Buku-buku jari Lyon tergenggam erat membiru, tanda dia sedang marah yang disembunyikan. Jika dilihat dari jarak dekat tangan kiri Lyon yang memegang ponsel bergetar ketika memasukkan benda pipih hitam itu kembali kedalam saku celana seragam sekolah. Secepat yang ia mampu, otaknya berputar-putar memikirkan banyak hal serta kemungkinan. Namun tidak ada satu pun yang berhasil membuat dia lebih tenang.
Sesaat setelah menerima informasi dari Turan Coshdov, asisten kepercayaan Lisa yang mampu melakukan banyak hal diluar kemampuan manusia pada umumnya, seperti mencari informasi pribadi seseorang atau melacak keberadaan seseorang dan lebih banyak lagi, Lyon segera bergegas keluar gedung sekolah.
Saat itu hanya satu hal yang terlintas di pikiran Lyon yaitu bagaimana caranya ia bisa cepat sampai ke Dustena. Kalau saja Lyon mempunyai sepasang sayap tentu saat itu juga dia akan melesat terbang.
Metropol dengan Dustena merupakan kota tetangga. Jika ditempuh menggunakan mobil, waktu tercepat yang bisa dicapai tidak bisa lebih cepat dari satu jam. Satu jam ada 60 menit, setiap menit ada 60 detik. Ada 3600 detik waktu yang diperlukan untuk sampai ke Dustena. Bahkan satu detik saja Lyon tidak akan sanggup hanya duduk berdiam diri menunggu.
Banyak kemungkinan terburuk yang sedang terjadi pada Petra terlintas dibenak Lyon. Sementara Lyon di Metropol memikirkan sebuah cara, semakin lama Petra entah bagaimana kondisinya. Satu detik waktu sangat berharga. Dan Lyon tidak pernah merasa sejengkel ini ketika dihadapkan pada situasi yang mengharuskan dirinya berlomba dengan sang waktu.
Tidak ada satu orang pun di planet ini yang bisa membeli waktu. Seakan keberadaan uang sama sekali tidak ada gunanya ketika disejajarkan dengan waktu itu sendiri. Fakta itu hanya membuat Lyon semakin frustasi.
"Mana helikopternya." seru Lyon dingin kepada penjaga landasan helikopter diatas bangunan tertinggi sekolah SMA Metropol. Gedung administrasi yang memiliki tinggi tiga puluh meter.
"Lima menit lagi datang, tuan muda Lyon." jawab penjaga penuh rasa hormat.
Sekalipun mayoritas murid SMA Metropol tahu bahwa Lyon merupakan salah satu murid keturunan orang kaya raya, mereka tidak akan tahu kecuali segelintir orang dari jajaran petinggi sekolah tersebut kalau Lyon adalah anak dari komisaris yayasan SMA Metropol, nyonya besar Evelinda Levi. Ibu kandung dari Lyonardo Levi.
Selain nama komisaris utama tidak dicantumkan secara resmi dalam dokumen legal yayasan, namun pada kenyataannya secara mutlak SMA Metropol adalah milik ibunya Levi. Inilah pada kali pertama Lyon menggunakan otoritasnya sebagai anak dari pemilik sekolah SMA Metropol untuk kepentingan pribadi. Dengan amat sangat terpaksa tentunya. Dalam pemikiran Lyon tidak ada cara tercepat selain memanfaatkan koneksi untuk situasi gawat darurat kali ini.
...
Lima menit yang ditunggu serasa lima tahun bagi Lyon, akhirnya helikopter warna hitam dengan ekor berwarna putih mendarat di landasan helikopter atas gedung administrasi SMA Metropol. Tanpa menunggu lama Lyon segera masuk kedalam helikopter tersebut. Kemudian, pada menit berikutnya capung hitam bermesin itu terbang melintasi langit sore Metropol yang sangat cerah.
Penampakan sore dengan langit biru serta sinar matahari yang masih menyengat berbanding terbalik dengan apa yang ada didalah pikiran dan hati Lyon saat ini. Berkabut dan kacau balau. Seperti ada angin topan mengamuk didalamnya, mengobrak abrik apapun yang menghalagi jalan. Sekeras yang Lyon bisa dia berusaha untuk tetap tenang.
