Kinan duduk sambil melipat kaki di atas tempat tidur kamar hotel nomor 203, di hadapannya berdiri pria yang ia beri nama MeTi, menghadap padanya, sambil perlahan membuka kancing kemeja kerjanya.
"Telur getarku dihancurin sama dia."
Kinan memperlihatkan benda kuning yang tadi diinjak Putra, sambil memasang wajah ditekuk. Ia ternyata benar-benar tidak ikhlas benda kotor itu musnah.
MeTi tertawa sambil mengambil hanger di lemari kamar hotel nomor 203 tersebut, lalu menggantungnya di dalam lemari, seolah tak peduli dan tak ingin tahu 'dia' yang sudah menghancurkan hadiah busuknya untuk Kinan. Sekarang ia hanya memakai anak baju, dan celana pendek atau celana dalam. Seperti itulah.
"Ini hadiah darimu," ucap gadis cantik itu lagi, masih dengan model gaya duduk yang tadi. Ia tak suka MeTi hanya tertawa menanggapi pengaduannya.
"Apa gunanya benda itu untuk saat ini? Ada aku."
MeTi menghampiri Kinan. Ia berdiri tepat dihadapan gadis itu, lalu perlahan mengangkat wajah Kinan dengan memegang dagu runcingnya.
"Kinanti Maya… Wajahmu memang benar-benar membuatku gila."
MeTi menatap Kinan begitu dalam. Ia seperti kembali mencari setiap inchi wajah yang dulu pernah begitu ia cintai, yang tak pernah bisa ia miliki lagi.
"Lagi… kamu selalu mengatakan hal yang sama… Maksudnya apa kalimat itu? Kau berkata seolah-olah bukan sedang bicara padaku."
Kinan menyingkirkan tangan MeTi di dagunya, lalu beranjak dari tempat ia duduk. Gadis itu memilih berdiri di dekat jendela, menyibakkan sedikit gorden yang menutupi.
"Ke sini lah!"
MeTi sudah berbaring di atas tempat tidur. Ia juga meminta Kinan untuk berbaring di sebelahnya.
Kinan tak bergeming, menoleh pun tidak. Seolah sedang enggan untuk berkegiatan ranjang seperti biasa. Ia menghela nafas dan menatap ke pemandangan bawah. Restoran hotel A. Sedang banyak pengunjung. Tak jauh dari situ, juga ada kolam renang. Tiba-tiba saja, bayangan Putra melintas di benaknya.
"Maya."
Kinan menoleh.
Maya? Ia seperti familiar dengan nama itu. Tapi sama sekali tak bisa diingat betul, kapan dan di mana nama itu terngiang.
"Aku akan ceritakan padamu."
Kinan pun melangkah mendekat, dan naik ke atas ranjang, lalu berbaring dalam dekapan MeTi.
"Dia cinta pertamaku. Ah, bukan, mungkin kusebut saja dia cinta dalam hidupku."
Kinan menatap wajah MeTi… MyTi… atau Mr. T, yang sebenarnya adalah Toni Hermawan, sang Direktur Utama Bank Kring, bos besarnya sendiri.
Kinan menamai MeTi hanya untuk mengelabui khalayak ramai.
"Aku terkejut saat melihatmu dalam seleksi akhir penerimaan karyawan tahun lalu. Wajahmu membuat jantungku berdegub kencang, seolah menarikku ke lorong waktu untuk kembali ke masa di mana, hari-hariku begitu indah bersama dengan Maya…"
MeTi atau Toni mulai bernostalgia dengan pikirannya, yang ia keluarkan lewat kata-kata pada Kinan.
Sementara Kinan hanya bergeming, ia seolah mematung saja dalam pelukan sang Dirut.
"Kau memiliki kemiripan dengannya. Wajahmu. Kecantikanmu. Bedanya kau tak memiliki pipi chuby seperti dirinya. Namun secara keseluruhan, kau dan dia hampir serupa. Dan entah kenapa, nama belakangmu Maya. Hal tersebut membuatku semakin menggilaimu. Bersamamu, seolah membuatku benar-benar memiliki Maya."
Kinan bangkit perlahan. Ada luka di dalam hatinya. Ternyata Toni hanya menjadikan dia pelampiasan atas masa lalu yang tak pernah ia miliki. Tetapi, gadis itu lalu kembali sadar, dirinya memang pantas diperlakukan begitu. Toh, menjadi simpanan begini, tidak hanya Toni, juga bos-bos lainnya, telah membuatnya menjadi pelampiasan sesaat saja. Di saat pria-pria beristri itu sedang tidak menginginkan istri mereka.
