Jelas terlihat. Bahkan Petra berusaha mengedipkan mata berpuluh kali untuk memastikan penglihatannya masih normal atau tidak. Sosok pemuda yang tengah berdiri dihadapan Petra begitu mempesona. Lebih bersinar sejak terakhir kali Petra bertemu dengannya.
Pemuda, atau kalau boleh dibilang sebagai sosok yang lebih dewasa dengan pandangan lembut menatap Petra lalu tersenyum. Dia adalah Ken. Pangeran Saljunya Petra.
"Sudah lama sekali ya. Sekarang kamu bertambah tinggi dan cantik." sapa Ken, melangkah mendekati Petra.
"Iya." jawab Petra lirih.
Petra masih setengah sadar saat Ken berada tepat didepannya. Petra begitu terkejut. Petra tidak siap untuk bertemu lagi dengan Ken. Bukan karena Ken yang dulu pergi tanpa pamit. Bukan juga Ken yang bungkam tentang dimana rumahnya. Bukan itu. Hanya, Petra merasa sedang mengalami fatamorgana.
"Kenapa terkejut begitu? Apa kamu pikir aku ini hantu?" ucap Ken, menatap lekat kedalam mata Petra yang tetap diam.
"Iya, maksudku bukan." kata Petra terbata-bata.
Apalagi setelah melihat Ken berdiri didepannya dengan sangat dekat, hanya semakin membuat jantung Petra tidak karuan. Bukan karena perasaan yang dulu ada muncul kembali. Bukan.
"Apa kamu mau berdiri disini seharian? Bukankah ada lokakarya yang sedang kamu ikuti?" kata Ken lagi.
"Benar. Iya benar." jawab Petra, tersadar sepenuhnya.
"Lalu kenapa kamu disini sendirian? Tersesat?" tanya Ken penuh selidik.
"Iya." sahut Petra mengangguk.
"Hemm, dari tadi hanya iya dan iya saja jawabanmu. Apa seperti ini balasannya karena dulu aku pergi tidak berpamitan?" kata Ken, mengambil dua langkah mundur. Ken menelengkan kepala, masih menatap Petra.
"Tidak, bukan begitu. Hanya saja...aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, kak Ken." tutur Petra akhirnya, merasa kurang nyaman diperhatikan sedemikian hingga oleh Ken.
"Kalau begitu, mau ikut aku sebentar?" ajak Ken, lalu berbalik menuju ujung ruangan lain.
Tanpa berkata apapun Petra langsung mengikuti Ken. Pemuda yang sudah berubah menjadi pria dewasa itu kini lebih mempesona dan berkilau. Juga sangat putih. Bahkan rambutnya kini berubah menjadi putih.
Ken memakai baju serta jubah putih layaknya pangeran. Benar-benar seperti Pangeran Salju yang dulu selalu Petra bayangkan. Dengan rambutnya yang juga berwarna putih, Ken benar-benar seperti seputih salju yang berjalan.
"Maaf. Dulu aku tidak bisa mengucapkan selamat tinggal karena harus pergi mendadak. Tugas yang tiba-tiba itu mengacaukan rencana liburanku. Dan itu membuatku benar-benar tidak bisa pergi kemana pun lagi. Tugas itu." jelas Ken lagi.
Kini mereka berasa di sebuah selasar bangunan bergaya romawi bercat putih dengan banyak tiang. Warna cat senada dengan jubah yang Ken kenakan. Jadi saat Ken berdiri disamping salah satu tiang, Petra tidak bisa membedakan antara tiang dengan Ken. Mereka benar-benar putih.
"Apa kak Ken manusia?" tanya Petra penasaran. Pertanyaan yang sejak dulu ingin Petra katakan kepada pria itu.
"Pertanyaan macam apa itu, terlalu ambigu." seloroh Ken, lalu tertawa. Memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.
"Habisnya, kak Ken selalu menghilang begitu saja disaat yang tidak tepat." ucap Petra berusaha menyakinkan untuk segera diberi jawaban pasti akan pertanyaannya.
"Tentu, aku manusia." jawab Ken dengan sendu. Tatapan matanya meredup lalu memalingkan wajah kesalah satu arca didekatnya.
"Benarkah? Tetapi, kenapa rambut kak Ken berubah putih sekali?" tanya Petra lagi. Masih ragu akan jawaban Ken.
"Rambutku berubah memutih seperti ini dengan sendirinya." jawab Ken, masih tidak mau menatap Petra.
