Andai kata Petra bisa memilih, tentu dia tidak ingin mengalami kejadian yang membuat tangan kirinya terluka sampai harus menjalani operasi dan berujung pemasangan pen ditangannya tersebut. Tetapi, jika itu pilihan Petra maka dia tidak akan bertemu dengan Ken atau mengetahui fakta tentang siapa sebenarnya sosok seorang bernama Ken. Sang Pangeran Salju dimasa kecil Petra.
Sepulang dari rumah sakit Lyon menjemput Petra lalu membawa gadis itu ke rumah Lisa, kakak perempuan Lyon tinggal. Lebih tepat membawa paksa Petra meninggalkan tempat tidur hangatnya dirumah sendiri menuju tempat yang sama sekali asing bagi Petra.
"Kenapa kamu membawaku kemari?" cecar Petra tidak habis pikir. Petra memejamkan mata dalam beberapa detik. Mencoba menahan emosinya tetap terkontrol. Setidaknya, Petra tidak mau membuat keributan ditempat orang lain sekalipun Lyon penyebabnya.
Selalu saja, Lyon dengan seenaknya sendiri memutuskan sesuatu hal tentang dirinya tanpa bertanya terlebih dulu kepada Petra. Walau pun Petra paham betul akan hal tersebut, tetap saja Petra merasa kesal dibuatnya. Tidak bisakah Lyon membiarkan Petra hidup tenang sembarang satu hari saja?
"Dengan tangan kirimu yang terluka seperti itu, apa yang bisa kamu lakukan dirumah sempit dan berantakan itu sendirian? Apa kamu bisa memasak hanya dengan satu tangan? Apa kamu wonder women yang bisa melakukan semua hal hanya dengan menjetikkan jari tanganmu yang masih waras?" cebik Lyon panjang lebar.
Lyon menatap Petra dengan kesal. Seperti elang menatap hewan buruan yang melarikan diri. Seolah apa yang telah Petra perbuat merupakan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan hanya dengan berkata sorry.
"Aku bisa melakukan semua itu dengan tangan kananku yang segar bugar ini Lyon. Dan...apa tidak terlalu berlebihan kamu membawaku kemari hah?" gerutu Petra, melayangkan pandangan mata keseluruh ruang tamu yang luas. Seluas lapangan tenis. Hanya dengan satu set sofa berwarna putih disalah satu sudutnya. Warna yang senada dengan warna dinding, membuat tempat duduk itu tidak terlihat dengan sekilas pandangan.
Rumah Lisa begitu besar untuk ukuran keluarga kecil dengan tiga penghuni. Lagi pula suami Lisa jarang sekali pulang ke rumah tersebut. Pekerjaan Ruben, suami Lisa sebagai Duta Besar Mestonia mengharuskan dirinya bepergian ke berbagai tempat, kota, negara bahkan benua.
Petra masuk ke bagian dalam rumah Lisa, ruang santai. Ruangan dengan nuansa warna pastel, baik dari cat dinding hingga perabotan yang ada disetiap sudut membuat kesan hangat dan nyaman dipandang mata. Berbanding terbalik saat Petra berada diruang tamu yang terkesan formal dan dingin seperti Lyon. Petra langsung menyukai suasana rumah Lisa, namun terlalu malu untuk terus terang kepada Lyon. Pada akhirnya Petra hanya bisa diam seribu bahasa, tidak melanjutkan ocehan yang meluap-luap diawal kedatangannya tadi.
"Bukan urusanku. Lagi pula disini ada pelayan yang bisa memenuhi segala kebutuhan sampai tanganmu pulih. Ini perintah Lisa, ratu penguasa rumah ini. Asal kamu tahu saja, jujur aku pun tidak peduli dengan apa yang sedang dan akan kamu lakukan. Jadi lakukan sesuka hatimu saja. Dan satu lagi, jangan pulang kerumah itu untuk sementara waktu. Debu disana tidak baik bagi orang sakit seperti dirimu. Dan ini perintah. Titik." ucap Lyon, lalu mengisyaratkan kepada salah satu pelayan untuk mengantar Petra menuju kamar yang sudah Lisa siapkan. Lalu Lyon meninggalkan rumah Lisa dan Petra sendirian.
"Aku tidak bisa membela diri kan? Bahkan aku tidak diberi kesempatan untuk membawa seragam sekolah." desah Petra lebih kepada dirinya sendiri. Lyon sudah lama meninggalkan rumah, pergi entah kemana.
