Sudah berulang kali Petra mengganti posisi tidurnya, namun Petra tetap tidak bisa tidur nyenyak bahkan untuk sekedar memejamkan mata saja terlalu sulit. Seakan tadi siang Petra meminum kopi pahit sebanyaj tiga gelas. Ternyata, dalang dibalik insomnia dadakan yang menyerang Petra tidak lain adalah Lyon.
Pemuda kaya raya nan sombong itu tidak main-main dengan apa yang dia katakan tentang membeli rumah yang Petra sewa. Karena merasa sesumbar serampangan yang keluar dari mulut Lyon itu hanya sebuah gertakan maka tanpa berpikir Petra menantang Lyon untuk membuktikannya saat itu juga. Dan, mimpi buruk itu pun terjadi.
Mereka mendatangi petugas pengelola komplek perumahan yang disambut oleh seorang pemuda berusia pertengahan dua puluhan. Menjelaskan segala ketentuan yang harus dipenuhi untuk bisa memiliki salah satu rumah hunian di daerah itu.
Hanya dalam waktu tidak sampai satu jam, sertifikat rumah atas nama Petra sudah Lyon pegang di tangan kanannya. Kemudian tanpa kuatir menyerahkan sertifikat tersebut kepada Petra begitu saja. Seakan dokumen itu sama sekali tidak berharga.
Bagi Lyon, dokumen legal mengenai kepemilikan rumah itu hanya sebuah kertas bertinta hitam seperti lainnya. Tidak bagi Petra. Bahkan, bisa dipastikan, sekeras apapun usaha Petra bekerja mengumpulkan uang untuk membeli rumah yang ia tinggali sekarang tidak akan mampu. Itu berbeda dengan Lyon. Bagi Lyon uang itu tidak cukup berarti dibandingkan kebebasan dari belenggu orang tua kandungnya sendiri.
"Hei, aku tadi hanya bercanda Lyon." gerutu Petra masih gemetar memegang sertifikat rumah dengan namanya sendiri tertera di halaman lima dari belakang.
Mendengar ucapan Petra yang kesal kepadanya, Lyon pun menatap tajam kearah gadis itu. Menghela napas panjang, berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban yang akan membuat gadis cerewet dihadapannya bungkam.
"Bahkan...candaanmu barusan aku tanggapi dengan serius, bukan? Jadi mulai detik ini juga jangan pernah berpikir aku hanya main-main soal perkataanku tentang calon istri. Yaaaah, walaupun aku sama sekali tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapmu. Di jaman sekarang, setidaknya dilingkungan keluargaku, menikah tanpa cinta itu hal biasa." akhirnya Lyon berhasil menemukan kata-kata yang dia pikir mewakilkan kekesalan yang ia rasakan.
Ucapan Lyon yang begitu tenang itu membuat dada Petra mendidih. Petra merasa sangat hina sekali. Bukan, bukan, bukan karena dia sangat membutuhkan sebuah rumah untuk ditinggali atau semacam rasa syukur karena Petra tidak perlu lagi memikirkan biaya sewa rumah setiap bulan. Tetapi, bagaimana...apa yang akan Petra katakan kepada paman Jon dan bibi Mia tentang semua ini.
Petra tidak ingin paman dan bibinya mengira kalau dia telah menjual diri hanya untuk mendapatkan rumah. Sekalipun, dan jika dipikir lagi bisa ditarik kesimpulan itulah yang Petra lakukan. Lebih tepatnya dirinya telah dibeli oleh Lyon. Dan itu merupakan mimpi buruk Petra yang paling buruk sepanjang hidupnya.
Tentu ada banyak kata-kata makian yang ingin Petra ucapkan kepada Lyon saat itu, namun hingga mobil hitam yang membawa Lyon pergi meninggalkan rumah sudah berlalu Petra tidak bisa berkata-kata. Tangan kirinya masih memegang dokumen sialan tersebut. Dokumen yang Petra dapatkan tanpa susah payah. Namun, Petra yakin dengan sangat ada konsekuensi yang besar atas harga yang Lyon beli untuk rumahnya.
-
Lebih dari tiga hari berlalu, Petra masih saja kesulitan untuk tidur dengan nyenyak. Bahkan dengan pekerjaan sampingan yang masih Petra lakukan, dihari-hari dirinya tidak disibukkan oleh jadwal Lyon atau PR-PR yang menumpuk atau kesibukan organisasi intra sekolah yang padat dan lain sebagainya. Semua itu hanya membuat Petra semakin kacau hingga untuk memejamkan mata saja rasanya mustahil.
