Chapter 15 - Maaf

Kalian tau apa yang menyenangkan jika sedang marah? Yaitu makan, makan, dan makan. Itulah yang Melodi lakukan saat ini. Mengunyah dengan brutal makanan-makanan yang baru ia keluarkan dari kulkas tadi.

Bolu, ice cream, silverqueen, yakuld, dan lain sebagainya berserakan di meja makan. Gadis yang memakai piyama berwarna biru langit itu tengah menatap tajam kursi meja makan yang ada di depanya. Bersamaan dengan tangan yang sibuk menyendok ice cream di dalam wadah tupperware berwarna cream kesayangan bundanya.

"Ya, Allah Melodi! Kamu ngapain kok makan beginian tengah malam? Nanti sakit perut baru tau rasa!" omel Diana yang ingin minum ke dapur.

Melodi hanya diam, fokus pada makanannya.

"Ditanyain malah diam, bisu kamu?"

Gadis tersebut masih tetap mendiami Diana. Membuat wanita paruh baya yang berdiri di dekat meja makan itu menghembus nafas pasrah.

"Ya udah terserah, nanti kalau sakit perut jangan ngadu-ngadu. Itu ngunyahnya juga hati-hati, jangan kayak gak makan seminggu aja kamu." Diana berjalan pergi setelah menepuk pelan bahu Melodi.

Melodi tetap saja mendiami wanita itu, hingga Diana tidak tampak lagi di ruangan itu tiba-tiba datang lagi seseorang ke dapur. Membuat tatapan Melodi yang tengah fokus ke makanannya baru-baru itu beralih ke arah gadis yang berjalan pelan dengan rambut yang berantakan itu.

Gadis yang 'tak lain adalah Rena itu berjalan seraya mengusap-usap matanya, gadis itu terlihat berusaha mengumpulkan kesadarannya setelah terjaga dari tidurnya tadi. "Mel, itu siapa sih. Dari tadi lemparin jendela kamar, lu? Kalau pecah kena marah Om Reno baru tau rasa," omel gadis itu dengan suara khas bangun tidurnya.

Melodi seketika mengernyit, lalu akhirnya menyahut, "Siapa?"

"Malah balik tanya, liat sonoh ... gue takut."

Melodi meletak sendok ice creamnya, lalu berjalan dengan ragu ke dalam kamar.

Sesampai di kamar, fokus gadis itu terambil alih oleh bunyi ponselnya di atas nakas. Gadis itu berjalan pelan ke arah nakas lalu melihat siapa yang menelpon.

"Ngapain dia nelpon jam segini?" gumam pelan gadis itu melihat nama Dareen yang tertera di sana.

Ini sudah pukul 00.00, malam. Dan lelaki lajang itu masih menelepon Melodi. Sedari tadi Melodi di teleponnya, tetapi tidak dihiarukan oleh gadis itu. Dan mungkin sudah ada 50 panggilan 'tak terjawab darinya, atau mungkin lebih.

Pletak!

"EH, TAIK KENTUT SONTOLLOYO!" gadis itu terkejut ketika mendengar bunyi detingan pada kaca jendela kamarnya.

"Tuh, 'kan gue bilang juga apa. Liat sonoh, Mel ... gue takut," timpal Rena yang baru saja menyusul gadis cantik itu.

Melodi menatap jendela kamar yang hanya ditutupi gorden putih. Gorden itu terlihat bergoyang karena semilir angin malam yang menyelinap masuk ke kamar. Menambah kesan horor bagi siapa saja yang ada di dalamnya. Di tambah lagi dengan lampu kamar yang sialnya dimatikan oleh Rena saat gadis itu ingin tidur tadi.

"M-mel, idupin dulu lampunya, gue takut ...." rintih Rena yang berdiri di belakang tubuh Melodi sambil mencengkram kuat piyama gadis itu.

"Lu apaan sih Ren! Ini juga apaan megangnya kenceng bener, gue juga takut bego! Tapi gak setakut elu!" kesal Melodi melepas paksa tangan Rena yang mencengkram pakaiannya.

Melodi perlahan berjalan ke arah saklar kamar untuk menghidupkan lampu, setelahnya barulah ia berjalan pelan ke arah jendela kamar. Tidak lupa diikuti oleh Rena dari belakang.

'Oke tarik nafas, Mel ...,' batin Melodi lalu menghembus sejenak. Dengan jantung yang berpacu dengan cepat gadis itu perlahan membuka sedikit gorden jendela untuk mengintip.

Pletak!

"AAAH!"

Bruk!

"Ya, Allah! Hampir aja!" Gadis yang baru saja jatuh tersungkur di lantai kamar bersama dengan sahabatnya itu mengumpat habis-habisan. Melodi mengumpat karena kaget, sedangkan Rena mengumpat karena kesakitan setelah ikutan terjatuh dan ditimpa Melodi, entah apa penyebabnya.

"Lu kenapa sih?! Sakit tau gak, tiba-tiba mundur sampe jatuh gitu."

"Awww ... pinggang gue ...." gadis berambut panjang itu meringis kesakitan setelah terjatuh ke lantai. "Gue kaget Ren, tuh orang tiba-tiba ngelempar batu di depan mata gue yang lagi ngintip. Untung ada kaca yang ngehalangi, kalau enggak udah buta kali gue."

"Tau dari mana lu kalau itu orang?"

"Jadi lu kira yang ngelempar apaan? Jangan ngandi-ngandi deh, udah malem ini."

