Liam hanya mengulum senyum geli melihat Sheila yang sedari tadi tidak berhenti mengoceh tentang bagaimana dia tidak menyukai Liam yang memaksanya untuk pulang bersama, padahal mereka tidak memiliki hubungan intens yang mengharuskan Sheila diantar. Katanya.
"Gue nggak suka sama sekali jadi bulan-bulanan disekolah, seharusnya lo paham."
"Lo bukan siapa-siapa gue, lo nggak usah repot buat ngantar jemput gue." Untuk yang satu ini, rasanya Liam ingin memberontak, namun dengan segala keteguhan hati, Liam mencoba mengabaikannya dan berpura-pura tuli.
"Gue paling benci lo maksa gini,"
"Berhenti ngatur gue ya, gue bukan cewek yang bisa nurut. Lagian juga kita baru kenal beberapa jam,"
"Lo denger gue nggak sih?!" pekik Sheila kesal pada akhirnya.
Liam berdehem, "Denger."
"Kalau lo denger, gue bilang apa aja tadi?"
"Lo nggak suka jadi bulan-bulanan sekolah, lo benci gue paksa, lo mau gue berhenti ngatur lo karena kita baru kenal." Ucap Liam ringan.
Sheila menggetok kepala Liam yang masih terbungkus oleh helm, "Lo lupa satu, kita nggak pacaran."
Liam tidak menjawab namun dengan tiba-tiba mengencangkan laju sepeda motornya, Sheila berteriak ketakutan. Ditengah hiruk-pikuk keramaian yang entah kapan akan berlalu, menggunakan sepeda motor dengan laju cepat bukanlah pilihan yang baik. Liam mengabaikan teriakan Sheila meminta berhenti. "Bilang kita pacaran lalu gue bakalan pelanin." Balas Liam angkuh.
Sheila menggeleng histeris, batinnya bergulat dengan susah payah. "Iya, Iya, kita pacaran! Sekarang pelanin laju sepeda motor lo!"
Liam menyukai permainan ini, terasa ringan dan menantang. Rencana pembalasan dendamnya tidak berhenti begitu saja, ditambah Sheila telah mempermalukannya dikantin tadi. Liam akan memberikan hukuman yang setimpal untuk gadisnya —Sheila Antariksa yang keras kepala. "Mulai besok, gue bakalan jemput lo. Gak ada bantahan," tandas Liam saat mereka sudah tiba di rumah Sheila dan gadis itupun sudah turun dari ninja merahnya.
Sheila tergelak kencang, Liam tidak ada ubahnya seperti seorang tukang ojek. Sheila merogoh saku bajunya dan mengeluarkan uang sepuluh ribu dan lima ribu. "Makasih ya mas, ini uangnya." Sheila meletakkan secara paksa uang tersebut pada kantong seragam Liam dan berlalu cepat memasuki pekarangan rumah minimalisnya.
Liam membisu melihat langkah Sheila yang buru buru, tangannya mengeluarkan uang berjumlah lima belas ribu tersebut. Senyum tipis terukir dikedua sudut bibirnya, "Awas aja kamu, ingat ini ada balasannya." Janji Liam dengan berbisik, janji yang tidak akan pernah dia lupakan karena Sheila akan berada didalam kangkungannya sampai dia merasa bosan.
****
"Woah, Liam deketi cewek biar apa?" celetuk Christian saat Liam tiba dimarkas mereka setelah mengantarkan Sheila —sebuah rumah minimalis didominasi warna hitam. Rumah itu mereka beli bersama-sama saat masih duduk dikelas tiga sekolah menengah pertama.
Persahabatan mereka memang seerat itu. Sejak masih bayi orangtua mereka sudah instens mempertemukan mereka —berhubung mama dan papa mereka juga bersahabat. Liam, Christian, Andreas sudah saling memahami satu sama lain, jika ada pertengkaran diantara mereka, itu dianggap pelajaran dalam ikatan persahabatan. Bahkan tidak jarang mereka baku hantam, namun setelah terjadi, mereka akan menertawakan kebodohan mereka barusan.
