengangkat kedua tangannya. Ia tak tahan dengan sikap dingin Maya.
"Semalam Abang nggak ngapa-ngapain. Abang cuma jagain, setidaknya sampai dia sadar. Kasihan Bunda, dia itu cewek tinggal sendiri, kondisi dia juga nggak baik Bun, waktu Abang pulang aja, badannya panas banget…"
Putra menghentikan kata-kata menyadari Maya semakin sinis menatapnya. Sekilas Adit dan Haz juga ikut melirik, namun kembali beralih ke makanan masing-masing, saat Putra menatap mereka, berharap ada bantuan.
"Badannya panas! Ngapain kok sampai tahu badannya panas?"
"Kan kepegang Bun…"
Lagi-lagi Putra menghentikan ucapannya, ia sadar dengan penggunaan kata yang salah. Hah! Putra mengubek rambutnya, yang tadi sudah disisir rapi.
"Bunda… percaya sama Abang… Nggak ada hal buruk yang terjadi…"
^^Cuma pelukan dikit aja Bunda… ^^ batin Putra kemudian, menyambung kata yang tak dapat ia lanjutkan.
Maya menghela nafas. Semua sudah terjadi, percuma saja meskipun diprotes. Ia akan berencana untuk melakukan pencegahan, agar hal demikian tidak lagi terjadi.
"Sudahlah, Bunda juga nggak mau tau."
Putra bernafas lega, Adit dan Haz juga ikut bereaksi yang sama.
"Tegang banget tadi, untungnya cepet lewat."
Haz meraih gelas berisi jus guava di hadapan, lalu meminumnya.
"Tapi… Bunda nggak akan biarin itu terjadi lagi. Yah, Bunda izin nanti ke rumah Arsy ya."
Adit hanya bisa melongo, ia beralih pandang beberapa kali dari istrinya yang tampak sedang merencanakan sesuatu, ke arah Putra yang tampak membenturkan kening di meja makan. Lalu ia pun mengangguk.
"Oh oke Bun."
"Bunda mau ngapain ke sana?"
Haz bertanya dengan lugunya.
"Merencanakan masa depan Abangmu yang lebih cerah."
Haz tertawa mendengar jawaban Maya yang melirik Putra sambil tersenyum sinis.
"Perasaan gue nggak enak, Bang," tambahnya.
Putra belum mengangkat wajah, ia masih menempelkan keningnya di meja makan.
***
***
Melupakan sejenak tragedi di rumah. Putra memilih duduk santai di taman kampus. Ia baru selesai bimbingan akhir. Sebentar lagi, jadwal seminarnya akan keluar. Akhirnya bisa bernafas lega, pendidikan Strata satunya selesai.
"Tra…"
Putra menoleh. Doni menepuk pundaknya.
Seharusnya, Doni dua tingkat di atasnya, namun, pemuda yang menjadi sahabatnya itu sempat menganggur dua tahun. Lulus dari bangku SMA, ia sempat ke Ibu Kota, karena ayahnya dipindahkan ke kantor cabang ibu kota oleh perusahaan tempatnya bekerja, yang ternyata adalah Malik Estate.
Di ibu kota, Ibunya juga mendapat pekerjaan di sebuah hotel ternama sebagai supervisor dapur sekaligus mengawasi kerja resepsionis. Dan kepulangannya kembali ke kota kelahiran karena ingin melanjutkan kuliah di sini. Aneh! bukankah lebih bagus kuliah di ibu kota, tinggal pilih universitas saja, rata-rata bagus-bagus kualitasnya. Baik swasta, apalagi negeri. Tapi, selama dua tahun di sana, dia tak melakukan apa-apa selain bermain game.
Namun, setiap ditanya Doni selalu punya jawaban sendiri, "Kasihan rumah gue, ditinggal lama ntar lumutan."
Sejak itu, tak lagi ada yang memertanyakan keputusan anehnya untuk kembali ke kampung halaman.
"Eh Don…"
"Gimana? udah ACC skripsi loe?"
"Udah, tinggal cetak bersih. Loe gimana?"
"Masih ada perbaikan dikit di bab empat. Keysha gimana?"
Putra mengangkat bahu. Ia tidak tahu, dan memang belum dapat kabar dari Keysha.
Tak lama, Keysha melintas, sendiri, sepertinya hendak menuju ke dalam kampus.
"Key…"
Doni memanggil. Keysha menoleh, lalu menghampiri dua sahabatnya itu.
"Gue ada bimbingan bentar lagi, ada apa?"
Raut wajah Keysha nampak lelah, dan tak bersemangat. Ia tak melirik sama sekali ke Putra.
"Loe sakit?"
Interaksi masih antara Keysha dan Doni.
