Chereads / Vicious Circle of Mestonia / Chapter 33 - Ch. 33 Pacuan

Chapter 33 - Ch. 33 Pacuan

Beruntung sekali, tepat disaat bersamaan Rita dan Teresa datang dengan berlari kecil kearah mereka berdiri. Petra bisa selamat kali ini. Petra tidak harus memberikan jawaban atas pertanyaan Hime tadi. Untuk memikirkan sesuatu yang sepele tentang Lyon saja Petra tidak bisa. Rasa bencinya begitu menguasai isi kepala Petra terhadap pemuda arogan tersebut.

Rita dan Teresa seperti sedang kesal saat tiba dihadapan Hime. Keringat yang menetes diwajah Rita membuat anak rambutnya menempel dikedua pipi. Sementara Teresa yang berkulit lebih gelap dari yang lain tampak kepayahan mengatur napasnya sendiri. Teresa berdiri berkacak pinggang sembari menarik napas dalam-dalam seolah paru parunya cukup besar untuk menampung oksigen banyak-banyak.

"Maafkan aku Hime, Petra dan Chia. Kakak terlambat karena sesuatu hal yang mendadak. Tiba-tiba saja kekasihku tidak bisa datang, ada urusan keluarga katanya." Jelas Rita yang sudah tampak lebih tenang dari Teresa disampingnya yang masih melakukan latihan pernapasan.

"Aku juga. Sama." imbuh Teresa disela-sela kegiatan mengambil napas dalam-dalam.

"Lalu kenapa dengan wajah kalian? Ekspresinya tidak menyenangkan begitu, seperti menangis yang ditahan?" selidik Hime, rasa penasaran Hime begitu besar untuk lebih sekedar tau alasan yang tadi Rita dan Teresa ucapkan barusan. Naluri detektif cinta Hime akhirnya muncul.

"Bagaimana tidak ingin menangis Hime, kami belum sempat membeli tiket masuk dan sekarang pasti sudah ludes habis tak tersisa. Padahal mereka sendiri yang memaksa akan membelikan tiket untuk kami namun akhirnya mereka juga yang membatalkan dengan alasan urusan keluarga yang tidak masuk akal." rengek Teresa pada akhirnya tidak tahan lagi dengan latihan pernapasan yang gagal ia lakukan untuk menahan emosi.

"Mereka? Terdengar seperti kekasih kalian itu masih saudara atau tetangga dekat?" selidik Petra. Kini giliran Petra yang penasaran dengan sosok pacar dua teman sekelasnya itu.

"Sepupu. Iya, mereka masih sepupu." ucap Rita menjawab pertanyaan Petra.

"Lalu bagaimana cara kami bisa masuk?" rengek Teresa yang masih mempermasalahkan urusan tiket.

Detik berikutnya Teresa meraung tanpa suara dengan ekspresi wajah yang lucu. Sementara Rita histeris dengan menjambak rambutnya sendiri.

"Tenang Teresa. Aku, maksudku Chia punya kartu VVIP pass. Kita semua bisa masuk dan duduk di bangku tribun yang sudah disediakan." terang Petra mencoba menghentikan aksi konyol kedua temannya itu. Bahkan Petra barus berusaha keras menahan tawa saat berucap untuk menenangkan dua gadis yang heboh sendiri.

Hime dan Chia hanya bisa tertawa tanpa suara melihat tingkah laku dua gadis dewasa yang sama sekali tidak mencerminkan diri selayaknya gadis dewasa yang katanya sudah mempunyai kekasih. Lebih seperti anak kecil yang menangis meraung saat permen lolinya diambil paksa oleh saudara.

Pada akhirnya mereka pun masuk kedalam arena pacuan kuda. Mereka duduk di tribun VVIP milik keluarga Levi, dimana hanya ada mereka berlima saja yang mengisi ruangan luas tersebut. Hime bahkan sampai menggelengkan kepala sambil berdecak kagum dan berbicara sendiri dengan begitu lirih, teman lainnya tidak bisa mendengar apa yang Hime ucapkan.

"Senangnya punya pacar anak orang kaya, Petra." seloroh Rita sembari meluruskan kaki disalah satu tempat duduk empuk. Mata Rita tidak hentinya melayangkan pandangan keseluruh ruangan seakan mempunyai kekuatan laser yang mampu memindai apapun yang terlihat mencurigakan. Namun ternyata hasilnya nihil, tidak menemukan apapun.

"Begitulah." jawab Petra merasa tidak enak sendiri.

