Chereads / Paper Umbrella / Chapter 5 - Goodbye For Now

Chapter 5 - Goodbye For Now

Akan lebih baik bila melupakanmu

Namun hati manusia begitu aneh

Setiap kali Aku memikirkanmu

Aku jadi takut kalau akan benar-benar melupakanmu..

.

Malam ini hujan turun lagi. Aku baru saja tiba di rumah. Bajuku basah entah kenapa, padahal aku sudah memakai payung selama perjalanan. Kulihat ayah di depan tv sedang memotong buncis untuk makan malam. Masakan ayah adalah yang paling enak. Saat kami masih bertiga dulu, ayah memang selalu memasak makan malam yang lezat. Aku atau ibu sangat menyukai masakan ayah.

Ibu.

Wanita cantik pemilik mata bulan sabit itu baru berusia 19 tahun ketika menikah dengan ayah yang lima tahun jauh lebih tua. Tidak ada paksaan seperti di di drama-drama tengah malam. Mereka menikah karena memang saling mencintai. Ibu berasal dari desa, sedangkan ayah asli penduduk kota. Mereka bertemu ketika ibu membantu kakek menjual kubis hasil kebun sendiri ke ibukota. Mereka bertemu di pasar. Antara pedagang dan pembeli. Lucu, tapi sangat manis. Hanya beberapa minggu berkenalan, ayah sudah berani berangkat ke desa untuk melamar ibu.

Pernikahan mereka bertahan hingga aku berada di tingkat akhir sekolah menengah pertama. Ibu memilih menceraikan ayah karena bertemu pria lain. Ayah sangat terpukul waktu itu. Dia mengetahui semua perselingkuhan ibu, tapi memilih diam dan tetap mencintai wanitanya sedalam itu sampai ibu sendiri yang memilih untuk bercerai.

Ibuku, wanita yang sangat egois.

Setelah meninggalkan ayah, dia juga meninggalkanku. Ibu berkata bahwa pria kaya itu mau menikahinya asalkan ibu tidak membawaku. Sejauh ini, aku sangat bahagia tinggal berdua dengan ayah. Aku pernah bertemu ibu di malam tahun baru, dekat sungai di tengah kota. Aku bersama beberapa teman memilih menghabiskan akhir tahun dengan beberapa obrolan. Ibu melihatku, menegurku seperti teman lama, dan kemudian pergi dengan mobil mewah miliknya.

Aku bersyukur dia hidup dengan baik.

"Bagaimana toko hari ini?" Suara serak ayah terdengar ketika aku membuka kulkas untuk mengambil air mineral. Ayah sering batuk akhir-akhir ini.

"Paman Joe datang tadi pagi, membeli beberapa koran lama untuk membungkus sayuran." sahutku dari dapur. Rumah kami cukup luas dengan dua lantai. Ruang tengah langsung terhubung dengan dapur. Kamar ayah berada di samping tangga, sedangkan aku menjadi satu-satunya penghuni di lantai dua.

"Pria tua itu masih saja bekerja. Semua anaknya sarjana tapi lihat, dia hanya membuang uang untuk anak-anak tidak tau terima kasih itu."

Aku tersenyum menghampiri ayah dan ikut memotong beberapa sayuran. Aku sudah terbiasa mendengar ocehan ayah. Kadang para orang tua memang suka mengomentari orang tua lainnya.

"Ayah juga seharusnya istirahat saja dan biarkan aku memasak makan malam." kataku. Ayah terbatuk lagi sebelum membalas ucapanku.

"Memangnya anak muda ini bisa apa? Kau bahkan tidak bisa membedakan buncis dan kacang panjang." aku tertawa, memang benar aku suka asal saja menyebut kedua sayuran itu. Menurutku mereka sama, jadi menyebutnya buncis atau kacang panjang tidak akan berpengaruh apapun. "Lebih baik kau mandi. Biar ayah yang selesaikan."

Aku pergi ke kamar setelahnya. Suara batuk ayah bisa terdengar sampai ke lantai atas. Aku sering khawatir dan memintanya untuk ke dokter. Tapi ayah selalu berkata bahwa dia baik-baik saja. Aku pun berharap begitu.

Saat tiba di kamar, aku tidak langsung mandi. Kasur empuk dengan sprei abu milikku terlihat sangat nyaman untuk berbaring sebentar. Di luar masih hujan, udara dingin dari celah jendela membuatku menggigil. Aku lupa kalau pemanas di kamar sedang rusak. Aku bergelung bersama selimut.