"Lalu, apa yang kak Ken lakukan disini?" tanya Petra memburu. Rasa kesal yang aneh tiba-tiba menyeruak.
"Aku bekerja disini sebagai pengawas, Petra. Sejak hari itu hingga sekarang. Itulah kenapa aku tidak bisa menemuimu lagi." jelas Ken, mendesah pelah seolah ada sesuatu yang berat telah ia keluarkan perlahan.
"Kalau seperti itu keadaannya, kakak bisa berpamitan lewat telepon atau bahkan dengan surat kan?" cecar Petra semakin kesal. Melihat Ken, Pangeran Saljunya, seolah tidak peduli. Atau bertingkah seolah bukan masalah besar baginya.
"Keadaan waktu itu tidak memungkinkan. Aku minta maaf Petra. Sekali lagi aku minta maaf. Kamu mau kan memaafkan aku?" pinta Ken memohon. Tatapan matanya yang kini memelas membuat Petra goyah.
"Iya aku maafkan. Hanya saja..." kata Petra tertahan.
"Itu sama saja kamu belum bisa memaafkan, Petra. Apa ada sesuatu yang mengganjal yang ingin kamu tanyakan?" potong Ken.
"Banyak. Sebenarnya. Tapi, apa masih berguna sekarang...mungkin bagi kakak Ken bukan masalah. Bagiku sangat penting artinya kak. Kenapa, kenapa kakak Ken harus muncul didepan rumahku waktu itu?" ucap Petra pilu.
Ada bagian dari Petra, jauh dari dalam lubuk hatinya menginginkan penjelesan yang masuk akal. Kata-kata logis dan bisa diterima oleh nalar Petra.
"Takdir, mungkin." jawab Ken singkat. Yakin benar kalau jawaban itu hanyalah klise. Kambing hitam atas kekacauan yang Ken lakukan dimasa lalu. Masa mudanya.
"Terlalu klise bukan? Kakak Ken sendiri tidak pernah bilang padaku kalau kakak tidak percaya tuhan. Lalu bagaimana dengan Stev?" decit Petra pasrah, percuma saja dia mencoba untuk mengurai benang kusut dikepalanya. Sejauh apa Petra mencoba mencari tetap jalan buntu yang ada. Seperti jalan ditempat.
"Steven anak baik. Dia cukup cerdas untuk mengerti akan hal ini. Dan kamu tidak perlu khawatir, Steven bisa dipercaya untuk menjaga rahasia kita." jelas Ken pelan. Lebih seperti sebuah bisikan.
Ken yang melihat Petra mulai berkaca-kaca tidak tega untuk berkata-kata lebih lanjut. Ken sangat mengerti tentang pemahaman yang Petra maksud. Tentang dirinya. Tentang keberadaan seorang Ken bagi Petra yang kesepian. Ternyata, arti seorang Ken untuk gadis kecil yatim piatu tersebut begitu dalam.
Bukan layaknya cinta seorang gadis kepada laki-laki tetapi lebih seperti...kakak. Sesuatu yang selalu Petra cari. Sosok seorang ayah atau seseorang sebagai pelindung. Karena hal itu pula, Ken tidak bisa menyakiti perasaan Petra lebih dalam.
Ken menyayangi Petra seperti kasih sayang seorang kakak kepada adik kesayangan, sejak saat pertama kali mereka bertemu. Sebuah jalinan cinta kasih yang tidak seharusnya Ken lakukan. Walaupun itu merupakan kecelakaan paradoks sekalipun.
"Kakak bisa berbagi rahasia dengan Stev tapi denganku tidak?" rengek Petra akhirnya. Sekalipun Petra tidak berniat untuk mengeluarkan air mata namun panca inderanya itu ternyata berkhianat. Menderai membasahi pipi.
"Aku tidak pernah bercerita kepada siapa pun. Sungguh, Petra. Hanya kebetulan saja Steven ada disana. Dia yang tiba-tiba muncul diwaktu dan tempat yang tidak tepat. Maafkan Steven sudah membuatmu kerepotan." ucap Ken tersenyum manis. Berharap senyum yang Ken berikan akan sedikit menghentikan air mata Petra yang terurai membasahi pipi.
"Bahkan kakak tidak bisa mengelak?" cecar Petra.
Tiba-tiba, dari sisi kiri selasar datang beberapa arca berbentuk kuda berukuran besar berlari kearah dimana Ken berdiri. Suara gemuruh dan getaran yang tercipta membuat seluruh bangunan seperti terkena gempa bumi.
Petra terjatuh karena syok dan senggolan salah satu arca kuda.
-tbc-