Sejak abad ke-21 perkembangan ponsel meningkat pesat. Teknologi yang berkembang dengan luar biasa tanpa ada batasan itulah yang membuat perang dingin di dunia.
Perang dingin berganti menjadi perang terbuka secara maya hingga berlanjut menjadi perang dunia keempat. Hal tersebut membuat sekretaris Dewan Keamanan Dunia memberlakukan undang-undang pembatasan teknologi untuk pasar ekonomi secara umum. Namun tidak berlaku untuk negara-negara adidaya, pemegang kekuasaan tertinggi Dewan Keamanan Dunia.
"Karena ketimpangan kekuasaan itulah akhirnya meletus perang dunia kelima melawan negara-negara adidaya tersebut. Sampai pada akhirnya terjadi kesepakatan bersama antara negara minoritas dengan negara mayoritas untuk menggunakan teknologi beserta penemuannya hanya untuk kemaslahatan perdamaian dunia." papar Petra dalam sebuah diskusi pelajaran Sejarah Dunia Baru.
"Dan...pemikiran itulah sebagai cikal bakal terbentuknya Negara Kedaulatan Mestonia atau disingkat dengan NKM. Dimana nenek moyang penduduk asli Mestonia adalah para imigram terpilih dari seluruh dunia dibawah pengawasan Dewan Keamanan Dunia." tambah Stev yang duduk dibelakang Petra.
"Baik. Cukup sekian untuk hari ini. Pekan depan riset kalian tentang sejarah Mestonia dikumpulkan via daring." tutup guru Sejarah Dunia Baru berkaca mata tebal, meninggalkan aula dengan diiringi sorakan protes seisi ruangan. Kelas yang selalu berakhir dengan tugas makalah selalu membuat hampir seluruh siswa se-SMA di Mestonia mengerang sedih.
Kelas pelajaran Sejarah Dunia Baru wajib diikuti oleh semua tingkatan kelas di SMA Metropol. Maka dari itu, tidak ada pembeda antara kelas satu atau kelas dua. Semua kelas berbaur menjadi satu dalam satu ruangan. Hanya kelas tiga saja yang tidak diwajibkan mengikuti kelas Sejarah Dunia Baru lagi karena persiapan Ujian Akhir lebih diutamakan. Karena Ujian Akhir sudah tinggal menghitung hari.
"Enaknya...untuk murid penerima beasiswa tentu mudah saja mengerjakan tugas membosankan ini." celetuk seorang murid dari kursi belakang. Suara yang cukup keras untuk sampai ke telinga Petra.
Bagi Petra, suara dengungan seperti itu sudah biasa baginya. Ejekan iri hati yang sering menohok, tetapi Petra tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghadapi hal tersebut. Karena itu benar. Semua selentingan itu adalah fakta. Hanya kata-katanya saja yang terlalu menyakitnya saat sampai di telinga Petra.
"Dan, kamu akan tetap bungkam diejek seperti itu?" ucap Stev, masih duduk dibangku belakang Petra.
Aula sudah mulai hening. Murid-murid beranjak pergi untuk istirahat makan siang. Sementara Petra, tentu membawa bekal, lebih memilih berdiam diri sendirian mengerjakan tugas dan sekaligus makan.
Bukan karena Petra tidak mempunyai teman di kelasnya tetapi hari ini Petra memilih untuk menyendiri. Petra terlalu lelah akhir-akhir ini. Untuk bercanda saja Petra tidak mampu.
"Itu faktanya, lagipula hak mereka mau berkata apa." komentar Petra setengah hati. Risih karena ternyata Steven masih mengikutinya.
"Tentu, itu benar sekali. Hanya...apa kamu tidak berpikir kalau mereka mencoba merundungmu?" sanggah Stev, masih belum mau berhenti mengusik Petra.
"Aku tahu. Tapi jangan harap aku akan meminta bantuanmu." kata Petra yang kini tengah mengunyah bekal makan siangnya. Berbicara dengan Steven membuat Petra lapar.
"Padahal aku ingin menceritakan kepadamu tentang kabar Ken, loh..." kata Stev meringis.
Steven bukannya menyukai Petra. Bagi Steven, Petra yang sekarang adalah Petra kecil-nya Ken yang dulu. Hanya tubuhnya saja yang bertambah tinggi. Lagipula Steven sudah mempunyai pacar.
"Ken, hanya masa lalu. Lagi pula...kalau dia benar-benar peduli akan lebih baik kalau dia menemuiku secara langsung. Bukan sekedar lewat dirimu." sanggah Petra tanpa ekspresi. Lebih tepat lelah.
