Chereads / Another Winter / Chapter 20 - Sembilan Belas

Chapter 20 - Sembilan Belas

Bagaimana mungkin ia bisa memilih antara jaket dan kemeja kerja milik Nick kalau keduanya sependek ini? Naomi mengamati kedua pakaian yang dipinjamkan oleh Nick kepadanya lalu berpaling pada tumpukan pakaiannya yang basah dan lengket di atas wastafel. Kedua atasan itu tak cukup panjang untuk menutupi bagian atas lututnya. Ia kemudian mengerang kesal, "Memangnya kau tidak punya celana pendek?!"

Nick yang berdiri di luar, membelalak saat mendengar Naomi berseru dari dalam kamar mandi. "Sudah kubilang aku tidak punya! Kalau kau mau, kau bisa mengenakan celana panjangku."

Naomi menggigit bibir bagian bawahnya sambil berpikir keras. Tak lama kemudian ia membuka pintu dan mengintip keluar. Sebelah tangannya diulurkan pada Nick, "Berikan celanamu."

Tanpa pikir panjang, Nick berlari ke kamar tidurnya, membongkar dengan acak lemari pakaiannya lalu kembali ke depan kamar mandi dengan celana tidur yang ia temukan. Ia mengulurkannya pada Naomi sambil memalingkan kepala, setengah membelakangi kamar mandi. "Ini."

Naomi merampasnya dengan cepat lalu menutup pintu kamar mandi. Celana yang diberikan Nick hanya sebuah celana tidur yang sangat panjang, terlalu panjang bagi Naomi. Ketika dipakai, Naomi harus melipat bagian ujungnya sebanyak lima kali untuk menyamai tinggi badannya. Naomi menggerutu dalam hati, 'Kenapa lelaki itu tinggi sekali?'

Sebelum membuka pintu kamar mandi, Naomi mengecek penampilannya sekali lagi di kaca wastafel. Ugh... ia benci ia harus terlihat bodoh.

***

Nick berjalan mondar-mandir ruang tamu sambil sesekali mengecek Naomi. Saat pintu kamar mandi akhirnya terbuka dan Naomi melangkah keluar, Nick berusaha keras untuk tak mengamati penampilan Naomi. Meski ia terus pura-pura sibuk, sudut matanya menangkap bayangan Naomi yang kini mengenakan jaket abu-abu tebal miliknya dan celana tidur yang tak pernah ia pakai. Rambut pendeknya diikat asal, menyisakan rambut-rambut tipis di sisi wajah serta dahinya. Bahkan dalam keadaan seperti itu, Nick bertanya-tanya bagaimana Naomi bisa tetap terlihat menarik.

Ketika Naomi duduk di sofa, Nick memasuki kamar mandi sambil berkata, "Aku akan mengeringkan pakaianmu di mesin pengering. Kau bisa bersantai selama menunggu."

"Bagaimana aku bisa bersantai? Kau bahkan tidak punya televisi," keluh Naomi, sontak.

Nick yang menghilang ke ruang kecil di sebelah kamar mandi, tak langsung menjawab. Ketika ia kembali ke ruang duduk, ia menyeletuk, "Aku tidak suka menonton televisi."

"Lalu apa yang kau lakukan saat sedang bosan?"

"Mendengarkan musik, membaca koran. Aku terlalu sibuk untuk bisa bosan." Nick duduk di kursi meja makan yang terletak beberapa meter di seberang sofa.

"Terdengar sangat membosankan," komentar Naomi sambil duduk bersila di atas sofa.

"Bagaimana denganmu?" Nick bertanya balik.

"Well, sebenarnya... aku selalu memainkan biola saat pikiranku sedang kosong atau saat bosan. Tapi...,"

Mendengar ucapan Naomi, Nick sontak bangkit berdiri. Wajahnya tampak terkejut seperti baru saja mengingat sesuatu. "Oh, Naomi. Tunggu di sini."

