Hari Sabtu pekan itu...
Nick menghentak-hentakkan kakinya di tanah sambil menghembuskan napas. Hembusan napasnya itu membentuk uap tipis yang langsung menghilang. Nick menoleh kesana-kemari, mengecek kedatangan seseorang yang tak kunjung datang.
Ia sudah berdiri kedinginan di depan pintu masuk Central Park selama kurang lebih lima belas menit. Angin musim gugur yang terasa seperti musim dingin membuatnya menggertakkan rahang, kedinginan. Nick membetulkan posisi syal di lehernya, berharap usahanya itu dapat menghangatkan tubuhnya.
Langit hari ini mendung. Tidak ada matahari meski hari masih siang. Permukaan aspal jalan raya tampak basah, mobil-mobil yang berlalu di atasnya menyipratkan air ke tepi jalan. Bau hujan yang baru saja berhenti menciptakan petrikor, aroma yang disukai Nick. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam sambil menikmati aroma hujan. Dan ketika ia membuka matanya...
"Boo!"
Nick melonjak kaget. "Naomi? Sejak kapan kau ada di sana?"
Naomi tersenyum sambil menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku mantel. "Sejak kau memejamkan matamu seperti orang gila. Kau tidak boleh melakukan itu di tempat seramai ini."
Nick tersenyum kecil, "Kau harus memejamkan mata kalau mau menikmati aroma hujan yang menenangkan. Kau boleh mencobanya sekarang. Ayo, lakukan."
"Tidak mau." Naomi mengerutkan alisnya, sebal. Ketika ia hendak mengucapkan sesuatu, Naomi menyadari sesuatu yang melilit leher Nick. Syal berwarna abu-abu. "Oh, syal itu..."
Nick mengikuti arah pandang Naomi dan menunduk ke arah syal yang ia kenakan. "Oh, ini. Wanita yang sangat galak memberikan ini padaku sebagai kado ulang tahun."
Naomi tak begitu menanggapi ucapan Nick, ia malah tersenyum sambil bergumam, "Kau menyimpannya..."
"Tentu saja. Kau pikir aku membuangnya ke jalanan begitu kau melemparnya ke wajahku hari itu?" Nick bertanya dengan sinis. "Meskipun aku sangat ingin melakukannya tapi kupikir-pikir, syal ini tidak bersalah. Jadi..."
Entah apa yang diucapkannya yang membuat gadis itu tersenyum, namun Nick menikmati pemandangan itu. "...jadi, apa ada makanan yang kau pikirkan untuk makan siang?"
Nick mulai berjalan, memimpin langkah di sebelah Naomi yang mengikutinya. Nick pikir gadis itu akan menggeleng dan memberitahu Nick dia akan menuruti pilihannya seperti yang dilakukan gadis-gadis yang pernah ia temui sebelumnya. Tapi, herannya, Naomi justru melakukan yang sebaliknya. Gadis itu mengangguk, "Ada. Sudah lama aku tidak ke sana. Kedainya tidak jauh dari sini. Ayo."
"Kedai?!"
"Jangan mengeluh sebelum mencicipinya. Ayo."
Naomi menarik lengan mantel Nick dan berjalan lebih cepat.
***
"Ini dia tempatnya." Naomi berhenti di pinggir jalan Colombus Avenue setelah berjalan dan menyeberang beberapa kali.
Mereka berhenti di depan sebuah gerobak angkut yang terparkir di atas trotoar. Gerobak yang mirip dengan truk kecil itu memiliki papan nama yang cukup besar di bagian atas, dengan tulisan Zozo Kebab. Truk kecil itu memiliki jendela besar yang memperlihatkan pemiliknya memasak dengan terbuka dan meja panjang kecil di depan jendela; tempat para pembeli menggunakan alat makan sekali buang, saus serta tisu.
Dari tempatnya berdiri, Naomi dapat mencium aroma daging kambing bakar, daging sapi goreng yang bercampur dengan bau keju meleleh... sayur-sayuran segar dan bawang bombai... menciumnya saja sudah membuat perutnya berbunyi. Naomi langsung menoleh pada Nick. Ia baru hendak mengatakan sesuatu namun saat melihat ekspresi wajah Nick, Naomi menelengkan kepala, "Kenapa tersenyum seperti itu?"
Sepertinya Nick sedang melamun, karena ketika Naomi bertanya, lelaki itu langsung tersentak. "Eh? Apa? Kita sudah sampai?"
