"Jadi pacar gue!"
Sheila menatap horor lelaki tampan dihadapannya, jika memilih antara membersihkan toilet atau menjadi kekasih Liam, maka Sheila akan memilih opsi pertama. Bukan karena malu berpacaran dengan Liam, hanya saja menurut rumor yang beredar ketika berdekatan dengan cowok itu akan terkena sial. Meskipun begitu, tetap saja banyak yang mau menjadi pacarnya. Aneh.
Sebuah pemikiran membuat tubuh Sheila menegang kaku, pandangannya terpusat pada Liam. "LO MAU BALAS DENDAM?!" pekiknya terkejut, Liam terlalu kekanakan dengan menjadikan dirinya sebagai samsak kesialan.
Liam terperangah seperkian detik, niatnya terbaca jelas oleh gadis berambut sebahu dihadapannya. Liam berdehem, "No, buat apa gue balas dendam?" balasnya dengan wajah dibuat sepolos mungkin.
Sheila terkekeh mengejek, "Lo mau buat gue sial kan karena udah buat lo jatuh?" tanpa sadar, ucapan bernada ringan itu menyentil sebagian hati Liam.
Liam mengepalkan tangan, nafasnya memburu. "Apa sesial itu deket sama gue?!" murkanya tidak terbendung. Kekecewaan yang selama ini dia tumpuk semakin bertambah saat Sheila menambahi ucapannya tadi. 'Sial, kenapa gue harus terlahir begini?' batin Liam sedih. Perasaannya terasa diremas oleh benda tak kasat mata.
Sheila memilin bibir, merasa rasa bersalahnya bertambah saat melihat raut wajah Liam yang pias. "B-bukan begitu maksud gue,"
"Terus? Lo nggak mau tertular kesialan gue?"
Sheila menggeram frustasi, Liam ngebet sekali berpacaran dengannya, mereka baru saja bertemu. Bahkan bisa dihitung dengan menit lamanya mereka bersitatap. Sheila berpikir bahwa karena bokong Liam baru saja terjatuh maka kepala cowok itu juga ikut melantur.
"Gue nggak bi —"
"SHEILA ANTARIKSA, PRINCE LIAM HUSSEIN! APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN DISANA PADA PROSES BELAJAR MENGAJAR BEGINI?!" suara Pak Tantono terdengar menggelegar mengisi koridor.
Seakan tersadar, Sheila menggeleng pasrah. Liam pembawa sial nyata adanya!
****
Bibir Sheila sedari tadi tidak bisa berhenti mendumel, nafasnya memburu —jika seorangpun mencoba mendekatinya maka akan kena terkam saat itu juga. Dengan badannya yang kurang tinggi, gadis berkulit putih pucat itu melompat-lompat hendak meraih kemoceng yang berada diatas lemari gudang.
Liam dan Sheila dihukum membersihkan gudang sekolah pasca ketahuan berduaan dikoridor sekolah. Namun, hanya Sheila yang terlihat mengerjakan hukuman itu, sedangkan Liam kini bersandar pada daun pintu sambil menatapnya datar.
Nafas Sheila terengah-engah, menahan rasa geram yang muncul, dia menoleh kearah Liam. "Li, bantuin gue!" pekiknya tajam.
Liam seakan menebalkan telinganya, kini mengambil ponsel dan memainkannya dengan santai. Sheila tidak habis pikir, jika saja tadi dia memilih mengabaikan rasa bersalahnya dan langsung menuju kelas, maka hal ini tentu saja tidak akan terjadi. "Li, ini salah lo juga!" Sheila membentak marah. "Li, gue nggak mau kerja sendiri!"
"Li —"
"Berhenti manggil gue 'Li'. Nama gue Prince Liam Hussein, bukan itu!" kini Liam bersidekap angkuh didepannya, merasa jengah dengan panggilan Sheila seakan-akan dirinya adalah perempuan.
Sheila memutar bola mata malas, "I don't care about your name Princess, sekarang ambilin kemoceng itu, gue nggak kesampaian."
Liam mendengkus, "Panggil gue yang bener baru gue ambilin." Perintahnya tidak dapat diganggu gugat. Dilihat dari segi manapun Liam tidak cocok dipanggil dengan Princess. Tubuh nya yang kekar dan pas pada porsi anak SMA, serta dadanya yang bidang membuatnya terlihat sangat manly.
"Fine. Ambilin kemoceng itu Prince Liam Hussein, tolong."
Liam tersenyum bangga, kemudian beranjak mengambil kemoceng tersebut dengan mudahnya. Setelah berhasil mengambil, Liam pun memberikan kemoceng itu kepada Sheila. "Setelah gue pikir-pikir, yang salah adalah lo. Sebagai korban gue memiliki hak untuk memberikan ganjaran. Jadi, Mulai dari sekarang, kita pacaran." tandasnya singkat kemudian pergi dengan cepat meninggalkan Sheila yang termangu beberapa saat. "PRINCESS SIALAN! LO JANGAN LARI DARI HUKUMAN DAN GUE JUGA NGGAK MAU JADI PACAR LO!"
