Sekali lagi, untuk kesekian kalinya Lyon tidak bisa mempercayai penglihatan kedua matanya yang ia yakini masih berfungsi dengan baik. Petra, dengan tanpa merasa bersalah sedikit pun menertawakan dirinya yang khawatir setengah mati.
Namun apa yang terjadi setelah Lyon sampai ditujuan?
Mengabaikan gemuruh hebat yang melanda dirinya sejak berdiri di landasan heikopter atap gedung sekolah hingga ia bergegas turun setelah capung bermesin turun di pelabuhan lalu berlari untuk mencari gadis sialan yang kini menertawakan dirinya seperti orang bodoh. Jika bukan karena Petra seorang perempuan tentu saja Lyon memakinya dengan sejuta makian yang bahkan telinga siapa pun tidak akan sanggup mendengar.
"Sudah puas?" kata Lyon dingin.Hanya itu yang bisa Lyon keluarkan dari mulutnya yang ikut bergetar menahan sejuta kesal.
"Maaf, maaf Lyon. Tampangmu yang serius seperti itu lucu sekali dan aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Maaf sudah membuat dirimu cemas. Tapi sekarang aku baik-baik saja. sungguh." kata Petra setelah tawanya reda.
"Begitu rupanya? Jadi sia-sia sekali aku lari dari Metropol kemari hanya untuk melihatmu tertawa seperti orang gila." celetuk Lyon sadis.
Lyon memicingkan mata karena cahaya matahari yang perlahan tenggelam begitu menyilaukan. Didepannya ada Petra yang terus menatap kearah dimana ia berdiri seperti tidak percaya.
"Benar. Aku harap jadi gila saat ini karena banyak hal gila terjadi dalam waktu singkat." Ujar Petra dengan tersenyum sinis.
Setelah apa yang baru saja ia alami dan kedatangan Lyon didepannya dengan begitu tiba-tiba, manusia mana yang akan menganggap semua yang Petra alami itu sebuah kenyataan. Di jaman ini, saat ini, tidak ada yang percaya dengan klenik, supranatural dan sejenisnya. Jika pun Petra ceritakan apa yang baru ia alami kepada Lyon, berani bertaruh bahwa pemuda arogan itu sekali pun tidak akan percaya.
Tanpa menanggapi ucapan Petra, Lyon berjalan mendekat kearah gadis itu, memegang kepala bagian belakang Petra dengan hati-hati. Lyon berusaha mencari adanya bekas pukulan benda keras disana. Dan hasilnya nihil.
"Kamu tadi bilang gila? Jadi...apa kalian sengaja bersandiwara kepadaku untuk membuatku khawatir?" sergah Lyon dingin, setelah berulang kali memastikan tidak ada bekas luka maupun setetes darah di kepala Petra.
"Apa maksudmu? Aku sungguh tidak mengerti?" tanya Petra binggung, menelengkan kepala kekiri dan salah satu tangannya menggaruk bagian belakang kepalanya sendiri tanpa sadar.
"CCTV. Dalam rekaman CCTV aku lihat kamu dipukul oleh salah satu teman Veronica?" kata Lyon masih dengan nada dingin.
"Iya betul. Aku bahkan langsung tidak sadarkan diri saat itu. Kemudian aku tersadar berada di ruangan gelap dan pengap yang baru aku tahu kalau itu adalah sebuah kontainer berisi berbagai kain. Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi. Dan yang paling gila bahkan sampai detik ini aku tidak percaya adalah kepalaku yang aku jelas terasa sakit ketika mendapat pukulan benda keras di pabrik ketika aku sadar kembali sudah tidak ada seperti tidak terjadi apa-apa. Bahkan tangan kiriku pun kembali normal. Apa kamu percaya, tidak bukan?" cerita Petra dalam satu hembusan napas.
"Tentu saja. Aku tidak percaya. Memangnya ini negeri dongeng?" respon Lyon menatap Petra penuh makna, seolah sedang mencari kebohongan dalam kedalaman mata biru kemerah-jinggaan milik Petra.
Karena pada dasarnya apa yang dikatakan Petra itu adalah benar dengan tidak menceritakan kejadian secara rinci kepada Lyon. Tentang Kin dan Ken. Tentang legenda penguasa elemen dan tentang kebenaran tentang dirinya yang ia sendiri pun pertentangkan.