Tidak ada yang mengerti Liam dibandingkan Orangtuanya, Christian, Andreas. Begitu juga yang sebaliknya. Dengan segala kekurangan yang dimiliki ketiganya mereka selalu berpegangan tangan tanpa memandang kelebihan. Mereka saling melengkapi satu sama lain.
Liam terkekeh pelan, "Biar dia sial," setelahnya mereka bertiga tergelak kencang mendengar penuturan Liam. Hatinya sedikit bergetar ketika mengantarkan Sheila kerumahnya tadi, begitu melihat perawakan gadis yang bahagia itu. Liam menginginkan Sheila.
"Eh, Li, sebenarnya kenapa sih, kalau cewek deketan sama lo sial terus?" Andreas bertanya dengan kening mengkerut dalam, misteri dari diri Liam yang tidak pernah mereka ketahui —bahkan yang notabene adalah sahabatnya. Untuk yang satu itu Liam selalu menghindar ketika ditanya.
Liam menghentikan tawan, kemudian menghela nafas pendek. "Gue juga nggak paham, tapi kata Mama, pendahulu gue semacam kena kutukan. Keturunan ketujuh bakalan kena sial setiap deket cewek, dan ya, gue adalah keturunan ketujuh." Liam mengerang sebal, entah kesalahan apa yang dilakukan oleh nenek moyangnya dulu. Jika saja Liam tau penawar yang ampuh untuk kutukan itu, maka harga termahal sekalipun akan dia jangkau.
Christian mendesah kemudian menepuk pundak Liam menyabarkan. "Semoga aja dengan Sheila kutukan lo bisa hilang."
Liam tersenyum tipis, "Iya, semoga."
"Yah, pada sedih, Traktiran anjir!" celetuk Andreas sambil menaik turunkan alisnya. "Lo baru aja jadian sama Sheila, sekarang bayarin kita makan!"
Liam dan Christian tertawa. "Pesan aja, nanti gue bayarin!" ujar Liam mengerti. Andreas dan jiwa traktirannya adalah hal yang paling tidak bisa untuk dipisahkan meskipun harta kekayaan kedua orangtuanya berserakan.
"Pesen banyak ini, awas uang lo nggak cukup. Malu."
"Ya Allah, sampai lo punya cicit juga uang gue gak bakalan habis."
"Songong lo!"
"Tidak songong? Bukan Liam."
****
Liam menapakkan kakinya dipekarangan rumah mewah, tentu saja itu rumahnya. Mata Liam terputar malas begitu melihat kedua orangtuanya tengah bermesraan didepan rumah. "Udah tua, nggak sadar umur." Ketus Liam begitu tiba dihadapan Joy dan Bryce.
Joy terkekeh menepuk pundak anaknya, "Jangan cemburu dong, ah." Godanya sambil menoel dagu Liam.
Bryce terbahak melihat Putranya. "Kasihan kamu bang, sendiri terus." Liam memang dipanggil dengan sebutan 'Abang�� dirumah sejak dini oleh keluarga besar mereka—yang termasuk didalamnnya kakek, nenek, bibi, paman, dan lainnya. Panggilan itu dibuat oleh Kelvin, kakek Liam karena ingin Liam memiliki sifat dewasa dan tangguh.
Prince Liam Hussein memang spesial bagi keluarganya.
Liam menggeram kesal, "BUATIN LIAM ADEK SANA!" pekiknya marah. Joy dan Bryce terkekeh geli. "Iya udah, Liam. Mama sama Papa masuk duluan ya, kamu minta adik kan?" ujar Bryce ringan dan dihadiahi cubitan maut diperutnya oleh Joy.
"IYA!" nafas Liam terengah-engah.
Liam masuk kedalam rumahnya dengan langkah cepat, kamar mungkin pilihan yang tepat saat ini untuk menenangkan pikirannya sementara dari hiruk pikuk keramaian.
****
Liam tiba disekolah bersama Sheila, setelah aksi paksa memaksa dipekarangan rumah Sheila. Untung saja Liam datang dengan cepat kerumah gadisnya hingga masih sempat kerumah Sheila yang berniat kabur.