Kinan pun sadar, ia tak lebih dari seorang pelacur, hanya saja, ia mempunyai pekerjaan tetap yang cukup bergengsi, yang bisa membungkam dan menampar mulut orang-orang yang menghinanya.
Toni kembali menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Mau kemana?"
Kinan tetap diam.
"Lepaskan bajumu segera!"
Toni memerintahkan. Ia sama sekali tak tampak sedang menginginkan layanan Kinan, benar-benar terdengar tak sama saat di telepon tadi.
Tapi, Kinan tak bisa menolak, ia seolah sudah patuh saja terhadap setiap perintah yang Toni berikan.
"Berputarlah, belakangi aku, geraikan rambutmu!"
Kinan lalu memutar tubuh toplesnya. Apa yang diinginkan pria ini sebetulnya?
"Aku tadi melihat Maya bersama dengan pria yang sudah berhasil menyingkirkanku. Mereka tampak sangat bahagia. Dan melihatmu seperti saat ini, benar-benar telah mengobati rasa rinduku untuk melihat Maya dalam keadaan begini."
Kinan menghela nafas pelan. Dasar otak mesum. Maya itu mungkin orang baik, hingga tak patut bersanding dengan pria dengan pikiran kotor seperti Toni ini.
"Kemarilah, kau harus lakukan tugasmu. Aku menginginkannya, walau aku sudah tak bergairah, kau harus bangkitkan gairah itu lagi."
Entah apa yang sedang terjadi pada Toni, biasanya jika tak lagi bergairah, ia akan meninggalkan Kinan sendiri. Namun, kali ini, ia tetap ingin dilayani oleh Kinan, yang tampak sedikit lelah.
Kinan tak punya pilihan selain melakukan semua kehendak Toni.
***
***
Putra menyaksikan keromantisan orangtuanya itu. Ia tersenyum, sambil membayangkan kelak juga akan menjadi pasangan seperti ini dengan gadis pilihan hatinya.
Kinanti… Putra resah seketika memikirkan Kinan yang sedang berada di lantai tiga, sebuah kamar hotel, dengan siapa dia?
"Bang, kenapa nggak di makan itu ayam katsu pilihanmu?"
Maya mengagetkan Putra yang sedang melamun sambil menusuk-nusuk ayam katsu, yang kebetulan tersedia malam ini di Hotel A.
"Abang lagi mikiran apa?"
Kali ini Adit yang bersuara, sambil menyendok Sup Daging ke mulutnya.
Putra menggeleng, "Nggak ada, Yah." Lalu mulai memakan makanannya. Walau pikiran masih berkecamuk. Ia ingin sekali menyusul ke atas. Memastikan hal yang mengganggu dalam kepalanya.
"Oh ya, Yah. Bunda kepikiran sesuatu."
Saat dihadapan anak-anak, Maya dan Adit selalu menggunakan panggilan Ayah dan Bunda untuk masing-masing. Ini sudah mereka biasakan saat anak-anak masih bayi, awalnya untuk membiasakan Putra dan Haz memanggil orangtuanya begitu, hingga kini, sudah menjadi kebiasaan bagi mereka berdua.
"Apa Bund?" tanya Adit sambil melirik istrinya.
Putra dihadapan mereka, hanya menyimak tanpa melihat fokus pada Maya.
"Bunda mau carikan jodoh buat si Abang."
Putra tersedak, ia segera meraih air mineral di sisi kiri. Sementara Adit hanya melongo, ini di luar dugaan. Istrinya memang terkadang suka bersikap impulsive, menyampaikan apa yang sedang ada dalam pikirannya secara tiba-tiba. Selain posesif, sikap tiba-tiba ini juga sedikit mengganggu tentunya.
"Bunda apa-apaan sih."
Putra segera menyergah, saat kondisinya sudah stabil dari tersedak tadi.
"Loh, kenapa? kalau Bunda yang carikan pasti yang terbaik."
Maya tersenyum kemudian. Bayangan beberapa anak gadis teman-temannya sudah mulai bergantian hadir bagai slide foto presentasi.
Ia lalu menggeleng sendiri, setiap kali mengingat kelakuan, sikap atau bahkan latar orangtua dari gadis-gadis itu.
"Itu menggeleng semua, berarti kamu selamat, Bang. Belum ada yang cocok menurut Bunda."
Adit seolah memberikan support pada Putra agar tabah menghadapi ujian ini.
Putra menghela nafas sambil meringis, hah… Wajahnya lebih terlihat seperti sedang tertekan.
Sampai pada akhirnya, Maya tersenyum dan mengangguk.