"Kenapa tingkahmu akhir-akhir ini sangat menyedihkan?" celetuk Lyon dari balik layar monitor. Petra yang berdiri didepan meja hanya mendengus sebal sebagai jawaban.
Lyon terus sibuk dengan proyek rahasia perusahaan game baru-nya. Hingga kursus memanah yang seharusnya Lyon lakukan harus diwakili oleh Petra hari ini. Satu hal lagi yang menambah rasa kesal Petra kepada Lyon semakin bertambah.
Tetapi, rasa benci Petra yang teramat sangat kepada Lyon tidak cukup layak untuknya mengabaikan latihan memanah hari ini. Setidaknya Petra melakukan olahraga tersebut untuk dirinya sendiri. Jika, andai saja disuatu waktu dia diberi kesempatan oleh takdir untuk memanah Lyon secara nyata. Bukan hanya ada didalam pikiran Petra saat memfokuskan anak panah kearah sasaran.
"Wah...ternyata Anda cukup berbakat dalam olahraga memanah ini nona Petra." puji pelatih kepada Petra setelah mereka selesai latihan.
Mendengar pujian tulus dari pelatihnya membuat kedua pipi Petra bersemu merah. Apa yang Petra kira hanya untuk melampiaskan amarah terhadap pemuda tidak berperikemanusiaan yang dengan santai masih berkutat di depan monitor itu ternyata mendapat pengakuan oleh orang lain. Dan orang itu merupakan salah satu pelatih olahraga memanah terbaik di Mestonia. Membuat Petra sedikit percaya diri. Setidaknya satu keping dari marahnya menghilang berkat memanah.
"Benarkan. Terima kasih pelatih." ucap Petra sopan.
"Bagaimana kalau nona Petra saya daftarkan untuk mengikuti latihan secara intensif mulai pekan depan? Akan ada perlombaan memanah tingkat regional bulan depan, kita masih mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkannya." tanya pelatih penuh harap.
"Itu, tidak perlu. Saya tidak tertarik dengan panahan." tolak Petra halus. Lebih karena Petra tidak ingin jatuh terlalu dalam dari belenggu bernama Lyon. Dari lingkaran keluarga Levi.
"Oh sayang sekali. Padahal baru saja saya meminta ijin kepada nyonya besar Levi dan beliau menyetujuinya. Jadi maaf, nona Petra terpaksa harus tetap ikut latihan." kata pelatih, tanpa mendengar penolakan Petra lebih lanjut sudah berlalu pergi begitu saja.
"Jadi kenapa harus bertanya kepadaku jika pada akhirnya tidak bisa ditolak!" oceh Petra kesal sendiri.
"Seharusnya itu pertanyaanku, kenapa kamu begitu semangat saat memanah tadi? Ada baiknya jika tadi kamu bersikap ogah-ogahan alih-alih semua anak panahmu tepat sasaran." celetuk Lyon dari balik layar monitornya.
"Aku tidak tahu kekuasaan keluarga Levi sebesar itu." timpal Petra semakin kesal mendengar ucapan Lyon yang terlambat itu.
"Itulah. Ada baiknya mulai sekarang kamu belajar tentang segala sesuatu tentang keluarga Levi." tukas Lyon mengiyakan.
"Aku tidak merasa perlu melakukannya." sanggah Petra.
"Kalau begitu, setidaknya bersandiwaralah layaknya pacarku yang baik. Bagaimana?" goda Lyon yang tidak terdengar seperti mengoda.
"Pura-pura menyukaimu?" geram Petra.
"Iya." jawab Lyon penuh keyakinan.
"Bahkan dalam mimpi pun aku tidak sudi." cela Petra berlalu meninggalkan Lyon menuju ruang ganti.
"Benarkan? Ayo taruhan. Siapa dari kita berdua yang jatuh cinta lebih dulu maka dia harus membuatkan makanan istimewa hasil masakannya sendiri. Setuju!" desis Lyon menahan langkah Petra.
"Siapa peduli trik murahan seperti itu. Ucapanmu itu hanya mengartikan kalau kamu sama sekali tidak bisa memasak kan?" selidik Petra.
Dan, tidak dapat dipungkiri dengan ekspresi muka Lyon dingin yang datar kalau memasak adalah kelemahan terbesar dari dirinya.
-tbc-