Usia ibu saat bertemu dengan ayah sama dengan usiaku saat bertemu dengan Aiden. Tapi bedanya kami saling mengenal karena Aiden yang baru pindah ke komplek perumahan ini. Kami seumuran. Aiden seseorang yang tidak banyak bicara tapi dia pandai bergaul dengan orang lain. Ia tersenyum pada siapapun, kadang membuatku cemburu. Tapi dia berkata kalau itu hanyalah formalitas, sedangkan senyumnya untukku adalah seluruh hatinya. Dia juga pintar menggombal.

Kami menjalin hubungan tanpa mengucapkan, "ayo berkencan". Tapi pertemuan yang intens serta ucapan cinta yang begitu banyak menunjukkan bahwa kami sudah di tahap tersebut. Ayah dan Aiden seperti memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Mereka sering bermain catur di halaman depan, mengobrol sampai lupa bahwa aku menunggu hampir berjam-jam di dalam rumah. Aku takjub pada kemampuan Aiden mengambil topik pembicaraan dengan orang yang lebih tua. Aku saja sering merasa bosan jika ayah sudah bercerita tentang masa lalu yang sudah kudengar hampir ratusan kali.

Sejak Aiden pergi, ayah tidak pernah bertanya sekalipun. Aku pernah membahas masalah perginya Aiden. Tapi ayah hanya hanya bergumam, mengucapkan kata yang tidak ku mengerti. Aku seperti menjadi satu-satunya orang yang kehilangan dia.

Rintikan air hujan mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarku. Di atas nakas, ada bingkai kecil berisi foto ku bersama Aiden. Foto terakhir kami. Aku menyebutnya seperti itu karena kami mengambil foto itu di taman bermain, saat salju pertama turun. Seminggu setelahnya ia diterima magang di rumah sakit, dan esoknya ia pergi.

Aku bangkit dari kasur untuk mengambil bingkai itu. Tanganku seperti bergerak sendiri untuk mengeluarkan foto dari bingkai. Ku pandangi lama wajahnya yang tersenyum. Kekasihku sangat tampan. Hal yang paling ku syukuri setelah kedua orang tuaku adalah dia, Aiden. Seperti ada sesuatu yang mendorongku, dengan tangan yang mulai gemetar, ku balik foto itu.

Tulisan tangan dia yang rapi ada disana. Aku lupa kapan dia menulisnya.

"Anginnya sangat kencang. Kau kedinginan? Aku akan memelukmu sepanjang malam. Jika aku tidak datang, berarti aku adalah hembusan angin itu." - Aiden.

Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mata ku sederas hujan di luar sana. Aku tidak mengerti, tidak ada hal yang mampu membuatku seperti ini, bahkan aku bertahan selama bertahun-tahun Aiden pergi. Tapi malam ini, kenapa rasanya sakit sekali? Aku sangat sedih. Menangis hingga meraung di balik selimut. Foto itu ku dekap di dada dan rasa sedihnya semakin menjadi. Aku terisak hingga tenggorokanku sakit.

"Kenapa aku sesedih ini?" Gumamku di sela isakan yang tidak ada habisnya.

Seperti ada yang hilang. Aku seperti menyimpan banyak kenangan yang tidak bisa kuingat. Bayangan wajah Aiden semakin kabur dalam kepalaku. Aku ketakutan. Takut akan melupakannya. Aku semakin meraung, hingga ku dengar ayah menaiki tangga dan membuka pintu kamar.

Aku menatapnya dengan wajah basah. Ayah balik menatapku. Tatapannya sama dengan Charlie beberapa hari lalu. Membuatku marah sekaligus semakin meringkuk sakit. Aku bahkan tidak mampu bangkit dari tempat tidur. Rasa kehilangan ini berkali-kali lipat lebih besar. Aku merasa mual karena banyak sesuatu di dalam kepalaku yang memaksa keluar.

"Dimana Aiden? Aiden ku...." aku kembali tercekat oleh kehilangan yang sangat dalam, "....dia tidak kembali..."

.

.

.

.

Aku masih berada di toko ketika Aiden menelepon dengan suara menggebu. Aku menenangkannya dan memintanya bicara pelan-pelan. Aiden menghela nafas dan masih berucap asntusias. Salah satu rumah sakit ternama di ibukota menerimanya menjadi dokter magang. Aku menjatuhkan buku di pangkuan ketika berdiri dan ikut bersorak untuknya.