Tenaga dan emosi Petra sudah terkuras habis karena berurusan dengan Lyon. Maka dari itu, Petra lebih memilih untuk menahan diri saat berhadapan dengan Steven yang sekarang sedang bersemangat sekali menggoda dirinya.
Steven yang selalu tidak bisa diam. Steven yang selalu tidak bisa menahan diri jika itu berurusan dengan Petra dan Ken. Bagi Steven menggoda Petra itu sangat menyenangkan, seperti sebuah hiburan tersendiri bagi Steven ditengah kejenuhan akan banyaknya pelajaran di hari-hari yang ia lalui di SMA Metropol.
"Hahahaha...sayang sekali. Ken tidak akan bisa menemuimu saat ini. Selamanya." tawa Steven lirih dan mengecilkan suara hingga tidak bisa didengar Petra pada ucapannya yang terakhir.
"Aku juga tidak berharap." Decit Petra tanpa ada rasa curiga akan apa yang Steven katakan kepadanya.
Bagi Petra, apa pun yang diucapkan oleh Steven hanya merupakan omong kosong belaka. Dari dulu hingga sekarang Steven hanya bermain-main, tidak pernah serius dan penuh kekonyolan.
"Semoga kamu tidak akan menyesal suatu hari nanti." bisik Steven lalu meninggalkan Petra keluar aula.
Kini, ruangan besar itu benar-benar sepi. Hanya ada Petra sendirian sekarang. Dan Petra terlalu sibuk untuk menyadarinya.
Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya bel masuk berbunyi tiga kali. Petra buru-buru berkemas dan berlari menuju kelas selanjutnya. Matematika. Kelas yang paling dihindari oleh muris kelas Sosial.
Dalam kelas Matematika semua murid SMA Metropol digabung menjadi satu, baik itu kelas Sains maupun kelas Sosial. Terlambat bagi Petra menyadari kalau ia akan kembali bertemu dengan Lyon di kelas Matematika. Dan sangat terlambat bagi Petra untuk bisa memilih tempat duduk terjauh dari jangkauan Lyon. Sangat amat terlambat. Kursi kosong yang tersisa hanyalah disebelah Lyon.
Menyadari kalau Petra yang duduk dikursi sebelah Lyon menyeringai licik, senyum yang salah diartikan oleh para gadis sebagai senyum maut nan mempesona. Petra sampai ingin muntah saat mendengar para gadis selalu membicaran senyum manis Lyon tersebut.
"Kasihan sekali para gadis...mereka tidak tahu saja siapa dia sebenarnya." desah Petra, berbicara kepada dirinya sendiri.
"Aku merasa kalau kamu sedang menyindir." decak Lyon, ternyata bisa mendengar apa yang Petra katakan.
"Syukurlah. Itu berarti telingamu masih berfungsi. Ngomong-ngomong soal apa yang barusan aku katakan itu adalah fakta." bela Petra tidak mau kalah. Mengalah bukanlah motto hidup Petra saat menghadapi Lyon, rentenir berwajah malaikat.
"Berhubung kamu tadi membicarakan soal fakta, ada baiknya kamu harus selalu ingat kalau status kita disekolah adalah pacar. Jadi tolong jada perilakumu itu. Hormati sedikit pacarmu ini." sindir Lyon juga tidak mau mengalah.
"Iya aku tahu. Tetapi, entah kenapa sekeras apapun aku mencoba tetap tidak bisa." oceh Petra kesal. Membating bukunya keatas meja cukup keras, membuat beberapa murid lain menoleh kearah mereka duduk.
"Wah...kamu pandai sekali mengundang perhatian rupanya. Nah, sebagai hadiah akan aku berikan ini." kata Lyon, mengeluarkan sebuah ponsel baru. Meletakkan benda hitam pipih itu diatas buku catatan Petra.
"Apa ini? Kamu mencoba menyuapku atau merayuku sebenarnya?" decit Petra pelan.
"Keduanya." jawab Lyon, menyeringai puas.
"Maaf, aku terpaksa menolak. Aku tidak membutuhkannya." tolak Petra mentah-mentah.
Sebelum Petra sempat mengembalikan ponsel pemberian Lyon, pemuda itu sudah terlebih dulu mengambil ponsel milik Petra yang terletak tidak jauh dari jangkauan tangannya. Ponsel Petra berada disebelah tempat pensil, disamping buku catatan.
"Maaf, aku juga menolak. Karena sekarang ponsel lamamu aku ambil sebagai jaminan." bisik Lyon dengan sebuah senyum manis yang baru kali ini Petra lihat.
Sebuah senyum yang hanya Lyon sendiri tahu apa maknanya.
-tbc-