Keysha menggeleng, "Capek aja, semalam ngejar perbaikan." Ia lalu melihat Putra dari sudut mata, yang dari tadi memandangnya.
"Sorry Key…"
Putra menyela.
"Ah, santai. Gue cabut dulu."
Keysha segera berdiri dan berlalu.
"Loe berdua ada masalah?"
Putra mengangkat bahu. Lalu menceritakan kejadian kemarin pada Doni. Dan Doni tertawa mendengar cerita itu. Pantas saja Keysha dibuat kesal, menyusahkan dan tidak pula diajak makan tepat waktu.
"Yang loe cari apaan di Bank itu?"
"Cewek."
Doni terperangah, "Loe cari cewek? Gue nggak salah denger."
Putra menggeleng, "Gue rasa, gue jatuh cinta sama dia."
"Hampir empat tahun gue kenal loe, baru kali ini denger loe bilang jatuh cinta sama cewek, gue jadi penasaran sama cewek yang berhasil buat loe tekuk lutut."
"Loe nggak bakal tau!"
Putra mengibaskan tangannya, lalu meraih ponsel yang bergetar di dalam saku celana.
#Ayah Calling#
"Ya, Yah."
{Abang udah selesai urusannya? }
"Udah, ada apa Yah?"
Putra diminta untuk datang ke kantor Malik Estate, ada tugas untuknya.
"Gue dipanggil bokap, duluan Don."
Doni mengangguk, ia pun juga pergi, sesaat setelah Putra beranjak.
***
***
Putra masuk ke dalam ruangan Adit. Di sana Adit sudah menunggu dengan beberapa ikat uang seratus ribuan, yang harus disetor ke Bank.
"Tolong Ayah ke Bank."
Putra tersenyum. Tentu saja ia bersedia. Ada alasan agar bisa berjumpa dengan gadis pujaannya. Dan pastinya, setiap tugas dari Adit, selalu ada imbalan. Begitulah selalu cara Putra saat kehabisan uang jajan. Ia akan menerima tugas dari Ayahnya, apapun itu, termasuk menjadi sopir saat Adit ke lapangan.
"Seneng ya?"
Adit tergelitik dengan ekspresi Putra. Ia sudah bisa saja menduga, pasti ada sesuatu.
"Yah…"
Dengan Adit, Putra seperti bebas bercerita, termasuk mengenai gadis yang disukainya.
"Semalam Abang memang nggak ngapa-ngapain."
"To the point, Bang. Ayah percaya Abang bisa jaga amanat. Ceritakan intinya? apa gadis itu yang Abang suka?"
Putra mengangguk. Adit lalu tertawa.
"Kamu dalam masalah, Bang. Kalau sampai Bunda tau."
Putra dibuat menghela nafas. "Abang belum pasti sama dia, Yah. Tapi, dia bisa bikin Abang jatuh cinta secepat ini."
"Apa ini yang buat Abang semangat ke Bank?"
Putra mengangguk.
"Dia kerja di sana? teller?"
Putra mengangguk lagi.
"Dan jangan bilang, dia yang bermasalah sama Bunda?"
Putra mengangguk agak berat kali ini. Kenapa Ayahnya bisa menebak dengan sangat tepat. Ia melirik Adit canggung.
Adit kembali tertawa.
"Susah solusinya kalau sudah begini, Bang."
Putra terdiam, ia sebetulnya belum memikirkan ke arah hingga restu orang tua. Saat ini, yang diinginkan hanya mengenal Kinan lebih, itu saja. Jika merasa cocok, mungkin perjuangan setelahnya akan berat untuk dihadang, mengingat Maya pasti akan menolak Kinan mentah-mentah. Apalagi… dengan fakta tersembunyi dibalik sosok jelita itu.
Putra menghela nafas dalam.
"Berat ya, Bang."
Adit menggoda anaknya. Ia memang tipikal ayah yang santai, karena itulah, baik Putra maupun Haz, sama-sama enjoy jika bercerita pada Ayahnya, ketimbang pada Maya.
Putra hanya mengusap tengkuk. Berat memang, tapi tidak untuk dipikirkan. Ia lebih memilih melalui saja hari-hari ini seperti biasa, dari pada harus memikirkan sesuatu yang belum terjangkau olehnya.
Tak lama, Putra pamit pergi. Ia tak ingin terlalu lama menggangu Adit, Direktur Malik Estate itu tampak sedang banyak pekerjaan. Lagi pula sudah pukul sepuluh, ia harus segera menyetor ke Bank, sebelum jam istrirahat.
"Langsung ke Bu Kartika aja, Bang. Kalau antriannya panjang."
Adit berpesan sebelum Putra beranjak pergi. Putra mengangguk. Jika antrian panjang, asalkan bisa berurusan dengan Kinan, tak jadi soal. Ia rela menunggu lama.
***
***