Belum pernah dalam hidup Lyon merasakan sekacau ini hanya karena sebuah berita yang Turan sampaikan padanya tentang Petra. Si gadis berambut sebahu yang tatapan matanya ketika sedang marah akan sangat mengerikan seperti ada kobaran api tidak kasat mata berada di kedua matik mata yang sebenarnya indah. Warna biru bersemu merah jingga. Sungguh perpaduan warna yang tidak biasa. Mungkin hanya satu-satunya didunia.
Melalui rekaman video CCTV yang Turan kirimkan ke ponsel Lyon, jelas terlihat bagaimana Veonica lewat salah satu teman trio gengnya memukul bagian belakang kepala Petra dengan sebuah kayu panjang yang sebenarnya berfungsi sebagai penyangga mesin yang sedang dalam perbaikan. Akibat pukulan benda keras tersebut Petra langsung tumbang, kemungkinan besar pingsan beberapa detik berselang setelah menerima pukulan tersebut.
Setelah itu, dari penampakan video selanjutnya mereka secara diam-diam menyembunyikan Petra kedalam salah satu kontainer yang akan berangkat ke pelabuhan Damei di Yamelai. Sungguh perbuatan tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan yang telah dilakukan oleh tiga remaja berusia tujuh belas tahun. Bahkan, sebagai pengembang game Lyon tidak pernah sekalipun memikirkan adegan sadis seperti itu dalam benaknya.
"Awas kamu Veronica." desah Lyon pelan didalam helikopter yang mulai turun di landasan helikopter pabrik kain dimana kejadian pemukulan itu terjadi.
Setelah memastikan helikopter yang membawa dirinya benar-benar mendarat di landasan, Lyon turun keluar yang mana ada manager pabrik sudah menunggu berdiri tidak jauh. Tanpa lama Lyon langsung menghampiri pria usia sekitar empat puluh tahun berperut buncit dengan kumis tipis diwajah bundar.
"Saya mohon maaf tuan muda Lyon. Karena hari ini jadwal pekerjaan kami begitu padat sehingga membuat kami lalai dalam pengawasan para murid sekolah dari yayasan Nyonya Besar." aku sang manager tanpa berani menatap wajah dingin Lyon yang jelas tersirat ada kemarahan tidak sedikit disana.
"Jadi...aku yakin Turan sudah katakan sebelumnya, berapa kode kontainer itu dan nomor plat kendaraan yang membawa serta dimana supirnya?" ucap Lyon tanpa mau membuang tenaga untuk sekedar memarahi sang manager tersebut.
Kali ini Lyon sedikit paham kalau menunjukan amarah meledak-ledak bukan cara terbaik untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah. Sepertinya Lyon mendapat pelajaran berharga.
Setelah Lyon mendapatkan semua informasi yang ia butuhkan, Lyon kembali masuk kedalam helikopter dan kembali terbang meninggalkan Dustena. Tujuan selanjutnya adalah pelabuhan Damei di Yamelai.
Jarak antara Dustena ke pelabuhan di Yamelai sedikit lebih jauh dari jarak antara sekolah dengan pabrik kain tadi. Dalam perjalanan di udara itu Lyon hanya bisa duduk menunggu dan berdoa semoga gadis menyebalkan itu bisa ia temukan dalam keadaan baik-baik saja.
Dari atas langit, pelabuhan Damei tampak seperti sebuah segitiga tidak beraturan dimana dipenuhi oleh deretan kontainer dan jejeran gudang disisi-sisi yang menghadap ke jalan raya. Pelabuhan Damei adalah pintu keluar masuk ekspor dan impor di Mestonia.
Karena hal itu, mencari kontainer yang Lyon cari tidak semudah menemukan gajah disebuah kebun binatang. Terlebih lagi untuk menemukan lokasi pendaratan tidak lebih mudah lagi karena hari ini ada banyak kegiatan bongkar muat barang.
Setelah Lyon bisa turun dari helikopter yang susah payah bisa mendarat, ia segera berlari menuju salah satu gudang dimana seharusnya kontainer yang sang manager pabrik beritahu. Namun langkah kaki Lyon tiba-tiba terhenti, sekitar lima puluh meter didepannya, dimana ada area kosong menghadap ke pantai, sosok itu berdiri seorang diri.
Lyon mempercepat langkah kakinya untuk memastikan apa yang ia lihat tidaklah salah. Seperti sebuah bulan sabit dengan cahaya temaram, begitu juga sosok Petra yang berdiri ditepi pelabuhan menatap matahari terbenam yang sebenarnya indah jika keadaanya bukan yang sedang Lyon alami saat ini.
-tbc-