Putra langsung dibuat lemas, Adit bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Ia lebih memilih menikmati supnya, menyeruput penuh kenikmatan.
"Bunda sudah punya calon."
Ucapan itu yang tidak ingin di dengar Putra. Ia seolah ingin menghilang saja dari meja itu.
"Yah, ingat dengan Aisyah kan?"
Adit pura-pura menanggapi dengan tampak sedikit berpikir, padahal dia langsung bisa tahu tanpa harus berpikir dahulu tentang nama yang disebut oleh istrinya.
"O iya… Bagaimana kabarnya?" tanya Adit mencoba mengalihkan pembicaraan istrinya, ini bentuk bantuan untuk sang putra.
Putra hanya meringis, ah apapun yang dilakukan Adit, takkan berhasil. Hingga pulang nanti pun, Maya masih akan membahas masalah Aisyah.
"Eh, kenapa tanya itu ke Bunda? Menurut Ayah, Aisyah cocok kan untuk Putra?"
Adit mengode-ngode Putra, agar membantunya menjawab, iya atau tidak. Tapi, Putra hanya pasrah.
"Boleh lah, tapi apa nggak ketuaan Bund?"
Maya mencoba memikirkannya lagi.
"Tiga tahun lebih tua dari Abang, nggak terlalu jauh menurut Bunda."
"Hah…!"
Putra semakin frustasi, ia mengacak rambutnya yang cepak.
"Kenapa Abang bersikap begitu?" tanya Maya heran.
"Tapi, Abang kan manggil dia Kak Aisyah Bunda. Bagaimana bisa, tiba-tiba menjadi calon istri Abang."
Adit mendukung jawaban Putra yang begitu tampak tak ingin dijodohkan.
"Panggilan itu bisa dibiasakan lagi. Lagipula Abang sudah lama tidak jumpa Aisyah, terakhir kalian jumpa waktu masih SD. Bunda tau Aisyah anaknya baik. Dia sedang di Polda Metro Jaya sekarang, Polwan itu bagus lo untuk jadi istri."
Maya malah tersenyum membayangkan Aisyah akan berdampingan dengan Putra di pelaminan.
"Bukan Polwan sembarangan dia Bund. Lulusan Akpol itu. Kasihan nanti si Abang, salah-salah langsung kena tembak."
Adit masih mencoba mencari celah untuk menyelamatkan anaknya.
"Ih Ayah, Abang ini kan bisa kita daftarkan juga di Akademi Kepolisian, nggak usah aja kerja di kantor ayah, biar Haz aja. Mereka akan semakin serasi."
"Bund…"
Putra seolah memohon, tapi Maya mengabaikan.
"Udah cocok. Bunda yakin, Aisyah pilihan yang tepat."
Putra dan Adit sama-sama menghela nafas. Pasrah sajalah. Mungkin kata itu yang ingin diucapkan Adit pada Putra lewat tatapan matanya.
Siapa Aisyah?
Dia adalah anak Arsy, tetapi bukan darah daging Ajay. Benar, Aisyah anak Arsy dengan pemerkosa itu. Tetapi, beruntung, setelah melahirkan, Ajay memutuskan untuk menikahi Arsy. Meskipun bukan darah daging, Ajay membesarkan Aisyah dengan kasih sayang yang tak berbeda dengan anak kandungnya sendiri dengan Arsy, Sekar.
Aisyah tumbuh jadi anak yang mandiri, ia tak manja, tak pula cengeng, namun pendiam, tak banyak bicara. Tegas dalam bersikap. Rupanya mirip dengan Arsy, wajah khas timur tengah. Manis, dan tak membosankan untuk dipandang.
Aisyah dan Putra sering bertemu saat masih kanak-kanak, namun, Aisyah tak pernah ingin berlama-lama berada di dekat Putra. Ia lebih memilih sendiri, dan menyendiri. Beberapa kali Putra mengajak bermain, tetapi Aisyah justru mendorong Putra dan mengusirnya.
Kini, Aisyah sudah menjadi seorang Polwan seperti cita-citanya dahulu. Ajay sangat bangga dengan anak sambungnya itu. Ia menuruti semua keinginan Aisyah, termasuk mendaftarkannya untuk belajar bela diri, karate dan taekwondo.
Aisyah semakin disegani, karena ia menjadi satu-satunya gadis yang sangat berpendirian di mana pun kakinya berpijak. Pantas kini ia menjadi seorang Polisi Wanita, sudah dua tahun ia menjalani pekerjaan sebagai abdi negara. Aisyah benar-benar bekerja dengan setulus hati.
***
***