Putra akhirnya memilih untuk memeriksa ponsel Kinan, untuk mencari nomor yang bisa dihubungi. Orang rumah gadis ini mungkin, mama, papa, adik, kakak atau siapa saja keluarganya. Tapi, ponsel yang basah itu terkunci.
>>Masukkan kode, atau gunakan sidik jari<<
Putra lalu mengeringkan jari jemari Kinan dengan tisu. Ia mencoba semua jari gadis itu, tapi tak ada yang cocok.
"Ponsel siapa sih ini sebenernya?" gerutu Putra sambil mengacak rambutnya.
Ia lalu membuka tas Kinan, mencari dompet, siapa tahu kode rahasia ponsel ini tanggal ulang tahunnya.
"Sorry Kinan, bukan gue lancang, tapi ini genting."
Tak ada dompet. Putra makin tak percaya dengan wanita ini. Bisa-bisanya bepergian tanpa dompet. Hah!
Apalagi yang bisa dicoba? Putra bingung sendiri.
Tak lama ponselnya berdering.
#Bunda Calling #
{Di mana Bang, ini sudah mau tengah malem, malah hujan. Abang di mana? }
Maya langsung saja mencecar anaknya begitu telepon dijawab.
Putra sampai menjauhkan handphone dari telinganya, suara Bunda sungguh nyaring terdengar.
"Abang sedang ada keperluan sebentar Bunda. Nanti Abang pulang, sebelum subuh."
{APA?! }
Maya berteriak histeris, dia tak pernah ingin anak-anaknya bersikap liar seperti itu, meski pun laki-laki.
{{Bunda, jangan lebay begitu."}}
Terdengar suara Adit menenangkan.
{Si Abang mau pulang sebelum subuh katanya, Yah! mana bisa Bunda tenang!"
"Bund… tenang, Abang lagi nyari barang ini, perlu banget buat besok dibawa ke kampus."}
Maaf Bunda terpaksa bohong, hanya agar Maya tenang.
{Apa? barang apa yang perlu? kenapa seharian Abang nggak pulang-pulang. Bunda juga nggak dikasih kabar. }
{{Bund, tenang dong."}}
Adit masih terdengar menenangkan.
{Apa sih, Yah? ayo cari si Abang sekarang, nanti dia sakit keliaran malam-malam, ini hujan nggak berenti dari tadi.}
Maya bahkan menyikut suaminya, hampir mengenai wajah lelaki itu.
"Bunda sayang. Abang udah gede, nggak perlu khawatir berlebihan gitu."
{Ya Abang nggak ngabarin Bunda dari tadi. Perasaan Bunda nggak enak, Abang tau kan, firasat seorang ibu itu jarang meleset? }
"Iya Bunda, Abang tau. Tapi, nggak ada yang terjadi sama Abang. Bunda tenang aja, ya."
Maya terdengar menghela nafas. {Mau jam berapa Abang pulang? Bunda kasih waktu satu jam dari sekarang? }
Putra tertawa, ia tergelitik dengan sikap Maya. "Dua jam deh."
{Lewat tengah malam, Nak. Nggak boleh.} Maya mulai melunak setelah mendengar tawa anaknya.
"Baiklah, baiklah Bund."
Maya lalu menutup telepon. Ia percaya anaknya akan menepati janji.
Putra memutuskan untuk melajukan kendaraan, entah kemana. Ia lalu menghidupkan penghangat suhu mobil, agar Kinan tak masuk angin.
Handphone Kinan kembali berdering. Putra langsung meraihnya, tadi ia letakkan di jok sebelah. Masih dari MeTi. Sebegitu khawatirnya pria itu rupanya.
Putra langsung mengangkat.
"Tolong dengarkan dulu, kirimkan alamat rumah Kinan, dia pingsan!"
Entah MeTi atau Toni mendengar atau tidak. Yang penting Putra sudah berusaha mencari jalan agar bisa mengantar gadis ini pulang.
Tak lama, ada pesan yang masuk ke aplikasi chatting Kinan. Dari nomor yang tak tersimpan di sana. Putra segera melakukan tangkapan layar, dan menahan agar ponsel itu tetap menyala.
Pemuda itu mengahapal secepat mungkin, alamat rumah itu.
[ Komplek Griya Cadas Blok K1 nomor 1.]
Shit! bahkan pria itu tahu dimana alamat gadis ini. Setelah hari yang menjengkelkan ini berlalu. Putra bertekad takkan mengingat Kinan lagi.
Dengan kecepatan hampir maksimal, Putra melajukan mobilnya. Tak lebih dari lima belas menit, ia sudah sampai di alamat yang dikirimkan oleh MeTi.
"Ada satpam nggak ya?"
Putra juga gugup, nanti dikira dia telah melakukan apa-apa pada Kinan, yang sedang tergolek tak berdaya di jok belakang mobilnya.
"Selamat malam, ada yang bisa dibantu Pak?"
Dari mana security itu muncul, portal komplek tadi terbuka, tiba-tiba saja tiangnya diturunkan.
Putra meyakinkan dirinya, kalau dia telah berbuat hal yang benar, jadi tak perlu gugup, nanti bisa disalah artikan oleh security komplek ini.
Ia lalu turun dari mobil.
"Begini Pak. Saya menemukan seorang gadis pingsan di tepi jalan. Jadi, seseorang memberitahu kalau alamatnya di sini."
Security itu melihat Putra dengan tampang curiga dan menyelidik.