"Lihat? Kamu bahkan tidak bisa percaya itulah sebabnya aku merasa bisa jadi gila karena hal gila tersebut." tambah Petra mencoba menyakinkan Lyon supaya tidak mencoba mengorek informasi lebih jauh tentang yang sebenarnya terjadi.
"Kalau begitu ayo ke rumah sakit." Cebik Lyon merespon dengan tatapan mata lebih dingin dari biasanya.
Tanpa memberi Petra waktu lebih lama, Lyon menggandeng tangan Petra secara paksa dan menyeret gadis itu pergi kearah dimana helikopter menunggu. Pekikkan dari Petra tidak dihiraukan Lyon, bahkan makian yang jelas-jelas gadis itu layangkan padanya pun tidak membuat cengraman tangannya melonggar. Lyon hanya terus maju kedepan.
Sesampainya di samping helikopter, Lyon mendorong paksa Petra untuk segera masuk kedalam. Memasangkan sabuk pengaman serta headphone ditelinga Petra. Semua Lyon lakukan tanpa suara. Hanya tatapan dingin menyertai semua perbuatannya.
...
Hening. Walau pun suara baling-baling pesawat yang berputar nyaris memekakkan gendang telinga, tidak ada satu pun yang angkat suara. Seakan mereka berdua tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
Kota Yamelai dan Metropol sebenarnya merupakan kota tetangga. Namun, berkat sebuah gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi membentang sepanjang 100 kilometer terletak diperbatasan antara kota tersebut maka jalan untuk sampai ke Metropol dari Yamelai harus memutar melewati Dustena.
Perjalanan pulang ke Metropol dengan helikopter tentu lebih cepat dibandingkan menggunakan kendaraan apapun yang ada di Mestonia. Tidak sampai lima puluh menit mereka sudah sampai di landasan helikopter rumah sakit dimana Petra seharusnya mempunyai janji temu dengan dokternya.
Sekali lagi, semuanya berjalan lebih cepat berkat Lyon. Dan Petra enggan sekali untuk mengakui hal itu. Terlebih lagi respon apa yang akan dokternya katakan saat melihat tangan kirinya yang kini kembali normal.
"Ini sulit dipercaya. Setelah melihat hasil rontgen ini tulang nona yang patah sekarang hanya terlihat sebentuk retakkan kecil sebagai indikasi telah menyatu kembali. Lalu, luka dibagian belakang kepala pun hanya tersisa bekas sobekan kulit yang sudah lama mengering dan hampir tidak terlihat jika tidak betul-betul dalam memeriksa." jelas dokter penuh rasa heran.
"Kalau begitu, kira-kira apa yang menyebabkan luka-luka tersebut sembuh sendiri, Dok?" tanya Lyon penasaran.
"Entahlah. Secara medis apa yang nona Petra alami seperti sebuah luka yang sudah lama sembuh hampir tak berbekas." Jawab dokter yakin.
Walau pun dari sorot mata sang dokter sebenarnya pun keheranan, bagaimana mungkin tidak kurang dari dua pekan yang lalu ia menangani tangan kiri Petra yang bisa dibilang tidak tertolong walau dalam kasusnya adalah hanya perlu operasi kecil. Tetapi jika tidak cepat ditangani akan mengakibatkan kelumpuhan pada syaraf organ tubuh lainnya.
Disamping Lyon, Petra hanya bisa duduk terdiam mendengar perdebatan dua orang tersebut. Ia tidak bisa mengatakan itu berkat magic yang sama sekali tidak bisa ia percaya apalagi ia nalar dengan logika otaknya yang terbatas.
"Bukankah itu berita baik. Karena impian nona Petra sebagai pemanah profesional kini kembali terbuka lebar tanpa perlu merasa risau akan tangan kiri nona." kata dokter lagi mencoba mengalihkan pembicaraan dari rentetan pertanyaan Lyon yang semakin merancu tidak karuan.
"Impian?" bisik Petra lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Petra yakin, benar-benar sangat yakin bahwa sekalipun dan tidak kepada siapapun dirinya pernah berkata kalau ia ingin menjadi seorang pemanah profesional.
-tbc-