Sebagai manusia merdeka, berkewarganegaraan tunggal di Negara Kedaulatan Mestonia yang mempunyai hak sama dengan warga negara lain seperti misalnya berhak merasakan liburan. Liburan dalam arti sesungguhnya.
Setelah menjalani hari-hari di sekolah yang melelahkan, Petra merasa perlu untuk menerima ajakan Hime pergi berlibur bersama ke kota Lilibel. Liburan selama tiga hari di Lilibel juga merupakan liburan pertama bagi Petra selama tinggal di Metropol. Karena pada hari libur biasanya Petra habiskan untuk bekerja di Kohiti Cafe dan belajar. Sungguh lingkaran kehidupan yang sangat melelahkan.
"Kalau menurutku itu lebih seperti sesuatu yang sangat membosankan, Petra. Jika kegiatan sehari-harimu hanya diisi untuk tidur, sekolah, belajar, bekerja, maka kapan waktu untuk bersenang-senang?" seloroh Hime saat mereka dalam perjalanan menuju Lilibel.
Mobil minibus yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Untuk bisa sampai ke kota Lilibel di ujung Mestonia, mereka harus melewati kota Haraikan. Kota Kampus sekaligus Kota Bisnis-nya Mestonia. Perjalanan itu sendiri memerlukan waktu tidak kurang dari dua jam perjalanan darat menggunakan minibus milik keluarga Hime.
Hime Jiodo yang juga merupakan salah satu murid dari sebelas murid penerima beasiswa yayasan yang mengelola SMA Metropol dan Hime juga berasal dari Lilibel. Perlu diketahui, hanya ada satu murid terbaik dari masing-masing kota distrik di Mestonia yang berhak mendapatkan beasiswa untuk dapat bersekolah di SMA Metropol.
Beruntung bagi Petra dan Hime mendapatkan beasiswa tersebut. Dan mereka juga duduk dalam satu kelas yang sama. Sedangkan kesembilan murid penerima beasiswa lain tersebar di kelas-kelas lainnya.
"Menurutmu begitu ya? Apa ada yang salah?" tanya Petra balik. Sungguh Petra tidak bisa memahami ucapan Hime barusan. Bagi Petra sendiri, apa yang dia jalani adalah sebuah kewajaran. Lagi pula Petra bukan orang berada dan bisa dibilang dengan kata 'miskin' seperti yang selalu Lyon katakan padanya sebagai sebuah sindiran.
"Tentu tidak ada yang salah Petra. Hanya saja...apa kamu tidak bosan melakukan rutinitas seperti setiap hari?" kata Hime buru-buru mengoreksi. Hime takut membuat Petra tersinggung dengan apa yang telah dia katakan kepada teman sekelasnya itu.
"Kalau bosan, tentu saja Hime. Aku ini manusia, bukan robot. Tentu wajar jika kadang aku merasa bosan. Tetapi, bukan berarti aku bisa berhenti ditengah jalan karena rasa bosan tersebut. Ada banyak orang di Finelan yang berharap banyak padaku, Hime." terang Petra pelan. Lalu pandangannya ia alihkan kearah luar jendela. Merenung.
Setelah Petra menjelaskan kepada Hime tentang alasan dirinya tidak bisa berhenti begitu saja hanya karena masalah sepele seperti bosan atau yang lebih fatal seperti menyerah lalu kembali ke Finelan. Seperti prajurit yang kalah perang. Sungguh Petra tidak bisa melakukan hal semacam itu. Pantang bagi Petra melakukan tindakan tercela tersebut.
Seperti yang tadi Petra katakan kepada Hime, ada banyak orang di Finelan yang berharap banyak kepada Petra supaya dia bisa mengejar impiannya menjadi Duta Besar perempuan pertama di Mestonia. Karena hingga saat ini belum ada wanita manapun yang bisa lolos seleksi dalam proses perekrutan menjadi Duta Besar Mestonia. Selain karena proses seleksi yang berat juga syarat untuk mendaftar pun tidak mudah.
Sedikit banyak Petra tahu betul kalau pekerjaan sebagai Duta Besar Mestonia tidaklah mudah. Sangat berat. Sebagai Duta Besar Mestonia dituntut untuk selalu siap siaga selama 24 jam setiap hari bahkan di hari liburnya. Bahkan ketika mengambil cuti pun harus tetap siap jika ada panggilan darurat.