"Pingsan kenapa tak dibawa ke rumah sakit? Apa anda sudah berbuat macam-macam padanya?"
Putra tergelak cemas. "Rumah sakit? O iya bener. Tapi identitas gadis itu tidak ada Pak. Bagaimana saya bisa membawanya ke rumah sakit?"
Security itu memanggil rekannya yang sedang menonton di dalam pos jaga.
Mereka berbisik-bisik, lalu yang tadi di dalam pos jaga, memeriksa ke dalam mobil Putra.
"Ya, coba di cek saja. Mungkin benar dia salah satu penghuni kompleks ini."
Putra masih mencoba menghilangkan kegugupannya.
Saat sampai di alamat rumah Kinan, hujan sudah mereda.
"Basah kuyup, Mas. Dari wajahnya seperti Mbak Kinanti. Yang…"
Security itu menggantung ucapannya saat melihat pada Putra, ketika bicara pada rekannya.
Putra berharap ia bisa mendengar lanjutan dari ucapan itu, tapi, ternyata tak dilanjutkan.
"Bisa diminta KTPnya mas? Kami tahan dulu, sampai dapat penjelasan dari Mbak Kinan, kalau dia memang tak diapa-apakan?"
Security yang agak senior, dari nama yang tertulis di seragamnya, Dani, meminta Putra menyerahkan KTP.
Putra merasa ini tak masuk akal. Ia bahkan telah menolong gadis itu. kenapa seolah-olah dia diperlakukan seperti seseorang yang dicurigai telah berbuat jahat.
"Mana KTPnya Mas?"
Putra masih tak ingin memberikan.
"Nggak mau. Saya di sini sudah berbuat baik, ngantar dia pulang. Hujan-hujanan pula, merepotkan aja!"
Kedua security itu bahkan memaksa Putra untuk mengeluarkan KTPnya. Putra tetap tidak mau.
Hingga Kinan keluar dari mobil, ia tampak sempoyongan.
Sementara Putra dan kedua security tersebut terlibat aksi kejar-kejaran. Lebih mirip seperti tiga anak kecil yang sedang berebutan sesuatu.
"Pak Dani, dia teman saya. Biarkan kami masuk, tak perlu periksa KTPnya."
Suara Kinan terdengar lemah, ia bahkan tersandar di sisi mobil.
"Eh… eh…"
Putra mengejar dan menahan tubuh gadis itu agar tak rebah dan jatuh.
"Makasih ya."
Kinan akhirnya mengucapkan kalimat itu saat Putra mendekap tubuhnya yang kedinginan, karena pakaian yang ia kenakan masih lembab.
Dan entah kenapa? rasa kesal pada Kinan seketika hilang, setelah melihat wajah pucat dan tak berdaya itu dari dekat, mengucapkan terima kasih padanya. Cinta memang membuat mata hati dan mata sebenarnya tertutupi.
Putra lalu menuntun Kinan untuk masuk kembali ke dalam mobil. Kali ini, Kinan memilih untuk duduk di depan. Dan Putra menuruti.
Sebelum masuk, Putra menatap tajam pada ke dua security yang sudah mengejar-ngejarnya. Ia lalu mengarahkan jari telunjuk dan tengah ke matanya, dan melakukan hal yang sama ke arah ke dua security tersebut, dari jarak jauh, mungkin menyuruh dua orang itu agar lebih fokus bekerja.
Dani dan Eko cuma menunduk-nundukan badan, tanda permohonan maaf, sudah bersikap kurang ajar pada Putra.
Kinan meminta agar segera menuju rumahnya. Tubuhnya benar-benar butuh untuk dibersihkan, lalu berbaring di atas ranjangnya yang nyaman.
Blok K1 nomor 1.
"Apa maksudnya ini?"
Putra tak percaya, Blok rumah Kinan hanya ada satu rumah dan itu pun nomor satu saja.
"Belum ada pembangunan lagi."
Kinan menjawab sambil berusaha untuk keluar.
"Eh, mau ngapain?" tegah Putra.
"Buka pagar," jawabnya lemah.
"Loe tinggal sendiri?"
Kinan mengangguk.
"Mana kuncinya, biar gue yang bukain."
Sempat menghela nafas sebelum meminta kunci pagar. Putra merasa hidup Kinan benar-benar jauh dari perlindungan dan perhatian keluarga. Mungkin itulah yang menyebabnya dia bebas melakukan apa saja. Tidak ada yang mengawasi, bahkan mengkhawatirkan.
Putra membuka pagar sedikit lalu membopong Kinan masuk ke dalam rumahnya.
"Mobil loe nggak dimasukkin sekalian."
Kinan membuka kunci pintu rumah.
"Nggak, gue langsung balik aja."
Putra menggeleng, ia sudah siap-siap untuk pulang, setelah memastikan Kinan masuk ke dalam rumah dengan selamat.
"Serah loe deh!"
Kinan lalu masuk, dan menghidupkan lampu dalam dan luar rumah. Baru akan berbalik, Putra justru mendengar bunyi seesuatu yang terjatuh.
Ah shit!
Kinan.
Putra segera menyusul ke dalam. Benar saja. Kinan kembali terjatuh dan terkulai di lantai dekat pintu masuk.
Pemuda itu mengangkat Kinan ke atas sofa dan membaringkannya di sana.
"Ah benar-benar merepotkan!"
Dan dia pun terpaksa akhirnya memasukkan mobil ke dalam garasi rumah Kinan. Tak mungkin membiarkan gadis ini sendirian dalam keadaan tak sadarkan diri begini.
***
***