"Tidak perlu khawatir nona. Tuan muda dan supir sedang mengambil pakaian sekolah nona, jadi besok pagi nona Petra bisa pergi ke sekolah." kata pelayan yang masih berdiri tidak jauh dari Petra. Ucapan pelayan tersebut seolah menjawab kekhawatiran Petra dengan sekejab.
"Baiklah kalau begitu. Tapi, bagaimana dengan pakaian ganti dan pakaian dalam? Bocah itu tidak mungkin membawanya juga kan?" seru Petra, tiba-tiba teringat akan hal tersebut. Sesuatu yang tidak seharusnya anak laki-laki tidak tahu diri itu lakukan. Petra menjadi panik sendiri.
"Tenang saja nona. Nyonya Lisa sudah menyiapkan pakaian-pakaian seperti yang nona pikirkan itu didalam lemari. Semua aman karena sudah dicuci. Dan saya rasa tuan muda Lyon tidak akan berbuat selancang itu terhadap barang pribadi nona." Jawab pelayan dengan menahan senyum geli. Melihat tingkah laku Petra yang terserang panik seperti sebuat aksi pertunjukan tersendiri bagi pelayan tersebut.
"Benar. Tentu saja. Bocah tengik itu tidak mungkin berpikir sampai kesana bukan? Hah, kenapa aku jadi paranoid. Baiklah, saya pamit untuk membersihkan diri. Permisi." kata Petra, senang karena jawaban pelayan tersebut cukup masuk akal. Dan malu akan pemikirannya yang terlalu jauh.
"Silahkan nona." kata pelayan tersebut lalu meninggalkan Petra sendirian di depan pintu kamar berwarna pink pastel.
Di rumah besar itu Petra ditinggal sendirian, hanya ditemani dua orang pelayan. Lyon yang pergi bersama supirnya. Lisa yang pergi ke Seriz bersama Chia untuk berkunjung ke rumah orang tua mereka,berlibur katanya.
Karena tidak tahu apa yang harus Petra lakukan akhirnya gadis itu tertidur diatas tempat tidur dengan seprai warna lavender dan masih memakai mantel bulu kesayangannya, setelah sebelumnya Petra mandi dikamar mandi yang seumur hidup Petra baru merasakan nikmatnya mandi disebuah kamar mandi bak hotel berbintang lima.
Bahkan Petra melupakan makam malamnya.
Ketika pelayan mencoba mengetuk pintu kamar Petra tidak mendengar, dia kelelahan dan mengantuk. Dan tersadar hari sudah pagi. Petra bangun kesiangan. Hari dimana dia harus berangkat ke sekolah. Dan bukan Petra namanya kalau dia datang terlambat ke sekolah.
Petra terburu-buru menghabiskan sarapan karena pelayan rumah Lisa terus memaksa Petra untuk makan pagi supaya tangan kirinya cepat sembuh. Petra berusaha memburu waktu. Jam pelajaran pertama akan dimulai dalam lima menit lagi. Jarak rumah Lisa dengan sekolah cukup jauh. Bahkan dengan kecepatan mobil diatas rata-rata saja tidak cukup mampu membawa Petra datang tepat waktu ke sekolah, SMA Metropol.
"Berapa lama untuk sampai ke sekolah?" tanya Petra kepada supir didepan kemudi.
Mobil hitam dengan merk dan warna yang sama seperti yang biasa Lyon kendarai. Hanya nomor plat mobil saja berbeda. Petra menduga kalau jenis mobil tersebut merupakan mobil yang wajib dalam keluarga Levi.
"Dengan kecepatan sedang kita akan sampai dalam lima belas menit, nona." jawab supir tersebut, memberikan seulas senyum seolah berkata 'tidak apa sesekali datang terlambat'.
Namun, bagi Petra tidak ada namanya sesekali. Sesekali hanya akan melahirkan perulangan hingga berujung kebiasaan. Terlalu beresiko bagi Petra untuk sekedar datang terlambat.
Atau...
"Tidak bisa. Kalau begitu...bisakah bapak mengantarku ke suatu tempat dari pada ke sekolah?" tanya Petra tersenyum manis.
Sebuah ide gila tiba-tiba terlintas dikepala Petra.
-tbc-
-