****
Sheila memijit pelipisnya kesal, tatapan terkejut seisi murid disekolah membuat kepalanya pusing dan terasa berat. Sheila berjanji, setelah jika bertemu dengan Liam nanti dia akan memberikan Princess itu pelajaran yang pastinya tidak akan dia lupakan seumur hidupnya.
Jam istirahat siang ini tidak lagi terasa menyenangkan dibenak Sheila, dihadiahi tatapan seolah-olah ingin menerkamnya saat ini juga sangat terasa menganggu dan memuakkan. Sudah jelas sekali Liam telah berkoar-koar mengenai hubungannya dengan Sheila.
'Balas dendam yang manis, Princess.' Batin Sheila meracau.
"Hai pacar!" sebuah rangkulan mendarat dipundak Sheila, hal tersebut sontak mengundak pekikan tertahan dari murid-murid. Wajah Sheila semakin tertekuk masam, ingin rasanya menendang Liam ke planet lain agar tidak bertemu lagi.
Sheila menyentak rangkulan itu, tanpa aba-aba kedua tangannya mendarat diatas kepala Liam dan menjambak rambut halus cowok itu kencang. Liam berteriak kesakitan, sedangkan kedua sahabatnya —Christian dan Andreas menatapnya geli. "Brengsek ya lo, gue nggak kenal lo! Kenapa bilang kita pacaran!" Sheila semakin ganas, jika saja Christian yang meyakini rambut Liam akan rontok itu tidak menengahi keduanya, bisa dipastikan Liam akan botak.
Liam mengusap kepalanya tersiksa, matanya memicing tajam kearah Sheila. "Berani banget lo ya!" bentaknya murka. Tidak ada yang lebih memalukan daripada disaksikan oleh berpuluh-puluh pasang mata di kantin sedang dijambak oleh seorang perempuan menurut Liam, apalagi perempuan itu adalah pacarnya sendiri —yang baru di klaim tadi pagi.
Sheila berpangku tangan, kepalanya mendongak berani. "Iyalah, lo salah disini...jadi gue berhak memberikan pelampiasan kekesalan." Membela diri disaat genting seperti ini memang sangat diperlukan. Bisa saja Liam mendepaknya dari SMA. Jaya Negara mengingat orangtua cowok jangkung tersebut adalah salah satu donatur besar yang dimiliki sekolah itu.
Andreas berteriak heboh, suasana kantin semakin riuh. Banyak yang berdecak kagum melihat keberanian Sheila dalam menghadapi Liam, tidak ada seorangpun selama ini yang memiliki keberanian untuk menentang apalagi mempermalukan Liam didepan umum.
Liam terkekeh sumbang, tangannya terjulur meraih wajah Sheila dan mengecup pipinya cepat. Sheila mematung, begitu juga dengan beberapa orang yang berada dikantin. Sedangkan Liam tersenyum menang, "Mulai dari sekarang, siapapun yang berani dekatin Sheila...harus berurusan sama gue!" tegasnya dengan nada berwibawa, jika seorangpun mencoba melanggar ucapannya, maka akan mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Sheila adalah mainannya, jika ingin mendekati mainannya, maka harus melewati Liam terlebih dahulu sebagai pemegang hak paten.
****
"Jangan ikutin gue!" pekik Sheila untuk yang kesekian kalinya.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Liam beserta Christian dan Andreas sudah berdiri didepan kelasnya dengan wajah polos seolah tidak memiliki beban sama sekali karena telah membuat seisi kelas histeris. Seakan tidak cukup sampai disana, Liam dengan langkah santainya menghampiri Sheila yang sudah memberikan tatapan mengancam dan mengelus pipinya.
Ingin rasanya gadis berbibir tipis itu menghajar wajah tampan Liam. "Lo berhenti disana, gue mau pulang!" Sheila sudah lelah, menghadapi laki-laki batu seperti seseorang dihadapannya ini sangat menguras tenaga dan emosi.
Liam malah menggeleng tegas, "Kita pulang bareng, kan aku udah bilang!"
Christian yang berada dibelakang Liam melirik kearah Andreas yang kebetulan juga meliriknya. Permainan Liam terkesan mulus, bokongnya yang menghantam lantai rupanya masih membekas dan menimbulkan sebuah drama.
Sheila tidak habis pikir, Liam terlihat sangat memaksa dan otoriter. "Lo pulang sendiri, gue nggak mau!"
"Aku antar pulang!"
"Nggak mau, lo budek apa gimana?"
"Kamu pacarku, aku harus bertanggung jawab antar kamu."
"Lo tukang ojek?"
"Sembarangan, mana ada tukang ojek ngantarnya pakai ninja!" Liam menentang keras ucapan Sheila tidak terima disamakan dengan tukang ojek.
"Terus kenapa lo merasa punya kewajiban ngantar gue?" ujar Sheila sarkas. "Tambahan, gue juga bukan pacar lo. Ogah."
Liam tidak menghiraukan ucapan Sheila yang terakhir, pandangannya lurus dan terlihat kaku. "Aku bilang pulang bareng, berarti harus." Tanpa menunggu persetujuan Sheila, Liam menyeret paksa cewek berwajah lonjong itu menuju sepeda motornya. "PRINCESS SIALAN, GUE NGGAK MAU!"