Nick menghilang ke kamar tidurnya. Selama beberapa saat yang lama, Naomi hanya menunggu sambil memperhatikan jendela luar dan menikmati suara hujan yang lebat. Dan ketika Nick kembali, Naomi mengangkat wajah pada lelaki itu. Nick keluar dari kamar dengan kotak yang terlihat seperti koper kecil berwarna putih. Naomi tak langsung menyadarinya tapi begitu ia mengamati dengan seksama, ia langsung tahu kalau itu tas biola seperti miliknya di rumah.

Nick duduk bersila di lantai, di hadapan Naomi, kemudian membuka tas itu. "Sebenarnya aku berencana memberikan ini di pesta malam itu, tapi karena kau tidak datang- eh, maksudku, kau pergi... jadi aku menyimpannya sampai sekarang," Nick menjelaskan lalu dengan perlahan membuka tas biola berwarna putih tersebut.

Dari tempatnya duduk, Naomi dapat melihat biola kayu berwarna cokelat tua tersemat dalam tas itu dengan bow berwarna sama yang terletak di sisi atas bagian dalam tas. Nick mengeluarkan biola tersebut dengan sangat hati-hati, seolah terbuat dari kaca. "Dan karena sepertinya hari ini adalah hari pembayaran cicilan hutang, kau bisa membayarnya dengan memainkan ini."

Kedua mata Naomi berbinar penuh harapan dan senyuman lebar yang bahagia tersungging di wajahnya. Biola itu seperti magnet bagi Naomi, ia tak bisa mengendalikan kedua tangannya untuk tak menyentuh alat musik itu jika berada di dekatnya. Sambil menggigit bibir, Naomi menerima biola itu dengan perlahan.

Bau kayu yang kuat... lapisan leher biola yang mantap dalam genggamannya serta tempat ia menyenderkan dagu... semuanya terasa... pas. Sempurna. Naomi lalu menerima bow atau alat penggesek yang diberikan Nick. Setelah menyetel bunyi senar dan menyocokkan dengan standar, Naomi menempelkan alat penggesek pada empat buah senar biola dan menggeseknya pelan.

Bunyi gesekan biola dalam kunci D memenuhi ruangan. Nick tersenyum mendengarnya lalu melipat tangan di dada, bersiap menikmati pertunjukan musik perdana yang diberikan Naomi.

Setelah meragu sejenak, Naomi mulai menggerakkan tangannya, memainkan lagu yang selalu menjadi pilihannya, lagu yang telah menjadi kesukaannya sejak kecil - Waltz of The Flowers. Dan karena Nick memiliki album itu di mobilnya, ia menyeletuk, "Tchaikovsky."

"Pertunjukkan kesukaanku; The Nutcracker," tambah Naomi sambil tersenyum.

Jari-jarinya bergerak lincah pada papan jari sementara tangannya yang memegang bow bergerak naik turun, mengeluarkan suara musik yang merdu yang kini beradu dengan suara hujan deras di luar. Ketika ia menyudahi permainannya, Nick bertepuk tangan sambil tersenyum lebar, senyuman yang puas. "Luar biasa!"

Naomi setengah membungkuk sambil berkata, "Terima kasih, aku tidak menerima permintaan untuk foto bersama."

"Oh, sayang sekali. Aku sudah membayar lebih untuk sesi VIP." Nick balas bercanda sambil setengah tertawa.

Kemudian Naomi memandang biola yang ia genggam erat dengan tangan kirinya.

"Naomi?" panggil Nick. "Kenapa kau setuju untuk mengambil alih restoran keluargamu?"

Naomi termenung sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak menginginkannya." Ia menggeleng. "Tapi, karena orang tuaku pergi... bukankah aku tidak punya pilihan lain?"

"Jangan anggap ini sebagai hinaan atau semacamnya tapi... menurutku kau benar-benar tidak berbakat dalam mengelola bisnis. Maksudku, kenapa kau tidak memulai karirmu di bidang yang kau sukai dan-,"

"Aku tidak bisa begitu saja membuang bisnis keluarga yang sudah berjalan selama dua puluh tahun lebih, Nick." Naomi memotong sambil mendengus, pasrah.

"Aku tahu," gumam Nick sambil memandang Naomi. "Karena itu aku ingin mengajukan sesuatu."