"Ya karena udah malem makanya gue gak yakin kalau it--"

"Dahlah, mending ikut gue. Kita buktiin siapa yang ngelempar," tegas Melodi tanpa rasa takut lagi, jangan lupakan fakta kalau Melodi itu primadona dan berandal sekolah. Jadi sudah didefinisikan dia seorang yang pemberani.

Sesampai di pintu utama rumah, Melodi menarik nafas lagi sejenak lalu membuangnya perlahan. Sementara Rena tengah bersembunyi di belakang sambil kembali menggantungkan tangannya di pakaian Melodi. Dengan begini ia bisa selamat, karena jika memang benar apa yang di pikirkan Rena, otomatis Melodi lah yang diterjangnya lebih dulu.

Ceklek!

Melodi menarik pintu perlahan, mencari si pelempar yang kurang ajar itu. Gadis itu berjalan keluar, dan seketika matanya membulat. Badannya kaku di tempat dengan jantung yang berdegup kencang.

Netra madunya yang cantik terpaku menatap seorang lelaki yang berdiri di halaman rumahnya dengan bucket yang ... apa itu terlihat seperti bunga? Ah, bukan. Itu makanan ringan. Tapi kenapa makanan ringan?

Lelaki itu berjalan perlahan ke tempat Melodi berdiri. Menatap binar sang gadis sambil memberi bucket yang berisi makanan ringan tersebut.

"Maafin saya Mel, yang tadi siang itu saya benar-benar ceroboh. Maaf, tolong jangan cuekin saya ...," mohon lelaki itu dengan perasaan bersalah.

Melodi masih terbelalak, otaknya masih blank mengolah semua ini.

"Maaf juga udah ganggu tidur kamu, saya ke sini karena gak tahan di cuekin mulu."

"Y-ya tapi jangan jam segini juga kali, besok 'kan bisa?" ketus Melodi tiba-tiba setelah sadar dari ekspresi anehnya.

"Saya gak bisa tidur, saya kepikiran kamu terus," jujur lelaki itu membuat Melodi menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merona.

"Kenapa? Kamu masih marah sama saya? Mel, maafin saya!" seru lelaki itu terlihat panik karena gadis itu tidak menatapnya lagi.

'Bukan gitu konsepnya, Bang! Gue lagi malu!' celetuk Melodi dalam hati.

Melodi lagi-lagi menarik nafasnya, menetralkan perasaannya yang dag dig dug ser ....

"Melodi! Gue masuk, ya! Ngantuk! Bukan setan ternyata, ya udah bye-bye!" seru Rena kembali ke rumah, malas juga menjadi nyamuk di tengah malam di sana.

Gadis berambut pendek itu masuk ke dalam rumah, ia cukup mengerti dengan hubungan pasangan itu. Karena tadi ia sempat menguping dan ia cukup meleleh mendengar pengakuan Dareen yang kelewat natural memberi tau isi hatinya pada Melodi.

"Oke, jadi Kakak maunya apa?" tanya Melodi mendongak menatap Dareen yang tubuhnya memang jauh lebih tinggi dibanding gadis itu.

"Tolong maafin saya, dan jangan cuekin saya juga," pinta lelaki itu dengan raut wajah merasa bersalah.

"Ya udah, iya. Aku maafin."

"Makasih," ucap lelaki itu menunduk canggung. Sepertinya tingkat percaya dirinya mulai hilang, ia terlihat menggaruk tekuknya yang 'tak gatal sembari memainkan batu di tanah menggunakan sepatu miliknya.

Apa yang harus ia lakukan? Seharusnya setelah menerima maaf ia pulang, tetapi entah kenapa hatinya enggan untuk pergi dari sana.

"Ya udah, udah mal--"

"Eh, ini ambil dulu," ucap Dareen tiba-tiba kembali menyodorkan bucketnya yang tidak diterima Melodi sedari tadi.

"Kenapa isinya makanan?"

"Kenapa emangnya?"

"Kok gak bunga gitu? Biar lebih roman-- eh, maksudnya biar lebih nyambung," ucap Melodi hampir salah bicara.

"Kalau bunga gak gak bermanfaat, lebih baik makanan aja. Lebih bermanfaat bikin kamu kenyang." Inilah yang di suka Melodi dari Dareen, lebih ke apa adanya. Ia dapat membuat siapa saja bahagia dengan caranya sendiri.

Melodi akhirnya menerimanya lalu menatap Dareen yang kembali menggaruk tekuknya yang 'tak gatal sembari bertingkah seperti tadi lagi.

"Kutuan, ya?" tanya gadis itu to the point karena merasa heran.

"Eh, e-enggak!" jawab Dareen cepat, lelaki itu sungguh malu diperhatikan Melodi dengan tingkah seperti tadi. Dengan segera di tatapnya dalam netra gadis itu.

"K-kamu beneran maafin saya 'kan?"

"Iya, udah aku maafin kok."

"Emm ... gak ditawarin masuk nih?"

"Udah malem, Kak. Bunda sama Ayah juga udah tidur," jelas Melodi.

"Oh, ya udah ... aku pamit dulu ya," ucap Dareen dan diangguki oleh gadis itu.

Dareen mulai berjalan mundur, dengan mata yang tetap menatap Melodi. Hingga akhirnya ia berbalik pergi menuju mobilnya.

Melodi tersenyum menatap kepergian lelaki itu bersama mobilnya. Setelahnya ia mulai berbalik berjalan masuk ke rumah sambil membawa bucket yang diberi Dareen tadi.

"Gaje banget, tapi gemesin hahaha ...," gumam gadis itu sambil tertawa sendiri.

TBC.