"Aku akan kembali nanti sore. Kau ingin makan malam dimana?" Aku mendengar suara klakson mobil dan deru mesin kendaraan. Aku bisa membayangkan saat ini dia dengan mantel panjang hitam sedang melangkah pelan di bawah guyuran salju.

"Karena ini hari spesial mu, jadi kita makan apa yang kau pilih." sahutku.

"Sup tahu?"

"Oke."

--

Kami janji bertemu pukul tujuh malam. Aku sudah siap setengah jam sebelumnya. Bertemu dengan Aiden selalu membuatku antusias. Aku merindukannya hampir setip hari. Kadang kesibukannya membuatku bosan dan berakhir dengan dia yang menginap dirumahku.

Aku memiliki tingkat emosi yang cukup tinggi. Pertengkaran kami selalu dimulai dari amarah tak jelas dariku. Kesalahan kecil Aiden bisa membuatku tidak menegurnya berhari-hari. Tapi begitulah, kekasihku yang penyabar memaklumi segala sisi burukku. Membuatku sering sekali menyesal dan merasa bersalah.

Sudah setengah jam terlewat dari janji kami. Kufikir, dia masih bersiap-siap dan akan menemuiku secepatnya. Namun berjam-jam sudah berlalu. Tidak ada kabar darinya. Ponselnya mati saat ku hubungi. Aku mulai kesal. Tapi tetap ku pegang janjinya.

Jam sebelas malam, aku menghabiskan semangkuk sup tahu yang dingin dan pulang setelahnya. Rumah kami satu arah. Aku akan selalu melewati rumahnya ketika pulang. Amarah itu masih tertahan di ujung mulut. Kakiku menghentak di sepanjang jalan. Ketika di belokan, aku melihat Aiden membuka pagar rumah dengan tergesa dan berlari. Dia berhenti ketika melihatku. Wajahnya penuh penyesalan di bawah temaram lampu jalanan.

"Elian."

"Aku menunggumu."

Dia mendekatiku. Dan seingatku, hanya permohonan maaf yang keluar dari mulutnya ketika segala bentuk amarah ku keluarkan. Aku mengabaikan wajah lelahnya. Mengabaikan penjelasannya tentang rumah sakit yang kembali menghubunginya untuk melengkapi dokumen sehingga baru bisa pulang sekarang.

"Elian, aku--"

"Jangan berjanji lagi untuk menebus janjimu, Aiden." aku benar-benar tidak toleran pada seseorang yang melupakan janjinya. Bahkan jika itu kekasihku. "Aku mengantuk."

Dia menyerah dengan kalimat terakhirku. Tangannya yang sedari tadi menggenggam lenganku terlepas. Aku tau bahwa dia benar-benar menyesal. Tapi aku lelah. Aku ingin beristirahat dan membicarakan hal ini besok pagi saja. Aku melangkah tanpa berbalik lagi. Mengabaikan seberapa lama ia masih menatap punggungku di samping tiang lampu yang berkarat.

Aku hanya tidak tau bahwa, kami tidak memiliki hari esok...

.

.

.

Aku takut menghadapi ingatan lain yang kini bergantian memasuki kepalaku. Aku sudah lelah menangis hingga kini hanya memukul kepalaku untuk mengusir semua itu. Suaraku tidak mampu keluar lagi. Hujan masih bersahutan di luar sana. Seolah menjadi pendukug untuk rasa sakit.

Seperti jam waktu yang rusak. Mereka berhenti pada satu titik jenuh, lalu memutar ulang semua yang terjadi di tiap detiknya. Tanpa terlewat.

Aku sangat ingat, malam itu kami bertengkar. Hal tersebut yang selalu kujadikan alasan atas perginya Aiden. Tapi nyatanya, malam itu belum berakhir.

.

.

.

Ayah sudah tidur saat aku tiba dirumah. Lampu depan sudah mati, jadi sebisa mungkin aku tidak berisik agar tidak membangunkan ayah. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh yang memang agak lelah akibat duduk di kedai terlalu lama. Ingatan akan Aiden masih saja membuat kesal. Aku memukuli bantal dan guling untuk melampiaskannya dan tertidur setelah itu.