Awalnya Sheila tidak ingin berangkat bersama dengan Liam karena tidak mau masalah akan semakin ruwet. Namun bukan Liam namanya kalau tidak memaksa. Kejadian semalam dan pagi itu cukup memberikan Sheila pelajaran agar tidak membantah ucapan Liam. Cowok bertubuh atletis itu akan melakukan berbagai cara agar kemauannya terpenuhi, menggotong paksa Sheila contohnya.
Liam dengan segala egonya tidak mau mengalah, mengancam Sheila balik jika tidak berangkat bersama. Sheila bertanya kepada Liam mengapa harus memaksanya, jawabannya sangat singkat karena tidak ingin Sheila terluka diperjalanan.
Jawaban singkat itu nyatanya mampu membuat Sheila berdebar dan memutuskan untuk membuang wajah serta menekankan didalam hatinya kalau Liam hanya menjadikannya mainan untuk ajang balas dendam. Entah mengapa, mengingat Liam yang menjadikannya alat balas dendam membuat perasaan Sheila seakan diremas.
Sheila tersentak kaget dan kembali kepada kenyataan begitu Liam membuka helm miliknya, meskipun mencoba mengabaikan detakan jantungnya yang menggila, Sheila tidak dapat menampik betapa dia mulai menyukai perlakuan manis yang Liam tunjukkan meskipun baru sebentar saja.
"Ayo, aku antar ke kelas kamu."
Sheila menggeleng cepat, "No, jangan. Gue —"
"Aku, Sheila." Untuk hal yang satu ini mungkin Sheila anggap agak berlebihan dimana hanya Liam yang menganggap mereka berpacaran namun turut memaksanya juga menggunakan 'Aku-kamu'.
Sheila tersenyum masam, "Gak usah Liam, aku bisa ke kelas sendiri." Rasanya Sheila ingin mendaratkan pukulan mentah kearah Liam.
Cowok dengan gelang hitam ditangannya itu menggeleng tegas, "Sudah aku bilang kan? Aku gak suka di tolak."
Sheila merutuk didalam kepala, hendak menolak, tetapi begitu mengingat kejadian semalam sore dan tadi pagi, dia mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk menuruti maunya Liam. "Iya, kamu yang bawa tas aku ya?" ujar Sheila bercanda. Meskipun tidak sepenuhnya bercanda karena dia ingin mencobai Liam, bisa saja cowok jangkung itu berubah pikiran dan pada akhirnya tidak jadi mengantar Sheila ke kelasnya karena malu membawa tas perempuan. Laki-laki dan harga diri biasanya sangat sulit untuk dipisahkan.
Liam tersenyum tulus kemudian mengangguk untuk menyanggupi permintaan Sheila. "Sini tas kamu," tanpa menunggu respon Sheila, Liam mencabut paksa tas itu dari punggungnya. Sheila kelabakan sendiri. "Liam, nggak usah. Aku bercanda doang tadi!"
Liam menggeleng tidak setuju, "Udah, nggak apa. Ayo, nanti telat." Liam meraih tangannya Sheila menggunakan tangannya yang terurai bebas, sedangkan yang sebelahnya membawa tas gadisnya. Begitu manis.
Banyak siswi dikoridor memekik tertahan melihat Liam. Dengan sabarnya Liam menuntun Sheila menuju kelasnya, pandangan kaku Liam seolah-olah hanya menatap Sheila saja.
Sheila tersenyum miris, mengingat Liam hanya melancarkan balas dendamnya. Sheila yakin, Liam ingin membuatnya sial dan patah hati, tidak lebih dari itu.
"Kamu belajar yang rajin ya, nanti aku jemput waktu istirahat." Setelah Liam mengatakan hal tersebut, dia pergi meninggalkan Sheila yang membisu menatap kepergiannya.
Sheila berharap agar dia tidak jatuh kedalam pesona Liam. Tidak, dia tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Liam adalah pangeran yang menyamar dibalik rasa sakit hati, rencana ingin balas dendam membutakan cowok itu. Sheila yakin, dia bisa bertahan dan membangun tembok besar dan tinggi. Liam tidak akan bisa menerobos masuk. Dia percaya itu.