Aku seharusnya terluka
Namun hati manusia begitu misterius.
Setiap kali Aku memikirkanmu terasa sakit namun Aku bahagia
.
Sudah beberapa hari ini toko sepi. Kadang pejalan kaki yang singgah hanya sekedar melihat-lihat tanpa membeli. Aku kadang bosan hanya duduk dan membaca beberapa buku.
Toko buku ini satu-satunya peninggalan almarhum kakek untuk ayah. Dari luar, toko memang terlihat sangat tua dan tidak menarik. Plat namanya sudah terkoyak disana sini. Catnya pun kusam. Aku selalu memiliki niat untuk mengecat dan memperbaiki kerusakannya, tapi uang yang dihasilkan dari toko kadang tidak cukup atau terpakai untuk hal lain.
Disini menjual banyak buku. Hampir semua buku ada. Dari yang seumuran kakek hingga yang paling baru. Buku baru maupun buku bekas.
Semua tempat di toko sudah diisi oleh buku-buku itu. Hanya ada sudut-sudut kecil yang di beri kursi agar pelanggan bisa nyaman membaca. Kami tidak melarang siapapun untuk sekedar membaca disini. Kakek sering bilang bahwa berdagang bukan hanya tentang uang. Semua hanya harus dijalani sebagaimana adanya. Semua orang berhak tau tentang dunia.
Ada satu tempat yang menjadi tempat favoritku jika sedang bosan. Di bagian belakang toko sengaja di buat terbuka. Ada tempat duduk panjang dan tanaman yang ayah rawat seorang diri sejak ibu meninggalkan rumah setelah mereka bercerai. Buku-buku kusam dan berjamur menumpuk di sudut kursi. Jika malam turun hujan, buku itu akan dibiarkan disana. Jarak rumah dan toko lumayan jauh.
Aku membuka halaman yang baru ketika suara lonceng pintu berdenting. Dari tempatku duduk, aku bisa dengan jelas melihat siapa yang masuk. Seorang pria dengan hoodie putih dan celana jins biru muda berdiri di depan pintu. Menghalangi cahaya dan membuatku harus mengernyit untuk memperjelas wajahnya.
Orang itu mendekat. Dua botol susu ada di tangan kanan sedang tangan kiri memegang buku bersampul merah.
Aku tersenyum setelah tau bahwa dia yang datang.
Aku berdiri. Meninggalkan bukuku sendiri di kursi untuk menyambutnya. Dia yang tersenyum dengan cara yang selalu mampu membuatku jatuh berkali-kali.
Dia meletakkan botol susu di rak buku dan menjulurkan tangan kearahku.
Aku menyambutnya. Dan dia menghilang begitu saja. Seperti asap putih yang selalu mengikuti angin.
Dia pergi.
Kekasihku.
"Kau masih belum kembali?" udara sejuk di musim gugur yang menyahutiku. Begitu sunyi. Dan taunya itu menghantarkan getaran melebihi apa yang kuinginkan.
Aku memeluk tubuhku sendiri dan berbalik ke tempat buku tadi kutinggalkan. Langkahku tertahan teringat sesuatu dan kembali memutar badan.
Dua botol susu itu masih berada di rak buku. Aku tersenyum lega. Ayah masih mengerti akan kondisiku.
Awan mendung menaungi diatas kepala. Halaman baru ku buka. Setiap lembarnya mengisahkan cerita semanis pie apel buatan Jane si penjahit di kota Swiss. Jane yang malang bertemu dengan Louie. Pedagang obat dari ibukota.
Aku sudah menghabiskan separuh isi buku. Jane dan Louie telah melewatkan banyak hal di negeri seindah itu. Mereka menaiki perahu di danau. Membantu domba Bibi Austin yang melahirkan atau berpegangan tangan di sepanjang jalan desa. Mereka bahagia di dalam cerita.
Aku juga ingin bahagia dalam ceritaku sendiri.
Tapi kekasihku pergi. Sudah hitungan tahun. Aku telah memintanya kembali namun urung di penuhi. Aku bersedih untuk waktu yang panjang.
Dia bukan seperti separuh nyawaku. Dia hanya seperti vitamin C. Aku tidak membutuhkannya seharus itu. Tapi aku mudah lelah dan akhirnya tumbang sejak kepergiannya.
Lelah untuk menunggu.
Kekasihku bukan Louie si pedagang obat. Namanya Aiden. Mahasiswa kedokteran yang pintar dan kata orang tampan. Tapi bagiku, dia tidak setampan lukisan Louie di sampul buku. Hidungnya tidak semancung Louie dan matanya tidak biru. Kami sering berdebat untuk itu.
Aiden pergi setelah pertengkaran terakhir kami. Hari itu hari pertama ia magang di satu rumah sakit ternama di ibukota. Dia berjanji akan mentraktir ku di kedai Sup tahu di pertigaan jalan yang sering kami singgahi. Aku menunggunya. Dan dia tidak datang.
Aku mengumpat sepanjang jalan pulang. Janji kami jam tujuh, aku menunggunya selama empat jam dengan harapan ia akan datang. Aku berniat akan mampir kerumah Aiden dan memarahinya.
Akan tetapi ia sudah berada di bawah lampu yang berkedip. Bersandar pada tiang lampu yang berkarat. Aiden mendongak menatap langit cerah musim panas. Wajah piasnya ku abaikan karena rasa marah yang hampir termuntahkan.