Naomi menunjuk ke arah gerobak kebab tak jauh dari mereka. "Itu. Ayo, aku sudah sangat lapar."
Naomi menarik Nick untuk berjalan lebih cepat.
***
Entah karena gadis itu ingin buru-buru sampai atau karena jalanan yang sibuk dengan pejalan kaki dan mobil-mobil yang berlalu, Naomi tidak sadar kalau sejak tadi ia mencengkeram pergelangan tangan Nick dengan cukup kuat. Sejak menyeberang jalan dari Central Park dan menyusuri trotoar melewati dua blok, gadis itu berpindah dari lengan mantelnya ke pergelangan tangannya. Tentu saja Nick merasakannya, ia selalu mengamati gerak-gerik gadis itu. Dan Nick tak memindahkan pandangannya sedetik pun dari genggaman tangan gadis itu.
Dan ketika akhirnya sampai, Nick sadar kalau ia harus mengatakan sesuatu. Tapi perasaan hangat yang disalurkan permukaan tangan Naomi, membuatnya tidak fokus. Sampai akhirnya gadis itu bertanya, "Kenapa tersenyum seperti itu?"
Nick mengerjap dan berusaha untuk tak bersikap bodoh. "Eh? Apa? Kita sudah sampai?"
Naomi melepaskan cengkeramannya lalu menunjuk ke arah gerobak makanan berwarna hijau tak jauh dari mereka. "Itu. Ayo, aku sudah sangat lapar."
Baru saja Nick hendak berkomentar, gadis itu lagi-lagi mencengkeram tangannya dan menariknya dengan kasar. Nick bertanya-tanya dalam hati, gadis ini dalam keadaan lapar saja bisa menarikku dengan kekuatan sebesar ini, apa yang bisa dia lakukan kalau sudah makan?
"Aku akan memesan roasted beef kebab. Bagaimana denganmu, Nick?" Naomi bertanya setelah melepaskan tangannya dan mengecek papan menu yang terpampang di samping papan nama.
Nick mengerutkan keningnya, bingung. "Eh... apa saja yang tidak mengandung-,"
"Makanan laut? Baiklah. Hmm," Naomi mengetuk dagu dengan jari telunjuknya dan berpikir keras.
Nick tidak pernah melihat Naomi begitu antusias; kedua matanya berbinar tidak sabar, kedua kakinya tak bisa berhenti bergerak. Senyuman gadis itu pun terlihat lebih berwarna dari yang pernah ia lihat. Dan, oh, coba lihat. Pipinya tampak lebih terisi. Naomi kini terlihat lebih sehat dari sebelumnya. Pemandangan itu membuat Nick tersenyum, senang.
"Aku akan memesankan roasted lamb kebab untukmu," ucap Naomi lalu membayar pesanan mereka.
"Kenapa kau membayarnya?" tanya Nick ketika mereka menunggu pesanan mereka dibuatkan.
Naomi memutar bola matanya. "Kau meminjamkanku uang sejuta dolar, ingat? Ini semua uangmu. Aku akan benar-benar mentraktirmu saat aku mendapatkan gaji pertamaku sebagai pemain biola di orkestra."
"Hmm." Nick mengangguk. Beberapa saat kemudian matanya melebar dan ia menatap Naomi dengan kaget. "Apa itu artinya...,"
"Ya." Naomi tersenyum dan mengangguk penuh semangat. "Aku menerima tawaranmu."
Senyuman Nick mengembang lebih lebar, mengunjukkan barisan giginya yang putih. Ada kekuatan besar dalam dirinya yang membuatnya ingin memeluk Naomi, tapi tentu saja ia tak bisa melakukan itu. Alhasil, ia hanya berkata, "Aku senang mendengarnya. Aku akan menyuruh karyawanku untuk mulai bekerja di restoranmu secepat mungkin. Dan apa kau ingin aku mencari grup orkestra yang sedang membutuhkan pemain biola? Atau kau ingin aku menghubungi perusahaan rekaman untuk merekam permainanmu? Kau bisa menjadi pemain biola solo!"
"Nicholas," Naomi membuat Nick berhenti bicara. Lalu ia mengusap lengan mantel Nick dengan lembut. "Kau sudah cukup banyak membantu. Biarkan aku melakukan ini sendiri."
"Baiklah. Telepon aku kalau kau membutuhkan sesuatu."
"Hanya dalam keadaan darurat."
Nick menggeleng sambil tersenyum kecil.