Suara ribut orang-orang diluar kembali membangunkanku. Aku mengerang ketika melihat jam diatas nakas. Demi Tuhan! Aku baru saja tertidur selama tiga jam. Dengan malas, aku bangkit dari kasur dan mengintip melalui jendela lalu terkejut melihat hampir seluruh orang terbangun di tengah malam dengan keributan. Penasaran, aku segara keluar dari kamar, mencari ayah di kamarnya namun tidak ada.

Aku keluar rumah. Para tetangga sudah berkumpul sampai di depan pagar rumahku. Tidak ada ayah. Aku jadi sedikit khawatir.

"Nek, ada apa? Apa kau melihat ayahku?"

Tetangga di sebelah rumahku adalah janda tua, nenek dari Harlequin.

"Kebakaran. Ayahmu mungkin berada disana."

Aku akhirnya melihat sisa kepulan asap di udara. Dadaku berdegub kencang ketika melihat arah rumah yang terbakar. Tanpa mengunci pintu, aku berlari kesana. Aku gugup. Semakin panik dan khawatir, tapi bukan karena ayah. Di pacuan langkahku, aku hanya berharap pemikiranku salah.

Di ujung jalan terakhir, aku berhenti melangkah. Kerumunan orang semakin banyak. Mobil pemadam masih disana beserta ambulans. Sirine nya meraung menakutkan. Aku gemetar. Mendekat pelan pada kerumunan. Saat ku lihat ayah disana, aku sadar kalau kekalutan ini berasal dari aroma asap yang pekat dari rumah di seberang tiang lampu.

Satu nama itu menerjang kepalaku. Aku kembali memacu langkah, menerobos kerumunan dan berteriak tidak tau malu memanggil namanya.

Kekasihku.

"Aiden! Aiden!" Orang-orang menatapku. Beberapa dari mereka menunjuk arah yang sama. Aku berharap dia benar-benar ada disana dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja.

Aku kembali terhenti dan termundur satu langkah. Di depanku sekarang adalah sebuah mobil ambulans yang sejak tadi sirinenya begitu ribut. Mataku berkeliling mencari Aiden, tapi disana hanya ada perawat berpakaian putih serta kantong kuning yang--

"Elian." aku menoleh dan medapati Charlie serta ayah. Aku mendesah lega. Mereka bisa memberitahuku dimana Aiden.

"Charlie, dimana Aiden? Rumahnya... ya Tuhan, rumahnya.." aku tidak sanggup berucap lagi. Kekasihku mungkin sangat terpukul sekarang. Aku mendongak tak menemukan jawaban. Charlie meremas bahuku dan membawaku ke dalam pelukannya. "Ke-kenapa..?"

Kepalanya kemudian menoleh. Aku mengikuti, dan menemukan kantong kuning itu lagi.

Deg!

Kekasihku..

Aku melepaskan diri dari dekapannya. Berjalan tertatih menghampiri kantong jenazah berwarna kuning itu. Berjongkok dengan goyah. Kakiku lemas. Tanganku terulur gemetar, tapi Charlie menahanku.

"Kau tidak bisa melihatnya."

Rumahmu habis terbakar. Lalu bagaimana dengan dirimu? Sampai Charlie melarangku untuk melihatmu.

"Aiden..."

Ini bukan kau kan? Berlari padaku seperti biasanya, dan katakan kau masih disini. Baik-baik saja.

"Aiden.."

Kita bertemu beberapa jam lalu. Aku memarahimu. Kau meminta maaf. Bukankah besok kau akan datang lagi dan membujukku seperti biasa?

"Ini tidak nyata."

Aku yakin masih tidur di rumah. Menunggu hari esok. Dan kita akan bertemu lagi.

"Elian.." panggil ayah.

"Tidak! Tidak!! Aiden! Jangan seperti ini Aiden! Jangan pergi seperti ini! Aiden!!"

Ayah dan Charlie menangkap tubuhku yang diluar kontrol. Aku lagi-lagi melepaskan diri. Berlutut di depan kantong jenazah yang menyembunyikan kekasihku. Entah kekuatan darimana, aku membuka kantong itu. Kemudian meraung lebih kencang.

Dia bukan Aiden-ku. Seinchi tubuhnya pun tidak ada yang bisa ku kenali. Aku menarik seorang perawat.

"Ku mohon, kekasihku kesakitan... . Dia kesakitan...." ayah kembali menangkap tubuhku. Aku lemas. Kini aku hanya menangis di pelukannya. "Ayah... ayah..."

"Ayah disini nak."

"Kekasihku...."

Hari esok masih ada. Tanpamu.

.

.

.

.

.

bersambung