Chereads / Paper Umbrella / Chapter 4 - You

Chapter 4 - You

Tiba-tiba, Aku jadi ingin tahu.

Apa kau terkadang juga memikirkanku?

Bila ya, wajah seperti apa yang kau buat?

Aku memikirkan hal-hal kecil ini..

.

Memasuki hari pertama libur, toko jadi lebih ramai. Banyak anak sekolah yang datang kemari untuk merilekskan otak mereka dengan buku-buku novel romantis atau komik. Kebanyakan yang datang adalah pasangan. Aku melirik iri. Pasangan muda memang kadang tidak tau tempat untuk bermesraan.

Seperti aku dan Aiden. Ayah sering kali berdehem canggung melewati ruang tengah ketika Aiden sibuk mengecupi seluruh wajahku. Aku sering mencandainya, dan Aiden membalas seperti itu. Kami hanya cengengesen jika ayah menggeleng tak habis pikir.

Musim akan berganti sebentar lagi. Tapi cuaca masih saja buruk. Hujan turun tidak kenal waktu. Tanah selalu beraroma basah. Aku jadi harus lebih sering mencuci sepatu. Toko baru saja aku bersihkan kemarin, ruangan jadi beraroma wangi dan terlihat lebih segar.

Tanaman di halaman belakang juga ku beri pupuk lagi. Beberapa sudah menghitam. Aku jadi kasian. Ayah merawatnya, dan aku terlalu malas menjenguknya. Di hari libur, tempat wisata dan taman bermain pasti akan sangat penuh. Bukan hanya penduduk lokal, turis juga seolah sudah mengantri dari jauh hari.

Aiden termasuk kekasih yang sering mengajakku jalan-jalan. Kami pernah ke Namsan Tower saat salju pertama, menonton film, makan di restoran mewah dan berbelanja di Choengdamdong. Setauku, Aiden tinggal sendirian di rumah besarnya. Aku hanya pernah sekali bertemu dengan ayah dan ibunya. Mereka tipe orang tua yang ramah, terbuka pada siapapun. Memanjakan Aiden seperti kewajiban, karena pria berkulit tan itu adalah anak semata wayang. Sepertiku.

Bedanya, aku hanya tinggal bersama ayah dan Aiden tinggal sendirian karena bisnis kedua orang tuanya berada San Fransisco. Andai saja dia memilih ikut paman dan bibi, mungkin kami juga tidak akan pernah bertemu.

Lonceng pintu bredenting lagi. Seorang remaja dengan pakaian trendy dan kekinian muncul setelah itu. Aku berusia 23 tahun omong-omong. Remaja itu cucu dari nenek disebelah rumah. Dia akan datang dan mengacau di rumah neneknya setiap libur sekolah.

"Elian!" Suaranya melengking di penjuru toko. Dia juga sering menemaniku disini. "Apa ini? Kau membersihkan toko?"

"Memangnya kenapa?" Aku bertanya tanpa menatapnya karena ada pembeli. Pasangan remaja tadi membeli sebuah buku berjudul Letter To You. Mereka sangat manis.

"Biasanya toko ini berbau apek. Tapi hari ini aku mencium..." dia mengendus, "...lemon. Ku tebak kau memakai pembersih lantai untuk mengelap jendela dan rak buku."

Delikanku hanya ditanggapi dengan cengirannya. Aku merasa tersinggung, walau tudingannya memang benar. Memang dimana salahnya? Tetap wangi kan?

"Terima kasih." aku membungkuk untuk pelanggan terakhir siang ini, lalu kembali duduk dan mulai memperhatikan laki-laki di depanku.

Namanya Harlequin. Dia jauh lebih muda dariku. Setauku, Harlequin ini baru saja masuk di semester pertama sekolah menengah atas.

"Kapan kau datang?

"Tadi pagi."

"Bagaimana sekolahmu?"

Dia menatapku, beberapa kali mengerutkan kening. "Sangat..... tidak seru."

"Kenapa?"

"Teman-teman baru membuatku ingin pulang lebih awal. Mereka tidak menyenangkan."

Aku mencibir, "Itu karena kalian belum akrab."

Harlequi menggeleng sambil mengibaskan tangannya. Ia beralih pada rak buku di depan meja kasir. Hanya memilih tanpa benar-benar berniat untuk memgambil satu dan membacanya.

Anak lelaki ini tinggal di salah satu daerah elit. Sekolah di academy terbaik. Dia pun pintar dalam matematika. Beberapa piala dan piagam yang pernah didapatnya selalu berakhir terpajang di ruang tamu rumah Neneknya.

Aku sudah lama tidak ke pusat kota. Sejak tidak ada Aiden, aku jadi tidak memiliki teman untuk sering bepergian. Charlie hanya bisa menemaniku sesekali.

"Ah benar." seruanku membuat Harlequin menoleh sekilas. "Sekolahmu dekat dengan Rumah Sakit kota kan?" Anak itu hanya mengangguk. "Kau pernah bertemu Aiden? Mungkin saja kalian berpapasan saat di jalan atau kau melihatnya di suatu tempat. Aiden bekerja di rumah sakit itu."

Aku bisa melihat pergerakan Harley--nama panggilannya--yang terhenti. Kepalanya menoleh kaku, wajahnya menjadi serius untuk beberapa saat. Aku menjadi bingung.

"Elian, kau belum mengingatnya?"

"Mengingat? Mengingat apa?"

Aku berkedip dan ekspresi Harley sudah berubah lagi.

"Maksudku, karena sudah terlalu lama jadi aku tidak mengingat wajah Aiden dengan jelas."

Aku mengangguk. Cukup kecewa dengan jawaban dia. Setidaknya harus ada satu orang yang ku kenal yang pernah bertemu Aiden. Tapi tidak ada satupun. Pria menyebalkan itu meninggalkan ku sejauh apa sebenarnya? Dia tidak merindukanku? Aku merindukannya setiap hari.

Angin berdesir menenangkan. Seolah membawa pesan dari tempat yang jauh. Perasaan ku mendadak menjadi sangat nyaman. Aiden dan semua yang kami lewati terlalu indah.

Aiden, kau sedang memikirkanku juga kan?

.

.

.

.

bersambung