Naomi mengerutkan alisnya, samar.

Melihat Naomi tak menjawab, Nick melanjutkan, "Aku ingin mengajukan kerja sama. Bagaimana kalau restoran keluargamu diambil alih oleh-,"

"Oh, tidak, tidak! Aku tidak pernah berniat untuk menjualnya."

"Bukan itu maksudku! Dengarkan aku dulu," pinta Nick sambil menatap Naomi, serius. "Restoran keluargamu akan tetap menjadi milikmu. Aku hanya akan mempekerjakan seseorang dari perusahaanku untuk mengelola restoranmu, hanya untuk mengelola. Sebagai manager. Aku hanya ingin membantu agar kau... kau tahu, bisa fokus melakukan hal lain - melakukan sesuatu yang kau cintai, mungkin?"

Melihat Nick melirik biola dalam genggaman Naomi, Naomi tertegun. Hening selama beberapa saat yang lama sebelum Naomi mengangkat wajah pada Nick sambil tersenyum kecil, "Terima kasih, Nick. Tapi aku tidak bisa memberikan jawabannya sekarang."

"Tidak apa-apa. Datanglah kembali padaku saat kau memiliki jawabannya." Nick balas tersenyum sambil menatap Naomi. "Aku akan menunggu."

Naomi duduk di sofa, menunduk menatap Nick yang duduk bersila di lantai, di hadapannya. Ia menatap mata lelaki itu cukup lama, tapi kali ini, entah mengapa Naomi merasakan hal yang berbeda dari tatapan itu. Sesuatu yang hangat dan... tulus. Hal itu membuat Naomi tak ingin mengalihkan matanya tapi, ia sadar ia sudah terlalu lama tak bergerak. Akhirnya Naomi berdeham. "Ini," ucap Naomi sambil mengembalikan biola pada Nick.

Nick menggeleng, "Itu milikmu sekarang."

Naomi mengerutkan alisnya, curiga. "Kalau kau memberikannya padaku, kau membuat tumpukan hutangku padamu semakin menggunung."

"Kalau begitu sepertinya kau harus menghabiskan sisa hidupmu membayarnya sampai lunas," jawab Nick sambil tersenyum.

"Dengan cara apa? Memerasku dan membuatku melakukan hal-hal yang tidak kuinginkan?"

Nick menggeleng. "Dengan tersenyum seperti itu."

Naomi mengerjap kemudian mengalihkan pandangannya dari Nick. Merasakan suasana di antara mereka semakin canggung, Nick menambahi, "Dan makanlah lebih banyak, kau terlihat seperti tulang berjalan. Laki-laki tidak suka wanita seperti itu."

Naomi melempar bantal sofa pada Nick sambil mengeluh, "Memangnya aku peduli apa yang dipikirkan laki-laki?! Semua lelaki berkata seperti itu tapi nyatanya mereka lebih suka model-model yang ada di majalah. Wanita-wanita seperti tulang berjalan yang kau bilang."

"Aku tidak."

"Bohong."

"Aku tidak bohong," Nick menekankan. "Aku suka wanita yang sehat, bukan wanita yang kurus atau gemuk. Kalau wanita yang kusukai sehat dan berbadan kurus, itu masalah lain. Tapi dalam konteksmu, kau terlihat tidak sehat. Selain seperti tulang berjalan kau juga terlihat seperti zombie. Memangnya berapa jam kau tidur setiap malam?"

"Entahlah. Dan aku tidak peduli. Lagipula aku sedang tidak berusaha untuk disukai olehmu." Naomi bersedekap di sudut sofa sambil memeluk biola barunya dengan wajah sebal.

Nick tersenyum lalu berbaring di atas lantai. Sambil mendengar suara hujan yang semakin reda, Nick menyeletuk, "Aku akan mengantarmu pulang."

"Terima kasih."

Malam itu, dalam hujan lebat di luar dan biola baru dalam pelukannya, untuk pertama kali dalam dua tahun terakhir, Naomi merasa tenang dan aman. Dan itu semua berkat Nicholas Boucher.