Bagi Petra, sudah biasa mendapat fasilitas nomor satu dari keluarga Levi. Namun, kali ini saat dirinya bersama teman-teman Petra merasa perlakukan tersebut memang cukup keterlaluan. Dan baru tersadar, kalau Petra bisa dibilang sangat beruntung bahwa dia tanpa bersusah payah dalam mendapatkannya.

"Jadi...apa saja yang kamu lakukan sampai seorang Lyon itu jatuh hati kepadamu?" tanya Teresa penasaran, melirik kearah Petra dari tempat duduknya dipojok.

"Tidak ada yang special. Hanya bersikap biasa seperti sekarang. Kalau boleh dibilang aku juga tidak tahu alasannya." jawab Petra jujur. Percuma saja berbohong kepada teman-temannya. Apalagi karena mereka satu kelas yang sudah cukup lama mengenal Petra.

"Hmmm...mungkin karena kamu Petra yang seperti tidak pedulian ini yang membuat Lyon menyukaimu." sela Hime, seolah sedang menjawab pertanyaan. Bahkan tangan kirinya ia letakkan dibawah dahu seperti tengah berpikir amat keras.

"Mungkin Lyon sudah bosan dengan gadis cantik." imbuh Rita yang ikut-ikutan meletakkan tangan kirinya dibawah dagu.

"Jadi kalian pikir Petra tidak cantik?" bela Teresa hampir berteriak tidak terima.

Teresa yang berkulit lebih gelap dari yang lainnya selalu mengagumi mulusnya kulit Petra dan cantik parasnya. Bagi Teresa pribadi wajah Petra merupakan campuran oriental, romawi dan persian.

"Bukan begitu maksudku Teresa. Tentu Petra cantik. Terlalu cantik malah. Persoalannya disini karena Petra tidak pernah berusaha menunjukkan kalau dirinya itu cantik. Lihat saja, wajahnya hampir tidak pernah tersentuh make up. Seandainya saja Petra mau sedikit berdandan, bukan hanya Lyon tetapi satu sekolah akan tergila-gila padanya." sanggah Rita berapi-api.

"Kenapa kalian malah membahas tentang diriku?" ujar Petra tidak terima dirinya menjadi bahan pembicaraan didepan mata kepalanya.

"Maaf Petra. Tapi semua yang aku katakan itu fakta." kata Rita membela diri.

"Kamu benar Rita. Akulah yang terlalu miskin untuk membeli make up." tukas Petra berusaha mengakhiri pembicaraan yang baginya sama sekali tidak ada gunanya.

Mendengar ucapan Petra yang menohok semua orang diruangan itu diam, bungkam. Mereka lebih dari siapapun tahu kalau Petra adalah gadis sederhana, lebih memilih perpustakaan dari pada kantin sekolah, lebih memilih bekerja di cafe depan sekolah dari pada pergi ke mall untuk jalan-jalan. Petra gadis penerima beasiswa di SMA Metropol dengan nilai terbaik hanya berasal dari keluarga miskin, menurut standar hidup di Metropol tentunya.

Tanpa mereka sadari, pertandingan pacuan kuda sudah dimulai. Hanya Chia saja yang berlari kearah kaca pembatas ruangan itu dengan arena pacuan. Dimana ada Lyon yang sedang bertanding. Lyon dengan kuda putihnya memimpin jalannya pertandingan diputaran pertama.

"Lihat kak Petra! Ada paman Lyon didepan!" seru Chia histeris, dengan jari telunjuk kirinya menunjuk kearah yang dimaksud.

Mendengar teriakan Chia, mereka berempat beranjak menuju Chia berada dan mencari-cari sosok yang Chia maksudkan.

Disana, dalam jarak yang tidak terlalu jauh, Petra dan teman-temannya bisa melihat Lyon dengan seragam lomba serba putih dengan menaiki kuda putih. Lyon yang duduk diatas pelana warna cokelat tua, terlihat begitu fokus dengan lombanya. Fokus untuk menang, untuk menjadi yang nomor satu di tahun ini.

"Benar Chia." sahut Petra lirih.

Melihat Lyon yang hari ini serba putih, membuat Petra tersenyum penuh arti. Senyum diwajah Petra mengembang alami membuatnya terlihat cantik saat teman-temannya melihat Petra. Mereka kira Petra sendang memandang Lyon yang hari ini sangat gagah dan tampan. Tetapi, bagi Petra, bahwa Lyon yang hari ini hanya mengingatkan dirinya akan Pangeran Salju-nya. Ken.

-tbc-