Jadi, bisa dibayangkan jika perempuan diterima sebagai Duta Besar Mestonia akan banyak hari libur yang nantinya diambil. Selain cuti hamil dan melahirkan, juga ada cuti datang bulan dan cuti-cuti lain yang bersifat kewanitaan. Pihak Dewan Duta Besar Nasional Mestinoa belum bisa menerima anggota Duta Besar mereka seperti itu keadaannya. Alasan diplomasi yang profesional merupakan alasan klasik. Petra ingin merubah paradigma tersebut.
Bisa diibaratkan pekerjaan sebagai Duta Besar Mestonia itu seperti dokter jaga di IGD rumah sakit. Sangat sibuk dan sedikit waktu untuk diri sendiri. Bukan tanpa alasan Petra menetapkan cita-citanya sebagai Duta Besar Mestonia. Petra yang sejak usia tiga tahun sudah menjadi anak yatim piatu, kemudian diasuh oleh paman Jon dan bibi Mia yang pekerjaannya sebagai petani sayur di Finelan.
Hari-hari itu Petra lalui sendirian dirumah. Dari bangun tidur di pagi hari hingga hendak beranjak tidur lagi di malam hari, semua Petra lakukan sendiri secara mandiri. Paman dan bibinya terlalu sibuk. Namun, itu bukan berarti mereka tidak menyayangi atau tidak peduli kepada Petra. Hanya keadaan lah yang menuntut mereka seperti itu. Jika masalah ekonomi tidak layak dikatakan sebagai masalah utama dalam keluarga mereka.
-
Tanpa disadari, sudah dua jam lebih akhirnya mereka sampai di penginapan milik bibi Hime di pantai Fatamorgana. Lilbel dengan pasir putih memiliki banyak pantai dengan nama-nama yang indah. Namun, nama pantai Fatamorgana bagi Petra tidak termasuk dalam kategori indah.
"Lihat, Petra. Bagaimana ceritanya pantai ini dinamakan dengan nama pantai Fatamorgana karena ada banyak batu besar disalah satu sisi bibir pantai yang mana mengakibatkan mata kita kebingungan saat melihat batu-batu tersebut ketika panasnya matahari menyengat memantulkan bayangan membentuk fatamorgana." jelas Rita, teman sekelas Petra menceritakan asal muasal nama pantai tersebut.
"Jadi begitu rupanya." sahut Petra paham. Lalu memandang jauh kearah pantai Fatamorgana yang terhampar dihadapannya.
Semilir angin sore menerpa rambut sebahu Petra yang tidak diikat membuat sebagian wajah Petra tertutupi olehnya. Hamparan pasir putih yang terasa hangat saat diinjak oleh kaki telanjang Petra membuat gadis berumur tujuh belas tahun itu sedikit tenang. Bagi Petra, pergi berlibur seperti ini, memandang jauh melewati pantai biru berombak yang indah sudah cukup baginya sebagai salah satu hiburan pelepas penat.
Untuk sejenak, Petra duduk diatas pasir berselonjor kaki saat ketiga teman perempuannya asyik bermain air laut yang berada tidak jauh dari tempat Petra duduk. Karena pemandangan sore hari di pantai Fatamorgana sangat indah, Petra berinisiatif untuk mengambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan di koleksi album ponsel miliknya.
Petra berjalan mondar mandir dari kanan ke kiri, dari kiri balik lagi ke kanan untuk sekedar mengambil angel kamera memotret teman-temannya yang masih asyik bermain air laut. Mereka bertiga tidak menyadari kalau Petra asyik sendiri, sibuk mengambil gambar mereka bertiga.
"Ternyata kamu kabur kesini rupanya. Apa kamu tidak tahu,betapa repotnya diriku mencari keberadaanmu seharian ini?" ucap sebuah suara dari arah belakang Petra berdiri.
Suara berat dan dingin yang tidak asing bagi telinga Petra. Suara yang kalau boleh Petra meminta kepada Tuhan, untuk hari ini dan dua hari kedepan dirinya tidak perlu mendengarnya.
Sebuah suara yang lansung membuat telinga Petra sakit pada kata pertama.
-tbc-