Ia menoleh saat mendengar langkahku yang panjang-panjang menghampirinya. Aiden berucap maaf lebih cepat dari muntahan emosiku.
Dan aku membentaknya malam itu. Hanya karena satu janji yang tidak terpenuhi.
Esok, kekasihku Aiden tidak kembali kerumahnya. Atau kepelukanku. Dia pergi. Seperti asap pada pembakaran di rumah besar.
Penyesalanku akhirnya datang bersama suara-suara makian yang tidak seharusnya ku lontarkan untuk dia. Menyesal di akhir adalah hal manusiawi. Aku menerapkan itu dan berharap Aiden kembali setelah ribuan kali penyesalan itu berkunjung ke setiap sudut yang pernah ada aku dan dia di tempat itu.
"Hujan." aku bergumam ketika tetes air membasahi wajah Louie pada sampul buku yang ku baca. Aku segera memasuki toko dan mengecek cuaca sekali lagi. Sangat mendung dan mungkin akan hujan deras. Jam antik milik ayah berdentang lima kali kemudian.
Aku meletakkan buku pada meja kasir dan merapikan toko sebelum beranjak pulang. Hari ini, tidak ada pelanggan.
Sesuai dugaan, hujan turun cukup deras, namun tidak berangin hingga aku sedikit bisa menikmati waktu di sepanjang jalan. Sebelum benar-benar pulang, aku singgah di toko kue kering Charlie. Ayah sangat suka kue buatan sepupuku itu.
"Oh, kau datang? Hujan-hujan begini?"
Aku suka Charlie yang perhatian. Ia seperti kakakku yang sebenarnya.
"Aku dari toko. Dan kue buatanmu adalah yang paling enak untuk dimakan saat hujan." ia terkekeh dengan usakan lembut pada kepalaku.
"Karena kau berkata begitu. Kue jahe hari ini gratis untukmu."
"Yeah!"
Aku mengambil beberapa kue dan kue jahe harum yang gratis. Ah, kue jahe. Aiden ku sangat menyukainya.
"Kira-kira kapan Aiden akan pulang? Aku akan mentraktirnya kue jahe ini." aku mendongak menatap Charlie yang terpaku di tempatnya. Aku sering mendapati dia berekspresi aneh seperti itu. Entah karena apa. "Apakah aku sejelek itu?"
Charlie berkedip dan menatapku linglung.
"Kau selalu melihatku seperti itu. Kenapa? Wajahku jelek?"
Dia tertawa dan merapikan bungkus-bungkus kue di rak. "Kau tidak menyadarinya?"
"Apa?"
"Wajah jelekmu."
"Aishh!"
Tawa kami mengudara kemudian. Charlie bersikeras tidak mau menerima uangku. Tapi aku lebih keras kepala dan dia mengalah. Hanya kue jahe yang gratis seauai janjinya.
"Elian."
Aku kembali menoleh pada Charlie yang kini berdiri di depan meja kasir. Ia terdiam menatapku. Entah kenapa aku merasa benci dengan tatapan itu. Tidak ada alasan yang dapat ku temukan. Tapi gejolak amarah perlahan merambati kepalaku.
"Jangan lupa payungmu."
Aku hampir meledak untuk amarah tak berdasar jika Charlie bersikap seperti itu lebih lama lagi.
"Tentu." dan sebagai gantinya aku tersenyum. Semua anggota keluargaku berkata bahwa senyumku mirip mendiang nenek. Aku bersyukur. Meski wajahnya memudar dalam ingatanku, setidaknya aku tau bagaimana beliau ketika tersenyum.
Sudah malam ketika aku keluar dari toko Charlie. Hujan masih deras. Beberapa pejalan kaki juga berpayung sepertiku. Kami jadi terlihat sama.
Langkahku berpacu ringan. Hujan memiliki ceritanya sendiri. Jejak kaki akan cepat terhapus oleh hujan. Namun anehnya manis dan pahit kenangan yang terjalin di bawah rintiknya tak akan memudar semudah menghapus tulisan diatas pasir.
Aku dan Aiden pernah kehujanan dan akhirnya mengambil kertas koran di pinggir jalan untuk dijadikan payung. Kami tertawa saat itu. Hujan turut meramaikan. Sangat manis.
Kakiku seperti memiliki tombol otomatis. Dia akan berhenti di samping karat berbau tiang lampu yang berkedip.
Hujan tidak membuatku kedinginan. Karena ceritanya menghangatkan. Tetapi dingin itu merayap disisi lain tak terjangkau. Mungkin dari rumah itu. Rumah kosong di seberang tiang lampu.
Rumah kekasihku.
Lagi. Hatiku sakit menyadari tahun yang berlalu tak ku lewati bersama Aiden. Air mataku menetes bersamaan ukiran senyum yang tak bisa kutahan. Aku menangis sambil tersenyum. Hatiku sakit bersama rasa bahagia yang muncul.
"Aiden, melegakan karena aku masih mengingatmu hari ini."
Beberapa tetes air hujan membasahi bahu dan turun ke baju yang ku kenakan. Kufikir payungku rusak lagi. Seperti hari-hari kemarin.
.
.
.
.
bersambung..