Beberapa menit kemudian, pemilik kedai kebab memberikan pesanan Naomi dan Nick yang terbungkus dengan kertas anti minyak dan tisu. Nick menerima makanannya dari Naomi dengan tatapan bingung, "Kita membutuhkan tempat duduk. Kenapa pemiliknya tidak menyediakan meja makan? Kalau begini, bagaimana orang-orang bisa menikmati makanannya?"
"Orang-orang biasa tidak makan di meja makan saat makan di pinggir jalan, Nick," jelas Naomi sambil menggeleng, tidak percaya. "Kami makan sambil berjalan atau berdiri di depan kios makanannya. Atau kau bisa duduk di bangku taman dan menikmati makananmu sambil melihat pemandangan."
"Orang tidak boleh makan sambil berjalan, bisa merusak pencernaan. Dan apa maksudmu dengan kami? Memangnya aku bukan orang biasa?"
"Tidak, kau bukan orang biasa. Kau seorang perfeksionis sarkastik yang senang memprotes apapun yang tidak selaras dengan keinginanmu," omel Naomi sambil setengah mengerang. "Sekarang berhenti mengeluh dan makanlah makananmu sebelum aku menyatakan kau gagal dalam kencan kita."
"Cih." Nick mengerutkan dagu. "Ancaman macam apa itu."
Mereka lalu menyeberang jalan, menyatu dengan kerumunan pejalan kaki yang memenuhi taman kecil Lincoln Center yang terletak bersebelahan dengan stasiun kereta bawah tanah. Nick berjalan lebih cepat dan melewati kerumunan orang ketika melihat satu bangku kosong untuk dua orang di bawah pohon. Tanpa basa-basi, ia langsung menempatinya dan aksi itu membuat Naomi tertawa. "Aku benar-benar tidak percaya ini."
"Apa? Kau harus cepat menempatinya sebelum diambil orang lain," gerutu Nick sambil membenarkan posisi mantelnya.
Naomi duduk di samping, meletakkan tas tangannya di atas pangkuan kemudian menghirup aroma kebab panas dalam genggamannya. "Ya Tuhan, ini benar-benar surga."
Nick mendesah, tak percaya. "Oh, yang benar saja. Kebab berharga 8 dolar ini adalah surgamu?"
"Aku tidak tahu makanan seperti apa yang menjadi surgamu tapi, ini makanan kesukaanku sejak kecil."
Nick mengamati Naomi yang tersenyum kecil, menghirup aroma makanannya sambil memejamkan mata. Oh, lihat pemandangan itu. Ia tak pernah tahu kalau sesuatu yang sederhana bisa membuat Naomi begitu bahagia. Nick lalu melirik kebab dalam tangannya sambil mengerutkan alis.
Ia pernah makan kebab di sebuah restoran di Canary Wharf, London. Kebab itu dibuat dengan perpaduan daging wagyu dari Jepang dan jamur morel segar yang dibumbui dengan cuka Italia berumur 25 tahun. Dan kebab mahal itu tidak terlihat seperti yang sedang digenggamnya sekarang -tak beraturan dan berminyak. Nick tanpa sadar menarik sudut-sudut bibirnya turun dan ekspresi wajahnya menakutkan, seperti baru saja melihat cacing keluar dari makanannya.
Naomi melihat itu dan tersenyum lalu menepuk bahunya, "Kalau rasanya tidak enak, kita akan pindah ke restoran manapun yang kau mau. Aku berjanji."
"Benarkah?" Nick mengangkat alisnya.
Naomi mengangguk.
Nick menelan ludah lalu ia mendekatkan kebab ke mulutnya sambil menutup mata dan hal selanjutnya yang terjadi, kebab berminyak itu sudah berada di mulutnya. Nick mengunyah makanan itu... ia membuka matanya perlahan-lahan... lalu Naomi tersenyum padanya. "Bagaimana?"
Naomi benar. Makanan ini terasa seperti surga. Meskipun sedikit berminyak, salad segar yang bercampur dengan potongan daging kambing panggang yang gurih, bercampur dengan saus bawang dan tomat... rasanya tidak kalah lezat dari kebab yang pernah ia makan di London. "Ini benar-benar lezat."
Naomi tersenyum lebar, senyuman yang puas. "Sudah kuduga! Rasanya seperti surga, bukan?"
"Hmm." Nick mengangguk. "She..pherti shurga," ucap Nick dengan mulut yang penuh.
Naomi terkekeh. Nick memang mengakui rasa makanan itu sangat enak, tapi ia tidak yakin makanan itu yang membuat suasana ini seperti surga.
Setelah menyelesaikan makan siang mereka, Nick langsung bangkit berdiri dan membersihkan permukaan celana kainnya. "Karena kita sudah berada di sini, sepertinya tidak ada salahnya kalau kita menonton pertunjukannya lebih awal."
Naomi mengangkat sebelah alisnya. "Pertunjukan?"
***
"Alice in Wonderland!" Kedua mata Naomi melebar penuh semangat saat menyebutkan nama poster pertunjukan balet di hadapannya.
Sepuluh menit kemudian, Nick dan Naomi tiba di teater pertunjukan seni, teater David H. Koch. Lalu Nick membawa Naomi ke konter bagian poster-poster pertunjukan di sebelah konter pembelian tiket.
"Aku sudah mencari dengan susah payah tapi tidak ada pertunjukan Nutcracker di seluruh New York," jelas Nick dengan nada menyesal.
Naomi menggeleng sambil tersenyum penuh. "Tidak, tidak. Aku benar-benar menyukai pertunjukan seni dan Alice in Wonderland... wow! Aku belum pernah menontonnya."
Kebab pinggir jalan, pertunjukan seni... Nick menghitung semua hal yang dapat membuat Naomi tersenyum seperti itu, senyuman yang bahagia. Dan ia akan mengingatnya dengan baik agar ia selalu bisa membuat gadis itu senang.
Setelah menghabiskan waktu cukup lama melihat ke sekeliling lobi utama teater dan berbincang-bincang, akhirnya pertunjukan dimulai. Nick dan Naomi duduk di barisan paling depan di balkon tingkat pertama, di mana pemandangan panggung terlihat cukup jelas.
Dari awal musik orkestra bermain hingga di tengah pertunjukan, Naomi duduk di tepi kursi dengan antusias. Sorot matanya sangat tajam, mengamati setiap gerakan balerina di atas panggung seperti tidak mau kelewatan apapun. Naomi begitu dekat dengan pagar tembok balkon, membuat Nick sempat cemas kalau-kalau gadis itu terjatuh.
"Oh, lihat! Dia muncul!" Naomi memukul bahu Nick tanpa melepaskan pandangannya dari panggung.
Nick mengikuti arah pandang Naomi lalu menyeletuk, "Mad Hatter?"
Kini gadis itu menoleh padanya dan menatapnya dengan heran. "Kau tahu?"
"Siapa yang tidak tahu?"
"Biasanya para lelaki tidak memperhatikan hal semacam ini. Lagipula memangnya bagimu ini tidak membosankan?"
"Sama sekali tidak."
Nick berbohong. Ia sebenarnya mengantuk, ia mengerti jalan ceritanya tapi pertunjukan balet tanpa dialog dan lagu klasik yang bising benar-benar tidak menyenangkan.
Tapi melihat Naomi yang duduk di ujung kursi, kedua matanya yang berbinar bahagia dan selalu bertepuk tangan kecil setiap melihat pemeran utamanya melakukan gerakan pirouette lalu tersenyum seperti anak kecil... pemandangan itu membuat Nick berharap pertunjukannya bisa diadakan lebih lama. Sedikit lebih lama lagi... ia ingin melihat Naomi sedekat ini, tersenyum seperti itu... lebih lama lagi.
Sayangnya dua jam berlalu dengan sangat cepat. Ketika tirai turun menutupi panggung dan para penonton bangkit berdiri untuk memberi tepuk tangan, Nick memejamkan mata dengan sebal. Ia mengutuki siapa pun yang menciptakan pertunjukan itu dalam hati.
"Oh, itu tadi benar-benar menyenangkan!" Naomi berseru pelan saat berjalan keluar dari teater sambil melompat-lompat kecil. Ia kemudian berhenti berjalan dan berpaling pada Nick. "Terima kasih banyak untuk hari ini, Nick."
Nick tersenyum, senang.
"Nicholas?"
Nick baru hendak membuka mulut, mengucapkan sesuatu ketika mendengar namanya dipanggil. Nick berpaling ke arah sumber suara tersebut, suara wanita... wanita yang ia kenal dengan baik. Entah mengapa perasaannya tak enak. Dan begitu ia melihat pemilik suara itu, lututnya terasa lemas, tak berdaya.
"Adele," sapa Nick, datar. Senyuman di wajahnya lenyap seketika wanita itu tersenyum padanya.